webnovel

Chapter 23: Fate

Aku bangun dalam kegelapan pandang.

Aku mencoba menyesuaikan mata dengan kegelapan ruangan ini. Seingatku sebelumnya masih ada sedikit cahaya dari lampu bohlam di sudut ruangan. Sekarang sudah tak ada sama sekali. Benar-benar gelap gulita.

Aku jatuh pingsan dalam keadaan setengah berdiri dan setengah terduduk. Posisi tidak nyaman ini membuat badanku terasa remuk luar dalam. Kepala, badan, tangan, dan kakiku semuanya terasa sangat sakit. Terutama di bagian rusuk yang membuatku nyaris tak bisa bernapas.

Aku teringat lagi betapa kerasnya mereka menendang perutku. Mungkin saat ini rusukku sudah retak atau yang lebih parah patah. Sial. Aku ingin sekali memegang perutku. Rasa sakit ini benar-benar menyiksa.

Lidahku mencecap rasa asin dari darah yang mengalir dari hidung dan masuk ke mulut. Seberapa parah Loko menghajarku? Apakah tulang hidungku patah juga?

Menangis memang tak memperbaiki keadaan, namun setidaknya bisa lebih melegakan. Aku heran, ternyata masih ada saja stok air mataku ini. Padahal selama aku di sini sudah berjam-jam bahkan berhari-hari ku habiskan dengan menangis.

Sudah jam berapa sekarang ini? Kenapa Keenan tidak datang? Apa ia tidak mencariku? Atau Keenan memang sengaja tak mencariku? Apakah ia hanya berpura-pura baik di depanku?

Rentetan pertanyaan silih berganti mengelilingi kepalaku. Aku akan benar-benar kecewa jika ia memang hanya bersandiwara. Apabila Keenan ternyata memang bohong, aku akan sangat membencinya dan tak akan bisa memaafkannya sama sekali.

“Aku sudah diizinkan oleh Loko, kenapa kau menghalangiku?”

Suara lantang Hiro sayup-sayup terdengar di ambang pintu.

Dia datang!

Walaupun bukan Keenan yang datang, setidaknya masih ada sedikit harapan bagiku.

“Minggir, Jelek! Aku keponakan Loko. Aku bisa mengadukanmu kalau aku mau, tapi aku masih punya sedikit hati jadi minggir lah sebelum ku laporkan pada pamanku.” Hiro berucap dengan nada tinggi.

Terdengar gumaman marah dari seseorang di luar sana sebagai balasannya. Tak lama kemudian, kunci dibuka dari luar. Aku menangkap suara gedebuk sebelum Hiro mengumpat pelan.

“Shit!” umpatnya. “Gelap sekali.”

“5 menit!” teriak seseorang dari arah luar sebelum pintu berdebum ditutup.

Aku mencoba untuk bersuara agar Hiro bisa mendengar, namun tenggorokanku rasanya luar biasa sakit. Rasanya kata-kata sulit sekali terucap. Bahkan untuk mengeluarkan geraman saja sulit sekali.

Tiba-tiba terdapat sebuah cahaya yang memancar dari arah pintu. Rupanya Hiro menyalakan senter di tangan dan menyorotkan cahayanya padaku. Anak itu terpekik ketika menemukanku.

“Kak Minka!” ucapnya terkejut. Ia bergegas mendatangiku. “Astaga, Kak. Siapa yang melakukannya?”

Hiro berdiri di depanku dan menatapku dengan mata membelalak. Ia menyentuh wajahku dan membuatku meringis seketika. Seketika tangan itu dijauhkannya dan ia mendekatkan kepalanya padaku.

“Loko?” bisiknya.

Aku menganggukkan kepalaku.

“Sial, aku tak membawa apapun untukmu,” umpatnya. Ia merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah botol air mineral yang isinya tinggal seperempat. “Minum ini.”

Hiro membuka tutup botol dan menuntunku untuk minum. Meski kesulitan, ia menarik kepalaku ke belakang dengan pelan dan menuangkan mineral itu di mulutku. Air itu mulanya terasa perih di tenggorokan, namun lama kelamaan rasanya menyegarkan. Aku mencoba berdehem dan kali ini berhasil menemukan suaraku. Dengan susah payah ku coba untuk bicara padanya.

“Terima kasih,” bisikku sebisa mungkin. “Dimana Keenan?”

Hiro memasukkan kembali botol mineral itu ke dalam tasnya dan menatapku prihatin.

“Aku tak melihat Keenan seharian ini. Ku rasa Loko mengirimnya keluar kota, entah lah. Aku hanya dengar kalau kau sudah dibawa ke ruangan ini oleh Loko. Aku tak menyangka kalau dia akan menghajarmu seperti ini.”

