webnovel

Tower of Survivor

Aku adalah preman yang biasa menampung anak buahku. Menggaji mereka sesuai apa yang mereka usahakan, kalau dapat banyak ya dapat banyak upahnya. Begitu pula sebaliknya. Begitulah keseharianku, sampai aku dikunjungi oleh seseorang yang ingin kuinjak wajahnya dan menyatu dengan ubin. Orang itu membawa kabar kepadaku, adik beda ayah pertama ku hilang setahun yang lalu. Setelahnya adik keduaku mendapatkan sebuah surat aneh yang memiliki lokasi tidak masuk akal. Orang itu menawarkan sejumlah uang yang bukan main banyaknya. Akan tetapi dengan syarat, aku harus menerima undangan itu atas nama adik kedua beda darah ini. Menyusup sebagai penggantinya, dan menyelamatkan adik beda ayah pertama ku. Tidak bermodalkan uang, makanan, atau apapun itu. Hanya sebuah Katana milik keluarga ayah tiriku, satu-satunya tiang untukku hidup.

Sunnava · Fantasy
Not enough ratings
22 Chs

Bab 6: the request from King of Apes

Begitu memasuki pintu berwarna putih, mataku disambut oleh lebatnya hutan yang terasa hangat sekaligus basah di kulitku. Aku tidak tahu kenapa ada hutan di dalam menara ini, bahkan sepanjang aku mengitari labirin mengerikan tadi, tidak ada satupun ventilasi maupun AC. Apakah aku salah lihat? Atau apakah memang hanya halusinasiku saja? Tidak, kurasa sistem di menara ini memang begitu. Benar-benar aneh.

Aku mulai berjalan memasuki hutan, berharap kalau jalan ini tidak serumit labirin yang baru saja aku lewati, sembari mencengkram erat pedang katana yang aku bawa. Berjaga-jaga kalau ada sesuatu yang tidak aku inginkan.

Bicara soal menara, para peserta yang mengikuti ini, juga sistem yang persis seperti games. Ini mengingatkanku pada teman-teman sekelasku di masa sekolah menengah pertama. Betapa lucunya wajah seseorang yang mengaku sebagai indigo, orang yang bisa melihat hantu. Betapa cantik wajahnya seolah memang sudah direncanakan demikian, agar penampilan oke saat memiliki kelainan jiwa. Aku yakin mereka akan gila saat memasuki menara ini. Antara harus percaya dengan penglihatannya, atau akhirnya menyerah dan mengaku kalau dirinya memang gila. Lucu sekali, mengingatnya sekaligus berkhayal membuatku terhibur sedikit.

Langkah kakiku berhenti kala sebuah sungai beraliran tenang ada di hadapanku. Cukup jernih, ketimbang di ibu kota negaraku di mana sungainya saja bahkan ada yang berwarna hitam. Tapi dengan begitu aku bisa sedikit jelas melihat para penghuni dari sungai ini. Beberapa ikan berwarna sedikit merah di bagian tertentu, ular yang cukup besar, dan tentu saja beberapa mahluk penghuni lumpur di bawahnya. Aku menyerngitkan kening, mendengus frustasi. Untunglah aku tidak terburu-buru mencemplungkan kakiku ke dalam sungai yang menggoda untuk diceburi ini.

Aku harus memikirkan cara untuk menyebranginya, tapi bagaimana? Lebar sungai ini cukup luas, hanya sepohon kayu saja tidak akan cukup untuk jadi jembatan. Tidak ada batu yang mencuat, artinya kedalaman yang sesungguhnya cukup membuatku tenggelam. Berenang sama saja dengan memilih mati, kecuali jika tuhan atau apapun itu berbaik hati menyelamatkanku dari ambang kematian. Artinya, satu-satunya jalan hanya menyebranginya.

Ya! Rakit!

