webnovel

Chapter 20: Promise

Hening. Tak ada suara. Aku tak sanggup mengeluarkan sepatah kata.

Hampir semenit penuh berlalu. Aku menelan ludahku sebelum melanjutkan pertanyaanku. “Bagaimana kau tahu semua ini?”

“Aku mencari info, Minka. Dari info yang ku terima, Tama dan Arum hanya lah orang tua angkatmu.”

Hening lagi. Aku menatapnya bingung. Kepalaku terasa pening tiba-tiba.

“Jadi aku hanya anak angkat dari ayah dan ibuku yang seumur hidup ku kenal?” tanyaku.

“Iya.”

Ini konyol. Tidak masuk akal. Aku tertawa dan berdiri lalu berjalan ke sana kemari.

Bagaimana aku mencerna semua informasi ini? Aku tak bisa jika harus menelannya mentah-mentah. Semua ini harus ada buktinya.

“Aku mau bukti,” ucapku. “Buktikan padaku semua ucapan omong kosongmu,” imbuhku.

“Ini bukan omong kosong, Minka.”

Aku tertawa lebih keras lagi. “Semua ini konyol! Kau mencoba menipuku dan aku tak tahu kenapa kau melakukan itu padaku!” kataku pedas.

Keenan berdiri dan menyentuh pundakku. Matanya menatap padaku tajam dan dalam.

“Aku tak pernah menipumu atau pun membohongimu. Aku hanya ingin membantumu melihat kebenarannya, Minka,” gumamnya.

“Tapi ini tidak benar! Orang tuaku adalah orang tuaku. Aku tidak kenal dengan Mario Shabir, Cleo Shabir, atau pun Tiffany Dinata. Nama belakangku Dinata, bukan Minka Lillian Shabir!”

“Kau diadopsi ketika kau berumur 1 tahun. Jelas kau tak mengingat orang tua kandungmu.” Keenan menahan tanganku. “Ayah dan ibu kandungmu adalah seorang pengusaha bidang ekspor-impor yang sukses di sini dan di Amerika. Ayahmu adalah rekan bisnis dengan Tama. Di masa lalu, mereka punya bisnis di bidang yang sama. Sayangnya, karena berselisih paham mereka malah menjadi musuh. Rival yang benar-benar mematikan.”

Aku menepis tangannya.

“Dengarkan dulu ceritaku, Minka,” perintah Keenan. Ia menarik tanganku agar tidak lepas lagi darinya. “Kabar yang beredar, di saat bisnis mereka berada di puncak, Mario dan Cleo melahirkan seorang putri yang mereka namai Minka. Di waktu itu pula, perselisihan antara Mario dan Tama semakin memuncak. Mereka saling menjatuhkan satu sama lain.”

“Dua tahun sebelum mengadopsimu, Tama dan Arum memiliki seorang anak bernama Tiffany. Seperti yang kau baca, Tiffany lahir dalam keadaan premature 6 bulan, lalu meninggal. Arum yang tertekan merasa depresi atas kematian putri pertamanya dan akhirnya memilih bunuh diri.”

“Tak lama berselang setelah istri dari Tama meninggal, tersiar berita jika ayah kandungmu alias Mario Shabir dikabarkan tewas terbunuh di rumahnya. Ayah kandungmu meninggal ketika kau berumur 1 tahun.”

Keenan manarik napasnya perlahan saat aku masih serius mendengarkannya.

“Dari info yang ku tahu dia tewas dibunuh oleh…”

“Siapa?”

“Ayah angkatmu, Tama Dinata,” pungkasnya.

Aku diam dan memandang matanya.

“Ini.” Keenan mengulurkan secarik kertas lusuh dari sakunya. Aku menerima kertas yang warnanya sudah berubah menjadi agak kekuningan karena termakan usia. Kertas itu tak lebih besar dari kertas binder ataupun buku catatanku. Aku membaca tulisan yang terpampang di pojok kanan atas.

