webnovel

Tower of Survivor

Aku adalah preman yang biasa menampung anak buahku. Menggaji mereka sesuai apa yang mereka usahakan, kalau dapat banyak ya dapat banyak upahnya. Begitu pula sebaliknya. Begitulah keseharianku, sampai aku dikunjungi oleh seseorang yang ingin kuinjak wajahnya dan menyatu dengan ubin. Orang itu membawa kabar kepadaku, adik beda ayah pertama ku hilang setahun yang lalu. Setelahnya adik keduaku mendapatkan sebuah surat aneh yang memiliki lokasi tidak masuk akal. Orang itu menawarkan sejumlah uang yang bukan main banyaknya. Akan tetapi dengan syarat, aku harus menerima undangan itu atas nama adik kedua beda darah ini. Menyusup sebagai penggantinya, dan menyelamatkan adik beda ayah pertama ku. Tidak bermodalkan uang, makanan, atau apapun itu. Hanya sebuah Katana milik keluarga ayah tiriku, satu-satunya tiang untukku hidup.

Sunnava · Fantasy
Not enough ratings
22 Chs

Bab 7: Offerings to fire

"Orang yang pasti akan membunuh siapapun yang menghadangnya? Menarik? Bukankah dia pasti hanya akan menghabiskan peserta yang kalian undang?" tanyaku yang merasa aneh.

"Justru itulah bagian yang paling menarik, saat nyawa mulai berterbangan kembali. Kami akhirnya bisa mengundang lebih banyak peserta lagi memasuki menara," ujar mahluk itu dengan angkuh.

Aku menatapnya kesal, tapi rasanya seperti kata-kataku tertahan sepenuhnya di tenggorokan. "Aku tidak tertarik untuk membunuh siapapun," ujarku akhirnya, "atau bekerja sama dengan lebih banyak peserta. Sejujurnya aku juga terganggu dengan adanya bocah tadi, untunglah anak itu penurut."

"Wah ... wah, kau ternyata juga tidak kalah menarik dari orang itu," mahluk itu menyeringai kejam, menatapku dengan mata merahnya yang mengerikan. "Dua peserta pemilik jalan yang berbanding terbalik, aku penasaran dengan cerita yang akan kalian berdua ciptakan setelah ini."

"Maaf saja, aku tidak tertarik dengan pria berdarah dingin itu," ujarku kemudian. "Dari pada membahasnya, apakah kau punya sedikit bocoran dengan pintu yang berwarna merah itu?"

"Persembahan untuk api," ucapnya singkat. "Bukalah, dan kau akan mengerti apa yang aku katakan."

Pintu kedua terbuka, begitulah aku akhirnya mengerti arti kata neraka kecil yang sesungguhnya. Asap, api, saling menjilat seolah haus akan sesuatu untuk segera menjadi abu. Aku menutup kembali pintu itu, menatap mahluk bersetelan jas hitam dengan kesal. Namun, bukannya menolong ... mahluk itu hanya terkekeh geli dengan cara yang menyebalkan. Aku menghela napas, lantas mengeluarkan kembali sekarung kecil penuh. Saat kubuka, isinya hanyalah berbagai macam buah.

"Search," ucapku pada buah berbentuk kelereng biru kecil.

'Bery pertahanan api, dalam sekali makan, pemakannya bisa kebal api selama dua puluh menit. Tidak bisa dipakai sekaligus.'

"Jadi ... meskipun aku memakannya dua, aku tetap hanya bisa kebal api selama dua puluh menit? Huh, merepotkan," ujarku sembari menaruh kembali karung penuh buah-buahan itu. Aku menghitung Berry yang aku dapat dari sang Raja, hanya ada lima. "Yah ... kurasa ini lebih dari cukup," gumamku yang lantas memakan salah satunya, dan menaruh sisa di jendela penyimpanan.

Aku kembali membuka pintu kedua berwarna merah. Hawa panas langsung menyambut kala kakiku menginjak tanahnya saja, tapi tidak sepanas yang aku rasakan saat pertama kali membukanya. Cukup panas untuk terus membuatku berkeringat, dan penasaran apa jadinya jika aku nekat menerjang hawa panas ini tanpa memakan buah Berry tadi? Yah, kurasa jawabannya sudah jelas.

Melihat sekitar, tempat ini lebih seperti gua pada umumnya. Dinding batu dengan beberapa batu yang berbentuk kerucut secara alami, baik di bawah maupun di langit-langitnya. Air yang digantikan dengan lava merah, beserta keberadaan tumbuhan yang tergantikan oleh kobaran api membara. Setelah yakin dengan apa yang aku lihat, kakiku berjalan lurus menyusuri gua. Untunglah hanya satu arah, melompati genangan lava, dan menghindari percikan lava dari kulitku. Walau sudah memakan Berry itu, aku tidak yakin kulitku akan kebal dengan panas lava merah menyala yang siap membuat apapun menjadi satu bagian dengannya.

Menghentikan langkah, di antara kobaran api. Aku mendengar suara asing yang seharusnya tidak ada di dalam gua membara seperti ini. Karena mustahil bagi para hewan untuk bertahan hidup, bahkan ... kurasa kuman pun tidak akan sanggup untu hidup. Menara ... ya, rasanya memang tidak ada yang tidak mungkin di menara sialan ini. Bahkan hewan buas di antara api sekalipun, pasti ada! Aku menajamkan penglihatan ku, berusaha lebih fokus.

SPLASH!