Aku menjentikkan jari, lantas mencari pohon yang bisa kugunakan. Pohon tinggi besar dan kokoh tidak bisa kugunakan karena pastinya akan terlalu berat dan mustahil untukku tebang. Pohon dengan dahan kecil juga mustahil, batangnya pasti tidak akan kuat menampung bobot tubuhku. Seharusnya ada pohon itu, ya! Itu dia, pohon pisang! Aku ingat di TV, banyak yang menggunakan pohon ini sebagai rakit. Ringan, namun cukup kokoh untuk membawa penumpang

Ekor mataku menangkap sekumpulan pohon pisang. Dengan pedang katana ini, aku dengan mudah menebang empat pohon beserta menyingkirkan daunnya yang mengganggu. Kemudian mencari dahan kayu kecil yang cukup kuat, lantas menggunakannya sebagai pasak untuk mengikat ke empat pohon pisang ini agar tidak bercerai berai saat kunaiki. Setelah cukup kokoh dan siap untuk di naiki, aku membawanya ke hilir sungai. Menggunakan sebuah batang bambu kecil sebagai pendorong, aku menemukannya saat mencari pasak.

Yups, rakit ini benar-benar mengapung seprti yang aku lihat di TV. Walaupun aku sedikit kesulitan saat mengarahkannya di tepi yang lain. Oh iya, aku baru ingat. Sekumpulan pohon pisang itu ... Kenapa masih utuh? Apakah memang seperti itu? Persis saat aku menandai dinding labirin yang kembali seperti sedia kala saat aku menggoresnya dengan katana. Atau, apakah memang semua peserta tidak tahu kalau pohon ini bisa dijadikan rakit? Yang benar saja? Rasanya tidak mungkin.

Sesampainya di sisi lain, ku angkat rakitku ke daratan agar tidak hanyut saat kembali. Setelah itu kembali berjalan menyusuri hutan yang terasa hangat sekaligus basah di waktu bersamaan. Terus berjalan, sambil bersiaga kalau-kalau ada sesuatu yang menyerangku. Ketika melihat gapura, saat itulah aku sadar kalau aku tidak tersesat dan sampai ke tempat di mana bos itu berada.

Ada sepuluh Monyet berwarna-warni yang seolah menyambutku dengan tegang, tampaknya takut dengan monyet yang paling besar. Duduk dengan gagah di sana, dengan wajahnya yang mengeras karena kesal. Aku tidak tahu kenapa, tampaknya terjadi sesuatu. Kurasa, bertarung akan menjadi hal yang sia-sia untukku.

"Wahai manusia, selamat datang di kerajaan kera. Maafkan saya karena tidak bisa menjamu anda dengan sesuatu yang menarik," ujarnya penuh wibawa sebagai seorang pemimpin.

"Tidak masalah," jawabku sekenanya. "Ada hal apa sampai anda menjadi gelisah seperti ini?" tanyaku dengan pengetahuan etika nyaris tidak ada.

Beliau menunjuk nampan yang ada di hadapannya, "Salah satu dari sepuluh kera ini sudah mencuri pisang emasku yang sangat berharga, bisakah kau menemukannya? Kalau kau bisa, aku akan menghadiahkan mu berbagai buah yang tidak terlalu berharga di negriku. Kalau tidak, nyawamu akan berakhir di sini."

Sebuah jendela pemberitahuan tiba-tiba muncul di hadapanku. 'Quest sampingan baru, temukan pisang emas sang Raja Kera. Imbalannya 500 koin emas dan exp.' Aku menekan kata 'yes' dengan sedikit kesal.

Sial, main tebak-tebakan ... ya? Sekarang aku lebih memilih untuk bertarung ketimbang menjadi detektif dadakan seperti ini. Yah, tapi rasanya seperti tidak ada cara lain. Terlalu beresiko untuk melawan raja itu beserta bawahannya seorang diri. Baiklah ... mulai dari mana, ya? Bagaimana kalau coklat?

"Hei kau, apakah kamu tahu yang mencuri pisang raja?"

Monyet berwarna coklat itu menggeleng cepat, "Aku tidak tahu!" jawabnya, "kau bisa bertanya kepada kera kuning, dia yang paling tahu."

Lantas aku bertanya kepada kera kuning dengan pertanyaan yang sama. "Aku tidak tahu!" jawabnya, "kera merah lebih tahu dari pada aku."

