webnovel

Tower of Survivor

Aku adalah preman yang biasa menampung anak buahku. Menggaji mereka sesuai apa yang mereka usahakan, kalau dapat banyak ya dapat banyak upahnya. Begitu pula sebaliknya. Begitulah keseharianku, sampai aku dikunjungi oleh seseorang yang ingin kuinjak wajahnya dan menyatu dengan ubin. Orang itu membawa kabar kepadaku, adik beda ayah pertama ku hilang setahun yang lalu. Setelahnya adik keduaku mendapatkan sebuah surat aneh yang memiliki lokasi tidak masuk akal. Orang itu menawarkan sejumlah uang yang bukan main banyaknya. Akan tetapi dengan syarat, aku harus menerima undangan itu atas nama adik kedua beda darah ini. Menyusup sebagai penggantinya, dan menyelamatkan adik beda ayah pertama ku. Tidak bermodalkan uang, makanan, atau apapun itu. Hanya sebuah Katana milik keluarga ayah tiriku, satu-satunya tiang untukku hidup.

Sunnava · Fantasy
Not enough ratings
22 Chs

Bab 10: lantai 1(2) Meaningless village

Aku tidak bisa berkata-kata saat mahluk itu menjelaskan sistem menara ini. Rasanya aku ingin sekali marah dan menghancurkan segalanya pada waktu yang sama, akan tetapi itu tidak mungkin kulakukan. Jawabannya singkat, karena aku tidak memiliki apapun untuk menghancurkannya. Apa yang aku punya hanyalah, sebuah pedang katana pemberian wanita jalang itu, dan beberapa barang aneh untuk bertahan hidup sampai aku menemukan 'Adik tersayang beda ayah' ini. Sekaligus untuk keluar dari sini hidup-hidup. Sial, memikirkannya saja membuatku pusing. Apakah karena aku belum makan sejak berputar di labirin tanpa jalan keluar itu? Menyebalkan.

Menghela napas berat, aku memutuskan untuk mengitari lantai ini. Tanah yang begitu mirip dengan tanah biasa, rerumputan yang bukan plastik, beserta udara sejuk nan segar yang pasti bukan berasal dari pendingin ruangan. Sekilas aku mengira kalau semua ini adalah nyata, namun berubah saat aku menyentuh salah satu bangunan rumah yang murni terbuat dari bebatuan dan jenis kayu yang tidak pernah kujumpai sebelumnya. Ini seperti aku berada di pertengahan Eropa, sayangnya bukan dalam bentuk kota. Lahan luas dan berada tepat di sebelah pemukiman yang aku kira padi, ternyata bukan (mungkin gandum?) adalah bukti kalau tempat ini bisa di bilang adalah suatu desa. Kupikir tempat ini ramai, sayangnya sebagian besar di sini adalah orang-orang biasa. Tampak jelas dari pakaian yang tidak ada ciri khasnya sama sekali, kontras dengan keadaan desa.

Orang-orang menatapku dengan wajah khawatir, beberapa anak dipaksa masuk ke dalam rumahnya masing-masing saat mau mendekatiku. Aku tidak tahu mengapa, apakah karena aku adalah seorang peserta? Sedangkan mereka hanyalah penduduk biasa? Entahlah. Sampai aku menemui pedagang yang berjualan makanan di sini. Tampaknya pedagang itu ingin menutup tokonya, tidak jadi saat aku secara refleks menghalanginya.

"Kau menjual makanan, kan?" tanyaku pada Penjaga toko tersebut.

Penjaga toko itu tampaknya gemetar ketakutan, matanya melihat sekeliling. Kemudian mengangguk cepat, mempersilahkanku masuk. Setelah memasuki tokonya yang tidak begitu luas, pria paruh baya tersebut terburu-buru menutup tokonya. Aku pikir dia ingin menjebakku, tapi pikiranku keliru kala beliau menanyakan pesananku. Lalu, buat apa Penjaga toko itu menutup segalanya dan hanya mengizinkanku untuk masuk?

"Sup dan nasi," aku menyebutkn pesananku.

Penjaga toko itu menghela napas berat, "Maafkan aku, tetapi tidak ada nasi di lantai ini."

"Oh, kalau begitu ... roti dan sup saja," ujarku setelah memikirkan makanan apa yang mungkin ada di sini.

Dugaanku tepat, pria paruh baya itu mengiyakan dan lantas menyiapkan makanan yang aku pesan. Begitu selesai, aroma sup dan roti yang khas seolah menyambutku dengan hangat. Aku menghabiskannya dengan cepat, kurasa dibandingkan dengan cara makan babi ... cara makanku cenderung lebih liar saat ini sampai Penjaga toko sesekali menegurku untuk makan dengan pelan. Sayangnya aku menghiraukannya, melanjutkan makanku dengan rakus. Habis, aku memesan lagi makanan yang sama. Begitu terus sampai yang ke lima kalinya.

