webnovel

Chapter 22: Gone

Aku terbangun karena kepanasan.

Aku menggeliat dan mendapati pemandangan yang tak biasa di sebelahku; Keenan tertidur pulas dan berbagi satu selimut denganku.

Aku tak bisa terlonjak lebih dari ini. Buru-buru duduk dan menyingkap selimut yang sejak semalam menutupi tubuhku. Tak ada pakaian yang berubah. Semuanya masih sama seperti sebelumnya. Satu-satunya yang berubah hanyalah kakiku kini terbalut kaus kaki merah muda dengan telinga kelinci di bagian atasnya.

Aku tak punya kaus kaki ini. Aku tak merasa memakainya. Pasti Keenan memasangnya saat aku sudah terlelap.

Dengan perlahan aku melepaskan kaus kaki itu. Pantas saja aku gerah sekali. Tapi semalam memang terlewat dingin. Mungkin itu sebabnya Keenan memakaikanku kaus kaki ini.

Pipiku terasa panas.

Sikapnya yang sesekali menggemaskan kadang-kadang membuatku lupa akan jadi dirinya yang sesungguhnya. Aku kembali duduk dan menatap pria yang nyaris menginjak kepala empat itu. Ia terlihat tidur dengan sangat nyenyak. Saking lelapnya, Keenan bahkan terlihat lebih muda dari umurnya saat ini. Rahang yang sering mengeras itu terlihat jauh lebih rileks dari yang sebelumnya ku lihat.

Aku tak bisa berhenti memandanginya. Menatap wajahnya yang tengah terlelap entah mengapa membuatku merasa tenang. Bagaimana mungkin pria seperti ini adalah penculikku? Rasanya seperti berhadapan dengan dua orang yang sangat berbeda.

Omong-omong, jam berapa sekarang ini? Di luar sudah terang benderang. Sepertinya sudah siang. Aku harus memeriksa jam.

Ku ulurkan lenganku untuk mengambil jam pemberiannya di meja, namun sayangnya jam itu berada di meja sebelah Keenan tertidur. Cukup jauh. Aku mencobanya meraihnya lagi dan jam itu terjatuh dari meja, menimbulkan bunyi crack pecah dari kacanya. Keenan terlonjak bangun dan menabrak tanganku yang terjulur. Dia menatapku dan menghela napas.

“Maaf,” bisikku.

Keenan melihat jam itu tergeletak pecah di lantai dan mengambilnya. Ia membersihkan benda itu dari pecahan kaca sejenak sebelum memberikannya padaku. Pukul sebelas tepat. Aku terbangun dan duduk di ranjang.

“Kenapa kau bangun pagi sekali?” tanyanya dengan nada serak.

Aku membalasnya dengan senyuman lemah. “Sudah jam sebelas.”

Keenan ikut duduk sembari mengacak-acak rambutnya. “Bagaimana perasaanmu?”

Aku menelan ludah melihat rambutnya yang terlihat berantakan. “Lebih baik,” bisikku.

“Semalam apa yang kau impikan?”

“Diriku.”

Aku mengingatnya lagi. Perempuan yang memakai kemeja lusuh berwarna hitam yang memiliki wajah sama persis denganku. Ia berteriak memanggil namaku dan aku ketakutan. Dasar penakut. Mau sampai kapan kau terbangun ketika mimpi buruk mendatangimu?

Aku mengerucutkan bibir dan mengenyahkan perasaan kesalku pada diri sendiri. Sudah hampir sepanjang hidup, ketika bermimpi buruk aku pasti selalu terbangun dengan histeris. Biasanya ayahku akan datang menenangkanku dan menemaniku sampai aku sudah tertidur lagi. Peran itu rupanya kini beralih pada Keenan.

“Kau tak perlu membicarakannya jika enggan,” ucapnya.

Aku mengangguk. Lebih baik tidak mengingatnya sama sekali.

Waktu bergulir dengan tanpa adanya suara dariku mau pun darinya. Keenan sibuk mengumpulkan nyawanya yang masih tercecer, sementara aku duduk di ranjang sambil memegang jam di tangan. Keheningan itu terlalu canggung hingga ku putuskan untuk mengatakan hal lain yang sempat mengganjal pikiranku.

“Aku sebenarnya bersikap tak sopan padamu.”

Keenan membuka matanya dan menatapku penasaran. “Apa?”

Aku berdehem dan mencoba mengutarakannya. “Harusnya aku memanggilmu Kak, Pak, atau mungkin Om karena kau jauh lebih tua dariku.”

Pria itu terbahak mendengar ucapanku. Ini pertama kalinya aku mendengar tawa lepas darinya. Kali pertama bagiku melihat bibirnya melengkung membentuk senyuman. Momen pertama bagiku melihat barisan giginya yang rapih saat melontarkan tawa yang terdengar bak senandung di telingaku.

Aku suka melihatnya tertawa.

“Aku tak mau kau memanggilku seperti itu.”

“Memang sudah seharusnya seperti itu,” kataku sambil terkikik. Tawanya menular. Aku seolah terhipnotis oleh ekspresi wajahnya yang terlihat begitu menyenangkan.

