webnovel

Chapter 21: Dream Catcher

Aku berjalan sendiri di lorong panjang nan sempit dengan dinding putih susu dan cahaya temaram.

Senada dengan warna cat dinding, lantai tempat ini juga dihiasi oleh keramik berwarna serupa. Bau apak dari lorong ini sungguh mengganggu. Rasanya seperti tak pernah ada seorang pun yang menginjakkan kaki di sini dalam waktu yang lama.

Aku melirik ke arah belakang. Tak ada orang di sini. Pandangan bagian depan membuat bulu kudukku meremang. Rasanya seolah lorong ini bisa menelanku kapan saja. Sial, sebenarnya aku sekarang ada dimana?

Yang ku tahu, aku terus berjalan dan berjalan menyusuri lorong yang tak berujung ini. Setelah sekian lama berjalan akhirnya aku menemukan sebuah pintu di depanku. Pintu itu berawarna putih dan bercahaya. Cahayanya terlampau menyilaukan, membuat netraku terpejam sejenak sebelum menyipit kala mendekati pintu itu.

Entah siapa yang menyuruhku, dorongan dari siapa pun itu, aku membuka pintu di hadapanku. Aku masuk ke sebuah ruangan. Ruangan itu luas tapi aku tak melihat apa pun selain kabut putih tebal di sekelilingku. Aku memutuskan untuk berjalan hingga kakiku mati rasa.

Di sini dingin. Rasanya seperti diselimuti salju. Aku mencari-cari siapa pun yang bisa ku temui, namun lagi-lagi tak ada seorang pun yang terlihat batang hidungnya. Ketika harapanku hampir sirna, tiba-tiba saja aku melihat sosok perempuan berdiri di depanku dengan posisi membelakangiku.

Rambut perempuan itu berwarna hitam legam, sangat persis dengan milikku. Yang membedakan hanya lah rambut itu terlihat kotor dan kusut. Seperti tak dicuci bertahun-tahun. Terlihat sangat tidak terawat. Aku bertanya-tanya siapa orang yang terlihat begitu kumal ini?

Aku mendekati perempuan itu dan menyentuh pundaknya pelan. Perempuan itu membalikkan badan dan saat itu pula jantungku terasa jatuh ke dasar perut. Nyaris tak percaya dengan apa yang tengah ku saksikan.

Aku berdiri di depan orang yang berwajah sama denganku. Sama persis. Bagai pinang dibelah dua. Selain keadaan rambut dan pakaian kami, tak ada perbedaan yang ku temukan.

Aku memakai kemeja putih dan celana pendek dengan black Converse High, sementara orang itu mengenakan kemeja hitam yang lagi-lagi lusuh seperti tidak disetrika, celana pendek yang hampir sama dengan yang ku kenakan dan ia … bertelanjang kaki.

“Siapa kau?” tanyaku perlahan.

Ia diam saja dan memandangku dengan tatapan luar biasa menyedihkan. Ada sesuatu yang mengganjal dari tatapannya yang terlihat begitu pilu. Seolah-olah orang itu tengah mengemban masalah hidup yang teramat besar. Kenapa dengannya?

Kami saling bertatap wajah hingga sepersekian detik kemudian ia memegang buku jariku dengan erat. Perempuan itu menarik tanganku. Mataku tak bisa lepas dari kuku-kukunya yang panjang dan kotor yang kini tertaut denganku. Aku menatapnya waspada.

“Minka.”

Hanya itu yang terlontar dari mulutnya. Tangannya masih mencengkeram erat pergelangan tanganku. Air mata menetes dari netranya yang berwarna … merah?

Mata perempuan itu benar-benar merah.

Aku terpaku pada netranya. Menatapnya seolah menatap ke dalam samudera merah yang luas dan dalam. Mata semerah darah itu berkilat tajam.

Tiba-tiba saja tubuh perempuan itu bergetar dan cengekeramannya semakin menguat. Aku meringis merasakan sakit. Sakit karena cengkeraman itu dan sakit karena melihatnya begitu menderita. Ia terlihat begitu sedih, begitu terkoyak, begitu terluka dan entah bagaimana itu sangat menyesakkan dadaku.

“Tolong.”

Dia mengatakannya perlahan. Suaranya tak mirip denganku. Suara itu bergetar lemah, namun memiliki atmosfer gelap yang kuat. Suara itu membuatku menggigil ketakutan.

Tanganku terasa sakit saat aku mencoba melepaskannya darinya. Akan tetapi, satu tangan lain miliknya mencegahku dan semakin menekan kuat pergelangan tanganku. Aku harus pergi. Aku harus lari. Aku takut.

Di detik berikutnya, perempuan itu menangis dan berteriak kencang. Teriakannya sangat memekakkan terlingaku. Teriakan itu membuat seluruh tubuhku merinding dan lututku jadi lemas dibuatnya.