"Berapa totalnya?" tanyaku.

Tiba-tiba pria paruh baya itu terhenyak, menghitung dengan gugup, kemudian berkata. "Dua puluh lima gold, ya! Dua puluh lima."

Murah sekali, kupikir ngkanya bisa sampai ribuan. Aku lantas mengeluarkan lima gold dari jendela status tepat di angka jumlah gold yang aku miliki, lantas menyerahkannya. Kurasa adalah waktu yang tepat untuk menanyakan hal yang menjanggal di kepalaku sejak awal. "Pak, kalau boleh tahu ... kenapa anda menutup toko saat aku makan di sini?"

Penjaga toko itu terdiam sejenak, menghela napas berat. "Biasanya, aku akan langsung menutup toko saat bertemu pemain baru sepertimu," dia mengelap sebuah gelas dan mengisinya dengan cairan ungu kemerahan yang aneh. "Hanya saja, kau berhasil mencegahku untuk menutup toko yang membuatku mau tidak mau harus melayanimu sampai kau puas." Pria tua itu menyerahkan segelas air aneh itu kepadaku, "minumlah."

Aku mencium baunya yang sedikit menyengat, kurasa aku pernah melihat air yang seperti ini. Kalau tidak salah air ini biasa ada di film tengah malam, memabukkan kan ... ya? Dari dulu aku ingin sekali mencoba alkohol, akan tetapi aku tidak pernah kesampaian untuk itu. Hanya saja, sekarang mungkin bukan waktu yang tepat untuk mencicipinya. "Maaf, aku tidak meminum alkohol."

"Oh, tidak biasanya," si Penjaga toko mengambil kembali gelas yang berisi air ungu kemerahan, lantas menggantinya dengan susu. Dia pikir aku masih berusia berapa sih? Sialnya, aku tidak bisa menolak kali ini. Aku dengan berat hati meminumnya dalam sekali tegak, kemudian ingat kalau minuman seperti ini pasti tidak gratis. "Jangan khawatir, khusus untukmu itu gratis. Kau bebas untuk menambah lagi."

Aku mengangguk cepat, "Baiklah kalau begitu, aku minta tambah." Karena tenggorokanku memang belum merasa cukup. Penjaga toko itu mengisi kembali gelasku, dan menyerahkan lagi kepadaku. "Memangnya, ada apa dengan pes-pemain baru sepertiku?" tanyaku yang tidak terbiasa dengan sebutan 'pemain' dalam kamusku.

"Adalah suatu kesialan saat melayani pemain baru bagi kami yang memutuskan untuk tinggal di lantai satu ini," Penjaga toko itu membelakangiku, membersihkan bagian dapurnya yang berantakan, melanjutkan pembicaraan ini. "Mereka biasanya akan selalu membawa bencana, entah itu sekumpulan monster dari lantai dua yang datang kemari. Atau lebih parah lagi, menjadi medan perang sesama pemain. Entah sudah berapa kali, aku harus memperbaiki tokoku."

"Maafkan aku karena sudah menghalangimu menutup toko," ujarku sembari membuang pandanganku.

"Hah, kau sudah tahu itu. Jadi, cepatlah keluar dari tokoku setelah puas meminum semua persedian tokoku."

Baiklah, bukannya bersimpati aku malah ingin mendoakan kalau tokonya rata dengan tanah setelah aku pergi jauh dari desa ini. "Baiklah kalau begitu, aku ingin semua persedian susu mu dan membeli seluruh roti beserta tepung gandum yang kamu punya."

~***~

Menyebalkan, kurasa penduduk di desa ini tidak akan mungkin bisa membantuku lebih jauh. Lupakan soal pedang katana yang ingin aku padukan dengan pedang yang kudapatkan dari pintu hitam itu. Sekarang aku harus memikirkan bagaimana caranya agar aku terus hidup di lantai berikutnya. Agar aku bisa ke lantai sepuluh, dan tidak pernah mengingat lagi perihal desa yang tidak berarti apa-apa di sini. Akan tetapi, mulai dari mana? Aku berdecih kesal sembari menggigit ibu jariku, memikirkan langkah selanjutnya yang ternyata lebih sulit untuk dipikirkan ketimbang melawan mahluk aneh di labirin.

Asik kepalaku mencari cara, sebuah tangan kecil tiba-tiba menyentuh bahuku. Aku terhenyak, lantas menoleh ke arah pemilik tangan mungil itu. Anak laki-laki berkacamata bulat itu tepat ada di belakangku, dengan senyumannya yang cukup manis untuk ya.

"Aku senang kakak selamat!"

~***~