“Kita hanya beda 19 tahun.”

“Kau bercanda!” Aku melemparkan bantal ke arahnya. “19 tahun dan kau bilang hanya?”

“Setidaknya tidak terlalu tua untuk dipanggil Om. Aku bukan pamanmu. Namaku lebih baik dari pada panggilan itu.”

“Oh, ada yang menolak tua rupanya,” godaku. Aku terkekeh dan kembali berkata padanya. “Padahal pamanku saja seumuran denganmu. Kenapa kau—”

Ucapanku terpotong saat tubuhku menegang seketika. Suasana hangat ini dipecahkan oleh suara ribut di balik pintu kamar. Aku meremang kala mendengar sayup-sayup suara itu.

Suara Loko.

“Brengsek!” umpat Loko.

Loko membuka pintu kamar dengan menendangnya. Detik itu juga matanya tertuju padaku. Seringai yang ia tunjukkan padaku menjadi tanda akan mimpi buruk yang menghadangku di hari ini.

“Zo, keluar lah dan bantu temanmu di depan rumah. Kita banyak pekerjaan yang menunggu.”

Perintahnya pada Keenan diutarakan dengan nada dingin yang terdengar berbahaya. Ia memang mengajak bicara Keenan, namun tatapan matanya tak sedikit pun beralih dariku. Fokusnya hanya ada padaku.

Aku melirik Keenan yang terdiam di sebelahku. Kembali ia mengeraskan rahangnya tanpa menoleh ke arahku sedikit pun. Ekspresi seperti itu yang selalu ia tampilkan ketika sedang menahan gejolak emosi.

Ini buruk.

“Sementara itu, aku akan bersenang-senang dengan bocah satu ini di tempat favoritku. Bukan begitu, Manis?”

Loko berjalan ke arahku pelan seperti singa yang akan menerkam mangsanya. Aku meremat pelan selimut di tanganku. Tubuhku tak mampu bergerak dan napasku mulai tersengal. Ketika tiba di depanku tepat, ia mencengkeram daguku kuat menggunakan satu tangannya.

“Biar aku yang mengurusnya.” Keenan berdiri dan berjalan ke sebelah Loko.

“Tidak, tidak. Keluar, Zo. Aku ingin berbincang dengan Jalangku ini.” Ia menunduk dan berjongkok di depanku.

“Bos, biar aku saja. Kau bisa istirahat—”

“Bawa Zo keluar.”

Dua orang pria bertubuh kekar datang ke kamar dan menarik Keenan keluar. Keenan terlihat meronta sambil mengumpat pelan. Sebelum ia menghilang dari pandangan, ia melirikku dengan pandangan cemas.

Tak ada Keenan berarti tak ada perlindungan.

Aku sendirian di depan mimpi buruk ini.

“Kau tahu, Manis, ayahmu adalah bajingan kaya yang sungguh pelit untuk anaknya sendiri.” Tangannya menelusuri wajahku. Aku memalingkan wajahku menghindarinya. “Dia pengecut, 'kan? Dalam waktu berpuluh hari ini ia tak datang untuk membebaskanmu padahal syaratnya begitu mudah. Uang senilai 10 miliar bukan lah hal yang sulit bagi politisi seperti ayahmu, bukan?”

“Dia bermandikan uang, bergelimang harta, namun untuk anaknya sendiri saja dia tak mau membayarnya. Sayang sekali.” Tangannya berhenti di leherku. Aku mencoba menepis tangan kasar yang mulai mencekikku itu.

“Lepas...”

“Hanya itu yang aku mau, tak ada yang lain dan ayahmu tak memenuhi keinginanku,” bisiknya. “Kau tahu jika itu membuatku kesal?” Ia mencekik leherku lebih keras.

Aku meringis saat napasku tertahan. Seberapa kuat aku mencoba melepaskan tangan itu dengan memukul-mukulnya tetap saja Loko tak bergerak sedikit pun. Pria itu seolah memiliki tenaga di luar batas normal atau memang aku saja yang lemah?

Sial, aku benar-benar tak bisa bernapas.

“Kau tahu kebiasaanku kalau sedang kesal? Aku suka sekali melampiaskan kekesalanku.” Ia mendekatkan wajahku padanya. “Dan aku ingin melampiaskannya padamu.”

Sedetik kemudian, tiba-tiba saja ia mengangkat dan melemparkan tubuhku ke sudut kamar. Kepalaku membentur tembok dan tubuhku terjatuh ke lantai. Aku terengah dan mencoba bernapas sebisa mungkin. Rasa sakit menjalar di tubuhku saat itu juga.

“Bangun, Sialan!” Ia meneriakiku.

Loko mendekatiku dan menarikku berdiri. Ia memukul wajahku keras hingga aku terjatuh lagi. Bajingan itu meludah di sebelahku sebelum ia mencengkeram pakaianku.