‘Pengusaha Muda Tewas di Apartemen Mewah’

Judul dari artikel itu masih bisa terbaca dengan jelas olehku.

Aku memandang Keenan. Pria itu hanya mengangguk menandakan bahwa aku harus membaca kertas yang ku pegang. Aku mengikuti arahannya.

“Kematian Mario Shabir, pengusaha muda asal yang sukses dalam bisnis export-impor di Amerika Serikat baru-baru ini cukup mendapatkan perhatian publik pecinta seni. Mario yang juga memiliki Galeri Seni di pesisir pantai merupakan aktivis pecinta seni yang sangat dekat dengan para anak didiknya yang tergabung dalam sanggar seni miliknya. Tak heran jika kematian guru seni lukis ini mengundang tanggapan banyak orang di ibu kota. Mario ditemukan tewas dengan sebuah peluru yang bersarang di dadanya di apartemen mewah miliknya. Hal itu diketahui setelah tetangganya mendengar ada sebuah keributan pada malam harinya sekitar pukul 23:30 WIB, yang tak lama kemudian terdengar letusan yang mengagetkan warga lainnya. Warga yang panik mendengar letusan segera menelpon pihak yang berwajib dan bergegas mendatangi sumber suara yang mana berasal dari kamar Mario Shabir. Yoshi, salah satu warga yang tinggal di sana mengaku langsung mendobrak pintu kamar Mario dan mendapati pria itu sudah tewas bersimbah darah. Polisi yang tiba beberapa saat kemudian memastikan bahwa Mario tewas akibat pukulan benda tumpul di kepalanya dan karena peluru yang bersarang di dadanya. Mario diketahui memiliki seorang istri bernama Cleo Shabir dan seorang putri yang baru berumur 1 tahun. Istri dan putrinya dikabarikan menghilang pasca insiden ini. Diketahui bahwa Cleo Shabir kembali ke tanah kelahirannya, Boston, bersama anak mereka ketika peristiwa penembakan itu berlangsung. Hingga saat ini polisi masih menelusuri siapa pelaku penembakkan keji ini. Hingga berita ini diturunkan, belum ada konfirmasi dari keluarga maupun kerabat terkait dengan kematian…”

Berita itu terpotong sampai di sana. Tersobek sampai pada kata kematian. Aku menggenggam erat kertas ini dan memandanginya.

Benar kah semua yang tertulis di sini? Benar kah berita ini adalah keluargaku? Dimana ibuku saat ini?

Aku merasa kebas dan linglung setelah membacanya. Aku mempertanyakan kebenaran dari berita ini, namun hati kecilku mengatakan jika berita ini patut untuk diselidiki. Aku membalik potongan kertas di tanganku. Di sudutnya terdapat keterangan jika koran ini merupakan terbitan tahun 2000. Sudah lama sekali…

“Minka?” Keenan memanggilku. Aku menoleh kepadanya. “Kau—"

“Benar kah berita ini?” bisikku tak percaya. Kepalaku terasa berputar-putar akan informasi tak terduga ini.

“Masih harus dipastikan,” jawabnya. Keenan kemudian berujar lagi. “Aku punya satu lagi foto tentangmu.”

Ia mengambil sesuatu dari sakunya dan menyerahkan robekan kertas yang sepertinya diambil dari surat kabar. Aku menyentuh tiga wajah yang terpampang di sana. Seorang laki-laki yang mungkin berumur awal 30-an sedang duduk dengan memangku seorang anak perempuan yang sepertinya umurnya baru beberapa bulan.

Balita itu duduk dengan tersenyum lebar menghadap kamera. Dua gigi berukuran besarnya mulai tumbuh dan terlihat jelas di wajah mungilnya. Sangat menggemaskan. Ia mengenakan kaus berwarna putih bergambar Mickey Mouse dan beannie senada yang membuatnya terlihat semakin imut.