Hal yang sama aku tanyakan kepada monyet berwarna merah. Tetapi jawabannya tetap sama, juga sama-sama mengarahkan kepada monyet lain. Coklat, kuning, merah, biru, hijau, oranye, hitam. Tujuh monyet menjawab hal yang sama, kecuali monyet pink, abu, dan putih. Mereka bertiga menjawab dengan jawaban yang berbeda.

Pink mengatakan, "Aku tidak tahu, kera abu adalah kera yang terpercaya."

Monyet abu menjawab, "Kera putih adalah pembohong!"

Lalu monyet putih hanya mengatakan, "Aku tidak tahu!"

Setelah menanyakan monyet-monyet itu satu persatu, sang raja bertanya kepadaku. "Jadi ... apakah kau menemukan pelaku yang mencuri pisang emasku?"

Aku berpikir sejenak, mengangguk. Kemudian menunjuk monyet putih, dengan lantang dan ketakutan aku mengatakan. "Kera putih pelakunya!"

Tepat setelah aku menunjuknya, segerombolan monyet berwarna-warni tadi mengeroyok monyet putih yang malang itu. Kemudian mendapatkan pisang emas yang dicari, lantas meletakkan kembali pisang emas di atas nampan tersebut. Sang Raja tersenyum takjub, "Terimakasih wahai manusia, sebagai imbalannya ... terimalah harta kami yang sedikit ini."

Monyet abu dan coklat mengambil sekarung kecil seukuran tas kepadaku, aku mengambilnya dengan senang hati. Sedikit membungkuk terimakasih. Berjalan sebentar dan menyebrangi sungai dengan rakit yang aku buat sendiri, lantas keluar dari hutan yang agaknya sedikit mengerikan buatku dari pintu putih yang sama sebelumnya.

Entah kenapa tadi itu, seperti sedang mempertaruhkan nyawaku sendiri.

Aku memasukkan karung berisi hadiah tadi ke dalam jendela tas. Tepat setelahnya ekor mataku menangkap seorang pria yang lebih tinggi dariku, berkulit putih dan berambut hitam dengan gaya ... Korea, mungkin? Bertopeng putih polos yang sedikit retak di bagian mata kiri. Setelahnya mahluk bersetelan jas itu muncul kembali.

"Selamat! Kamu telah menjadi satu-satunya peserta yang selamat dari total sepuluh peserta!" Mahluk itu menunjuk peserta bertopeng itu dengan bangga. "Dan selamat untukmu juga! Karena berhasil memenuhi keinginan sang Raja! Sekarang, kau boleh untuk melanjutkan ke pintu selanjutnya-"

"Sebelum itu, bolehkah aku membeli sesuatu?" tanyaku.

Mahluk itu sedikit terbelalak, kemudian tersenyum senang. "Silahkan, kalau uangmu cukup untuk membeli ini!" Dia memunculkan sebuah jendela toko kepadaku, beberapa senjata ada di sana, juga beberapa batu yang tampak cantik ... namun memiliki suatu kekuatan yang unik. Aku membeli sepasang manik perpindahan tempat dalam sekejap yang seharga seribu emas. Cukup mahal buatku, tapi ... kurasa itu sepadan dengan efeknya.

Setelah membeli manik itu, pria bertopeng itu bertanya. "Apakah para peserta boleh memasuki ketiga pintu sekaligus?"

Mahluk bersetelan jas itu menyengir lebar, "Tentu saja! Kau lihat nona ini? Dia bahkan sudah selesai dengan pintu pertama ini~"

"Quest keinginan sang raja," jawabnya cepat.

"Tentu bukan, kau akan diberikan quest yang lain sesuai keinginan sang Raja," mahluk itu dengan senang hati membukakan pintu putih kepada pria bertopeng itu. "Tentu saja, kau tidak akan melewatkan ini, bukan? Kesempatan sekali seumur hidup."

"Baiklah," ucapnya pendek. Lantas memasuki pintu putih itu.

"Orang yang mengerikan," ucapku sedikit bergidik melihatnya begitu tenang setelah menjadi peserta yang selamat dari sepuluh peserta yang lain.

"Tapi, itulah yang paling menarik dari menara ini. Nona ...."

~***~