“Minka, bangun.”

Wajah itu menghantuiku…

“Ayo lah, bangun, Minka.”

Aku melempar tubuhku bangun dari tidur. Refleks memegangi pergelangan tanganku yang masih terasa sakit akan cengkeraman orang itu. Mataku menatap liar memindai ke sekitar ruangan penuh kabut, namun ruangan itu tak ada. Lorong temaram itu juga tiada. Perempuan itu tak ada.

Tapi Keenan ada di sini. Ia duduk di sampingku dan menatapku dengan pandangan cemas. Napasku terasa sesak dan aku kesulitan bernapas. Aku tak tahu apa yang terjadi. Tubuhku bergetar hebat.

“Take a deep breath, Minka.”

Aku mengikuti apa yang Keenan ucapkan. Aku menarik napas dan mengembuskannya selama beberapa kali. Keenan mengusap lembut punggungku dan dengan perlahan napasku yang tersengal kembali normal.

Keenan merengkuhku dalam pelukan dan aku membenamkan wajahku di dadanya. Wajahku basah oleh air mata dan keringat. Aku menangis dalam diam saat bayangan sosok mengerikan itu berkelebat di benak.

Keenan menggerakkan badannya ke depan dan ke belakang, secara berulang-ulang mencoba menenangkanku. Aku memejamkan mata dan merasakan hangatnya pelukan sosok yang selama ini banyak menghabiskan waktu denganku.

Aku tak tahu kenapa aku tak mampu menolak rengkuhan itu sama sekali. Aku tak mengerti mengapa dengan mudahnya aku bisa luluh oleh sentuhan dari orang itu. Yang ku yakini saat ini, Keenan tak akan menyakitiku.

Masih sedikit terisak, aku menoba menenangkan diriku.

“Tak apa. Kau aman.” Keenan mengucapkannya berkali-kali. Membisikkan kalimat itu di telingaku dan memelukku lebih erat dari sebelumnya.

Setelah dirasa sudah agak tenang, Keenan menjauhkanku dari tubuhnya. Ia memegang wajahku dengan kedua tangannya, membuatku menatapnya. Aku mencoba memfokuskan pandanganku yang mengabur tertutup air mata. Jemari pria itu menyentuh bibirku dengan ibu jarinya sementara tangannya yang lain menghapus air mataku.

Keenan meletakkan telapak tangan kiriku pada pipinya dan telapak kananku pada bibirnya. Ia mencium buku-buku jariku satu per satu dari semuanya. Hazel-nya terpejam dan aku kesulitan berkata-kata dibuatnya. Tubuhku menjadi kaku kala melihatnya bersikap manis seperti itu.

Setelah selesai, ia menggenggam tanganku. “Akan kuambilkan minum,” ucapnya dan ia beranjak dari tempatnya duduk.

Aku mencegahnya dengan menahan tangannya. “Jangan,” pintaku dengan suara serak.

Keenan berhenti dan duduk kembali. Ia menghapus sisa air mataku dengan ibu jarinya. Pria itu masih terlihat khawatir saat memandangku.

“Jangan pergi,” ucapku pelan.

“Hanya mengambil minum, Minka,” bisiknya.

Aku menggeleng dan menghapus air mata dengan lenganku. “Jangan kemana-mana. Stay with me.”

Sejenak Keenan tersenyum dan kembali naik ke ranjangku. Ia menuntunku agar merebahkan tubuhku lagi. Tangannya melingkar di pinggulku dan ia mendorong kepalaku agar menempel di dadanya yang hangat. Aku menghirup aroma tubuhnya yang menenangkan. Kembali merasa seperti di rumah.

“Dream catcher ternyata tak banyak membantu.”

Aku mendongakkan kepalaku. “Darimana kau dapat benda itu?”

“Online shopping belakangan ini banyak membantu.”

Aku tertawa pelan tanpa bisa ku cegah. Membayangkan pria sepertinya melakukan belanja online saja sudah terlihat aneh, apalagi benda yang dibeli adalah pernak-pernik khas perempuan.

“Kau pesan dream catcher itu karena aku sering mimpi buruk?”

“Apa lagi. Tak mungkin ‘kan aku pesan untuk dekorasi rumah?”

“Dan Music Box-nya?”

“Beli di tempat yang sama.” Keenan mengusap rambutku dan menjauhkan anak rambut dari wajahku. “Kau mau aku menyalakan music box-nya sekalian?”

Aku mengangguk.

Tangan Keenan terulur dan mengambil benda pemberiannya yang ku letakkan di atas meja. Ia menyalakan music box itu sebelum kembali memelukku erat dan mengusap-usap punggungku. Usapan itu menghantarkan jutaan sengatan kehangatan bagiku.