“Kau terlalu banyak dimanja, baik di istanamu maupun di sini. Ku rasa Zo terlalu baik padamu. Mungkin aku harus memperingatkannya agar memperlakukanmu seperti tawanan pada umumnya.” Loko berbisik di telingaku. Aku mengerang sakit dan memegang kepalaku yang berdenyut-denyut.

Seketika ia menyeretku bangun lagi dan menjambakku kuat-kuat. Aku tertunduk dan mencoba melepaskan cengkeramannya dengan susah payah.

“Sekarang saatnya penculikkan yang sesungguhnya.”

Loko menyeretku dengan menjambak dan membawaku keluar dari kamar. Ia membawaku menuju lorong demi lorong rumah ini. Kilas balik mimpiku semalam seolah terputar dengan jelas. Mimpi itu seolah jadi pertanda akan petaka yang kini tengah ku hadapi.

Aku meronta sebisa mungkin dan mencoba melepaskan cengkeramannya yang membuat kepalaku berdenyut hebat. Sia-sia. Tak bergeming sedikit pun. Seberapa keras aku mengaduh dan berteriak meminta tolong, tak ada siapa pun yang menolongku.

Bahkan Keenan sekali pun.

Beberapa saat kemudian, Loko memasukanku ke dalam suatu ruangan. Ruangan ini gelap gulita pada awalnya, sebelum sebuah cahaya redup dari lampu bohlam di sudut ruangan menyinariku. Loko melemparkanku begitu saja ke lantai.

Dua orang pria menarik tubuhku agar berdiri tegak. Aku berdiri dengan terhuyung dan meronta-ronta sekuat tenaga. Mereka merentangkan kedua tanganku dan mengikatnya menggunakan tali tambang di sebuah kayu berpalang X di ruangan ini.

Aku mencoba menendang tubuh, kaki, tangan, atau pun bagian tubuh mana saja milik mereka namun sialnya mereka berdua jauh lebih kuat. Tak ada yang berubah sedikit pun. Yang ada mereka malah tertawa-tawa saat melihatku kepayahan melawannya. Aku meringis kesakitan. Ikatan yang terlalu kuat ini nyaris membunuhku.

“Sekarang, Bos?” tanya salah seorang dari mereka.

Aku tak mendengar jawaban apa pun dari Loko. Aku mencoba memejamkan mataku menahan rasa sakit di sekujur tubuhku, mulai dari ujung kaki hingga ujung kepala. Rasa sakit ini begitu menyiksaku. Dimana Keenan saat ini? Apakah ia tak bisa menolongku?

Sebuah hantaman keras mendarat di perutku. Aku melengkungkan tubuh karena hantaman itu. Mataku terbuka dan mendapati Loko berada di depanku. Ia mengusap-usap tangan kanan yang baru saja digunakannya untuk memukulku.

“Ya, sekarang,” ucapnya. “Ingat, jangan sampai ada yang terlewat.”

“Siap, Bos,” ucap salah satu anak buahnya.

Tanpa aba-aba, hantaman itu datang lagi dan menerpa perutku, lalu wajahku, bibirku, kepalaku, dan hampir di sekujur tubuhku. Mereka memukuliku habis-habisan. Bajingan-bajingan itu mengabaikan jeritan kesakitanku. Yang lebih mengerikan lagi, mereka melakukannya dengan tertawa-tawa, seolah hal itu adalah hiburan dan lelucon.

“Hentikan, ku mohon,” pintaku. Aku memejamkan mata kala mereka memukul wajahku sekali lagi dengan sangat keras. Aku merasakan darah mengalir dari kedua lubang hidungku.

“Lihat, bocah itu menangis!” teriak Loko. Ia tertawa dan menamparku dengan keras. Wajahku terpelanting dan sebercak darah menetes ke lantai. Merah kehitaman kental.

“Sampai jumpa, Manis.”

Loko mendorongku sehingga aku hampir jatuh terjerembab. Akan tetapi, ikatan di tangan ini menahanku sehingga aku hanya setengah terduduk. Ia dan anak buahnya pergi meninggalkanku dalam ruangan pengap yang dikunci dari luar.

Aku merasakan sakit luar biasa di mana-mana. Keringat dan air mata yang bercampur dengan darah menyatu di tubuh dan wajahku. Aku menangis tak kuat menahan rasa sakitnya.

Keenan, dimana kau? Ku mohon datanglah…

Seberapa banyak aku merapalkan doa, nyatanya sia-sia. Ia tak ada. Keenan sama sekali tak muncul.

Ingatanku akan janjinya untuk mengeluarkanku terbayang di benak. Keenan sudah berjanji untuk membantuku keluar dari sini. Dimana saat ini ia berada? Kemana perginya orang yang telah menabur perhatian dan mengumbar janjinya padaku?

Aku menggertakkan gigiku menahan nyeri dan perih. Dengan posisi seperti ini tak ada yang dapat ku lakukan. Aku tak dapat banyak bergerak karena tanganku terikat ke atas sedangkan kakiku rasanya lemas sekali. Lututku bergetar hebat. Aku tak kuat lagi. Aku tak bisa menahannya.

Dan aku ambruk begitu saja tanpa menyentuh lantai.