Di samping laki-laki itu terlihat seorang wanita yang duduk dengan tersenyum lebar pada kamera. Rambut pirangnya dibiarkan tergerai bergitu saja. Ia merangkul pria di sampingnya itu dan menyenderkan kepalanya ke bahu Sang Lelaki.

Mereka terlihat sangat bahagia. Tak ada sedikit pun cela. Aku membaca tulisan yang terdapat di bagian bawah foto.

“Mario Shabir beserta istri dan anak perempuannya…”

“Itu kau, Minka,” ucap Keenan perlahan.

Aku…

Bayi menggemaskan dengan gigi kelinci itu adalah aku…

Ada dorongan aneh dari dadaku yang memaksaku untuk melempar stopmap di tanganku. Aku ingin mengenyahkan segala omong kosong itu dari hadapanku. Tidak mungkin semua yang Keenan katakan itu benar.

“Mengapa kau lakukan ini?”

Keenan mengambil stopmap itu dari lantai. Tangannya terulur hendak menyentuh puncak kepalaku sebelum aku menepisnya keras. Aku menyalak dan mundur satu langkah darinya.

“Mengapa kau memberitahuku semua informasi ini?” tuntutku lagi.

“Aku ingin membantumu,” jawabnya.

Aku mengacak rambutku frustasi. Kepalaku semakin terasa pening. “Astaga, Keenan. Kau penculikku, bukan? Mengapa kau melakukan ini padaku? Apa yang kau mau?” tanyaku dengan nada keras. Aku tak peduli jika ada orang lain yang bisa mendengarnya. Aku hanya perlu penjelasan sejelas mungkin dari pria di depanku ini.

“Apa ini bagian dari rencanamu dengan Loko?” bisikku. “Apa kau berniat menjebakku dengan skenario dongeng konyol ini? Kau … disuruh Loko untuk memberitahu kebohongan ini?”

Membayangkan orang ini melakukan semua ini padaku hanya demi Loko membuat dadaku terasa sesak. Aku tak tahu pijakan mana yang harus ku injak. Aku tak mengerti sisi dirinya yang mana yang harus ku ikuti.

“Kapan aku pernah bohong padamu?”

Mataku memanas ditatapnya intens. Keenan menahan kedua tanganku dan mengguncang tubuhku pelan. Ia menatapku dengan tatapan terluka.

“Aku mungkin brengsek. Aku bajingan keji yang sudah menidurimu dua kali. Aku memang menempatkanmu dalam neraka dunia ini tapi aku tak pernah bohong padamu.”

Aku menggigit bibirku menahan tangis. Melihat Keenan yang memarahiku begini membuatku menciut. Jika ku pkir-pikir lagi, ia memang tak pernah berkata bohong padaku. Ucapannya barusan benar juga.

“Yongki.”

Dahiku mengernyit mendengar satu nama itu keluar dari mulut Keenan.

“Yongki … siapa?”

“Ada berapa banyak Yongki yang kau kenal, sih, Minka?”

Otakku fokus pada satu-satunya Yongki yang ku kenal.

“Paman Yongki. Wakil walikota. Partner kerja ayahku,” tuturku. “Kenapa dengan—”

“Dia dalang dari penculikanmu.”

Mataku membelalak mendengar ucapannya.

“Aku akan membantumu keluar dari sini.” Keenan melepaskan kedua tangannya dariku. “Ada beberapa hal yang harus ia tebus untukku. Harus ia bayar untukku. Ku rasa mengeluarkanmu dari sini adalah salah satu caranya.”

“Apa maksud—“

Jemarinya menahan bibirku yang nyaris mengeluarkan berbagai cercaan dan pertanyaan. Ia mendekatkan wajahnya padaku. Mempersingkat jarak kami berdua. “Tunggu, Minka. Aku janji tak akan lama.”

Aku kembali menundukkan pandangku kala napas hangatnya menyentuh hidungku.

“Kau hanya perlu percaya padaku,” ucapnya.

Bisa kah aku mempercayai penculikku ini?