Secara otomatis tubuhku bergerak sendiri kala mendengar suara aneh, diikuti oleh lava cair yang nyaris saja mengenai kulitku. Telat sedikit saja, kulitku tampaknya akan benar-benar terbakar habis. Ekor mataku melihat biang keladi yang melempariku dengan cairan lava panas, seekor kadal seukuran lengan orang dewasa. Warna tubuhnya nyaris menyatu dengan permukaan lava, sedikit sulit untuk membedakannya. Hanya saja, ekornya bergerak cepat ke atas. Membuat keberadaannya jelas terlihat. Aku mengeluarkan pedang katana, lantas dengan cepat menebas kepala mahluk ganas itu sebelum mengeluarkan lava lagi.

Sial, datanglah lagi sekawanannya. Sedikit lebih banyak ketimbang para monyet di pintu warna putih, hanya saja gerakannya lebih lambat. Walau berbanding terbalik saat mereka melemparkan lava dari mulutnya. Dengan cepat aku menebas asal kerumunan kadal api tersebut, membelah setiap kepala yang mereka punya atau bahkan tubuhnya. Bahkan meskipun meleset hanya membelah ekornya, aku menebas lagi sampai tubuhnya benar-benar terbelah.

Setelah itu suara api yang berkobar kembali menjadi primadona. Kadal-kadal kecil yang mati itu lantas berubah menjadi abu. Sebuah jendela pemberitahuan naik level dua belas, wah ... apakah berarti kadal kecil itu memiliki level yang lebih tinggi dari pada para Goblin di labirin itu? Nah, kurasa itu tidak penting sekarang. Aku menutup jendela pemberitahuan, lantas berjalan santai kembali melihat-lihat kondisi isi gua ini. Tentu saja merupakan surga untuk api yang membara seperti ini. Oh, berbicara soal api ... aku jadi teringat dengan batas efek Berry ini.

Aku membuka jendela status, mendapati sisa efeknya tinggal dua menit lagi. Lantas kembali memakan Berry biru tadi dari jendela penyimpanan. Waktu sisa efeknya kembali menjadi dua puluh menit. Kurasa aku tidak bisa berlama-lama di sini, sialnya ... bos di pintu ini belum keluar juga saat para kadal kecil ini mati. Tanpa mempedulikan keadaan sekitar, aku segera berlari menuju ujung gua. Melewati beberapa genangan lava. Sampai aku menemukan sebuah tugu Kadal raksasa di sana, ukurannya kurasa jauh lebih besar ketimbang komodo.

Tanpa berbasa-basi, aku menyentuh tugu tersebut. Suara amukan terdengar tepat di hadapanku, menimbulkan gelombang kejut yang membuatku terpental di atas tanah. Tugu itu berubah sepenuhnya menjadi kadal raksasa dengan kulitnya yang nyaris persis seperti kadal-kadal kecil tadi. Mahluk itu mendekat ke arahku dengan raut wajah yang tidak begitu mengenakan.

"Berani-beraninya, manusia rendahan sepertimu menghabisi anak-anakku dan mengganggu tidur abadiku!" pekiknya yang sedikit membuat gendang telingaku tak mendengar suara kobaran api di sekitar.

Aku berdecak kesal, "Maaf saja! Akan tetapi anak-anakmu sendiri tidak bisa berbicara seperti halnya dirimu, mereka langsung menyerangku. Maka, mau tidak mau aku harus menyerang juga!" seusai berkata demikian, aku menghindari semburan lava panas dari mulutnya.

Aku mengeluarkan sebilah pedang katana, menebas kaki kanannya. Mahluk itu meraum kencang. Lantas menghentakkan kaki kananku dan menusuk kepalanya dari bawah tubuh kadal api raksasa tersebut. Begitu tubuh mahluk itu menjadi abu, sebuah cahaya bersinar dari balik tumpukkan abunya. Aku mengambil sumber cahayanya.

Sebuah bola bersinar oranye yang cukup cantik, kemudian menaruh bola ini ke dalam jendela penyimpanan. Lalu memeriksa jendela statusku, efek Berry itu masih tersisa sepuluh menit lagi. Kurasa, dengan berjalan kaki saja sudah cukup untuk keluar dari gua yang penuh api ini. Mengingat, seluruh penghuninya sudah aku basmi. Kurasa?

Ah, persetan dengan itu. Di balik pintu putih itu saja, mahluk hidupnya bukan hanya para monyet. Aku segera berlari menerjang lautan api yang menjilat-jilat di udara, masa bodo dengan rasa perih dari sedikit percikan lava yang mengenai kulitku. Sampai akhirnya aku benar-benar keluar dari balik pintu merah menyala ini. Terjatuh, berguling di atas lantai, dan menabrak dinding.

Aku merintih kesakitan, berdiri tertaih-tatih. Berdecih kesal sembari mematikan api yang ditimbulkan oleh percikan lava. "Benar-benar gua yang aneh," ujarku. "Lagi pula, bagaimana caranya menara ini punya ruangan yang penuh api seperti itu?" Aku menyingkirkan jendela 'selamat naik level,' kemudian duduk bersandar pada dinding.

"Kau lupa Nona? Bukankah aku pernah bilang kalau tidak semua pertanyaanmu bisa kujawab?" Kemudian mahluk itu bertepuk tangan, "tapi kuucapkan selamat kepadamu, karena berhasil menyelesaikan side Quest 'persembahan untuk api.'"

Tepat mahluk itu mengucapkan selamat kepadaku, pria yang memasuki pintu putih tadi keluar. Berbeda denganku, tampaknya pria itu membunuh banyak monyet di sana.

~***~