Aku menarik dan menghembuskan napas pendek-pendek. Mencoba mengatur organ pernapasan ini agar bisa bertahan sedikit lebih lama. Bibirku mengeluarkan suara erangan karena rasa sakit di rusukku semakin menjadi-jadi.

“Berapa lama dia biasanya pergi?”

“Tak pasti. Bisa seminggu, 4 hari, atau bahkan satu hari saja. Aku akan memberitahunya segera jika ia sudah pulang,” jawabnya. “Kau sudah makan?”

Aku menggelengkan kepala. Merasa begitu letih dan pusing. Aku tak peduli dengan makanan. Yang penting aku harus segera keluar dari tempat terkutuk ini.

“Aku akan membawakan makan untukmu. Tunggu sebentar, Kak.” Hiro sedikit berlari menuju pintu, meninggalkan senternya untuk menemaniku dalam kegelapan.

***

Hiro tidak datang lagi setelah ia meninggalkanku kemarin. Begitu pula hari ini. Faktanya, tak ada seorang pun yang datang mencariku barang sedetik pun. Tak seorang pun termasuk Keenan.

Di satu sisi aku sedikit lega karena Loko maupun anak buahnya tidak mendatangiku. Akan tetapi, di sisi lain, mereka rupanya sedang mencoba membunuhku perlahan dengan membiarkanku dalam posisi seperti ini.

Praktis sudah dua hari aku setengah berdiri di kamar ini. Kakiku serasa hampir lepas dan tanganku kebas karena terikat kuat di tiang. Aku tak sanggup menerimanya lagi. Mungkin lebih baik mati daripada harus menerima perlakuan biadab tiada akhir ini.

“Minka.”

Sebuah suara lirih tertangkap oleh telingaku. Aku hampir tak dapat mempercayai apa yang baru saja ku dengar. Mungkin itu hanya imajinasiku saja, tapi suara itu terdengar seperti suara…

Keenan.

Benarkah?

“Minka, kau di dalam?”

Itu suara Keenan. Benar, itu suaranya! Demi Tuhan.

“Minka jawab lah, apa kau di dalam?” bisiknya lagi, kali ini sedikit lebih keras.

“Ya,” sahutku. Suaraku begitu kasar, serak, dan terdengar asing.

Pintu terbuka dan Keenan bergegas masuk dengan membawa senter. Ia menutup pintu dengan pelan. Begitu ia membalikkan tubuhnya menghadapku, mulutnya jatuh menganga. Ia terlihat sangat terkejut sehingga senter yang digenggamnya terlepas dari tangan dan menggelinding ke sisi ruangan. Keenan berlari menuju ke arahku.

“Minka,” bisiknya.

Tangannya mengusap lembut wajahku dan ketika ia mengangkat tangannya, terlihat darah yang mengotori jemarinya. Pasti berasal dari wajahku. Aku mengabaikan wajah paniknya dan mencoba untuk berdiri tegak namun langsung terjatuh lagi saking lemasnya.

“Tahan sebentar. Tahan.”

Keenan bergegas mengurai ikatan yang menahan kedua tanganku. Mata tajamnya fokus berkutat dengan tali yang terikat kuat. Begitu terlepas, aku langsung ambruk menimpa tubuhnya. Keenan menangkap tubuhku dan membawaku ke pelukannya.

Tanpa bisa dicegah aku menangis lega dan bahagia karena akhirnya ia bisa datang. Aku menumpahkan semua air mata yang tersisa di dadanya. Keenan memelukku erat seraya mengusap lembut kepalaku.

“Ku pikir kau tak akan datang,” bisikku diiringi isak.

Pria itu semakin mengeratkan pelukannya. “Aku pasti datang untukmu,” ujar Keenan.

“Ku pikir aku akan mati di sini.” Aku mengungkapkan ketakutan yang bersarang di kepala.

Keenan mengerang dan melepaskan pelukannya. Ia meraup wajahku dengan kedua tangannya dan memandangku lekat-lekat. Irisnya berkilat di kegelapan ruangan.

“Dengarkan aku,” ujarnya dengan nada tegas. “Aku tak akan membiarkan siapa pun membunuhmu. Tak akan. Maafkan aku karena datang terlambat. Maaf juga karena aku tak bisa mencegah Loko maupun bajingan lainnya itu melukaimu,” ucapnya sungguh-sungguh.

Aku menatapnya dalam-dalam.

Keenan, orang yang menculikku ke sini, pria asing yang tanpa ku sadari mulai ku cari saat keberadaannya tak dapat dijangkau dalam pandangan. Orang yang ku tunggu itu telah hadir di sini, di depanku, menggenggam tanganku kuat, memelukku erat, menenangkanku dengan kata-katanya. Orang yang mulanya ku umpati dan ku sumpahi agar cepat mati, kini malah jadi penompangku saat terluka. Skenario macam apa yang Pencipta siapkan untukku? Aku rasa takdir seakan mengajak bercanda denganku.

Entah mendapatkan keberanian dari mana, aku menyentuh wajah itu. Wajah yang berhias beberapa bekas luka. Pahatan yang semula menjadi mimpi burukku namun tidak dengan mata indah yang sorotnya mampu menjungkirbalikkan duniaku.

Dengan lancang aku mendekatkan tubuh yang menguarkan aroma yang mulai akrab dipenghiduku. Aku membawan wajahnya agar bisa lebih dekat denganku sehingga batas pemisah antara kami berdua hanya lah deru napas dan dentuman jantung. Dentuman yang begitu menggila, segila hal yang sedang ku lakukan di detik ini. Kesadaranku di ambang batas, begitu pula kewarasanku. Bahkan letihnya kaki yang menumpu tubuh seakan tak terasa lagi saat adrenalin menguasai diri.

Dan aku pun mencium bibirnya.

Keenan terlihat agak kaget namun ia membiarkanku menyentuhnya, membiarkanku merasakan hangatnya bibirnya. Butuh beberapa detik sebelum pertahanannya terlepas. Pria itu mengerang pelan sebelum mendorong tengkukku dengan hangat telapak tangannya.

Akan tetapi, rasa perih yang menyengat akibat bibirku yang berdarah karena pukulan Loko kemarin sedikit menggangguku. Aku mengernyit dan mendesis menahan perihnya. Detik itu pula Keenan mendorong pundak dan menjauhkan wajahku. Matanya tertuju pada bibirku dalam pandangan menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Jangan lakukan itu lagi. Bibirmu masih berdarah,” ucapnya tegas. Ia terlihat kurang setuju dengan tindakanku barusan. Ia beralih mengecup dahiku sebelum menggoyangkan bahuku pelan.

“Dengar.” Keenan memandangku tajam. “Kita tidak punya waktu banyak. Aku akan membawamu keluar dari sini sekarang juga. Kita harus melakukannya dengan cepat dan aku butuh kau untuk berlari. Kau bisa berlari sebentar?”

Butuh waktu beberapa detik untuk mencerna ucapannya yang terdengar menggema di telingaku.

Keluar? Keluar dari rumah ini? Benar kah?

Duniaku yang semula runtuh mulai terpupuk lagi perlahan-lahan.

“Kau akan ... membebaskanku?”

Dalam hati aku tak ingin banyak berharap. Tapi aku tak dapat menyangkal jika egoku menginginkan hal itu jadi kenyataan. Aku harap Keenan akan membuktikan janjinya padaku kali ini.

“Ya, Minka,” jawabnya tegas. “Saat ini juga. Kau sanggup berlari?”

Aku tersenyum lebar dan menjawabnya dengan antusias, mengabaikan rusukku yang menusuk-nusuk. “Bisa,” sahutku.

Keenan tersenyum puas. Ia melepaskan tubuhku dan berjalan menuju pintu. Aku mencoba berdiri tegak dan nyaris limbung jika tak berpegangan pada tiang di depanku. Ku coba lagi melangkahkan kaki untuk berjalan selangkah demi selangkah. Aku meremas perutku dan mengerang perlahan.

“Kau tak apa?” tanyanya.

Ia memandangku khawatir dan aku menganggukkan kepalaku sebagai jawabannya. Aku harus bisa menahan rasa sakitku ini. Aku mengatupkan bibir dan menggigit lidahku keras-keras untuk menahannya.

Keenan melongok ke arah luar selama beberapa detik, lalu masuk kembali.

“Aman. Kau harus mengikutiku. Ikuti perintahku,” titahya. Jika ku bilang menunduk, maka kau harus menunduk. Jika ku bilang berlari, maka harus lari. Kau paham?”

Aku mengangguk mantap. Meski terlihat kurang yakin, Keenan memberikan senyuman simpul untuk menyemangatiku. Ia mengulurkan tangannya dan menggenggam tanganku erat.

Ini lah waktunya. Saatnya aku pergi dari tempat terkutuk ini. Saatnya aku bebas. Saatnya aku melihat dunia yang hilang dariku.

“Sekarang.”

Keenan membawaku keluar dari ruangan ini dengan tangan kiri menggendong sebuah tas hitam dan tangan kanan menggenggam tanganku erat.