webnovel

Chapter 19: The Names

Klik.

Keenan memborgol kedua tanganku ke depan. Katanya, ia melakukannya agar anak buah Loko yang lain tak perlu banyak menginterogasinya. Tentu saja, membawa keluar seorang tawanan bukan hal yang wajar. Apalagi semenjak percobaan kaburku beberapa waktu yang lalu. Keenan bilang, Loko jadi lebih waspada terhadapku meski pun saat ini bajingan itu sedang tak ada di rumah ini.

Aku menyentuh pelan benda mengkilat ini. Borgolnya menempel erat di pergelangan tanganku. Rasanya dingin dan terasa ganjil. Aku merasa seperti seorang narapidana yang akan dijebloskan ke penjara saja. Aku melirik ke arah Keenan yang tengah menatap tanganku. Raut wajahnya menjadi tak menyenangkan ketika selesai memakaikan benda ini padaku.

“Kau jalan di depanku,” perintahnya.

Kepalaku menoleh ke arah belakang. Keenan berjalan tanpa suara di balik punggungku. Ketika kami tiba di tangga, aku menghentikan langkahku.

“Kau mau aku berjalan kemana?” tanyaku.

“Turun lalu belok kanan.”

“Oke.”

Aku mengikuti apa yang dia katakan. Di bawah tangga aku pun berbelok ke kanan dan melanjutkan langkahku. Keenan masih diam tanpa suara, pun begitu denganku.

Aku berjalan perlahan di depannya seraya melihat berkeliling ke sekitarku. Déjà vu. Rasanya sama persis seperti yang ku lihat beberapa hari yang lalu. Jika sebelumnya aku hanya memandang sekilas karena sibuk menjaga keselamatanku saat kabur, kali ini aku punya kesempatan untuk memandangi rumah yang jadi tempatku disekap. Kami melewati beberapa ruangan di bagian sini.

Interior rumah ini bergaya industrial. Rumah ini didominasi dengan aksesori dan furnitur yang terkesan kasar namun mempunyai finishing yang halus. Tampilan desainnya yang urban, raw, namun tak meninggalkan kesan modern membuat rumah ini sebenarnya sangat menarik untuk dihuni. Akan tetapi, mungkin karena hawanya yang kurang nyaman atau pun karena fakta bahwa rumah ini dijadikan tempat untuk berbuat hal buruk membuat hunian ini terkesan dingin dan menyedihkan.

Kenapa bisa rumah sebagus ini digunakan untuk hal yang sia-sia? Siapa pemilik rumah ini? Dimana pemilik rumah ini?

Netraku melirik ke sisi kiri dimana terdapat ruangan yang untuk sekilas ku lihat ada sebuah televisi layar datar yang terpasang di sana. Terdapat juga beberapa kursi sudut berwarna mauve. Aku menghentikan langkahku kala mendapati dua orang laki-laki berbadan tegap dan berwajah garang berdiri menghadangku. Mereka memandangku dengan tajam.

“Punyamu?” tanya salah satunya.

Orang yang bertanya padaku memiliki sebuah tato ular di lengan kiri atasnya. Sementara teman di sebelahnya tertawa cekikikan sambil meminum minuman dari sebuah botol yang mengeluarkan aroma tak sedap. Pasti itu alkohol murahan. Entah jenis apa.

“Ya.” Keenan menjawabnya dengan singkat.

“Dia manis juga. Boleh lah kita main bersama.”

“Bawa sini lah sebentar.”

“Sudah kau apakan saja gadis itu?”

Ucapan dan tawa mereka membahana di ruangan ini. Tubuhku bergidik dan bergetar ketakutan karena ucapan menjijikannya itu. Tubuhku membeku namun Keenan sedikit mendorongku agar berjalan lebih cepat. Pria itu mengabaikan perkataan teman-temannya.

“Jangan dengarkan mereka. Belok kiri,” bisiknya di telingaku. Entah mengapa suaranya penuh dengan ketenangan. Seolah-olah hanya dengan bisikan itu, ia dapat membuatku merasa aman.

Aku menarik napas dalam-dalam dan melanjutkan langkahku dengan kikuk. Untungnya kedua orang tadi tak mempermasalahkan sikap Keenan yang cuek. Tak berapa lama kemudian, Keenan membuka sebuah pintu kaca di depanku dan hal selanjutnya yang ku jumpai adalah pemandangan yang cukup menyegarkan mata.

Sebuah padang rumput.

Padang rumput yang mungkin luasnya sekitar seratus meter atau lebih dengan beberapa tanaman di sisinya yang mengelilingi bagaikan sebuah pagar. Keenan menyuruhku duduk di sebuah kursi goyang di depanku. Aku melangkah ke sana dan duduk dengan tenang. Keenan kemudian hendak berjalan masuk ke dalam rumah itu lagi.

“Keenan, kau mau ke mana?” tanyaku agak panik. Bagaimana kalau teman-temannya itu datang dan menggangguku?

“Tunggu sebentar,” ucapnya. “Jangan khawatir. Aku mengunci akan pintunya. Mereka tak bisa masuk.”

Untuk beberapa saat setelah mendengar suara pintu yang terkunci, aku dapat mengembuskan napas lega. Aku menatap ke sekitarku, mengagumi pemandangan ini.

Berhari-hari dikurung di sebuah kamar kecil pengap bukan lah hal yang sehat untuk tubuhku. Aku tak bisa melihat pemandangan apa pun dari sana kecuali sebuah jalan yang bisa terlihat dari jendela kamarku. Itu pun harus berjinjit.

Keenan baik juga mau membawaku kemari.

Aku menghirup udara segar sebanyak mungkin yang bisa ku hirup. Mumpung masih ada di ruang terbuka, aku harus menikmatinya selagi ku bisa. Aku harap Keenan bisa memberiku banyak waktu untuk berada di teras kebun ini.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Jauh di depanku, terdapat tiga orang yang sedang berdiri. Salah satunya membawa sebuah sekop dan beberapa pot. Mungkin mereka tukang kebun di sini. Ketiga orang itu sama sekali tak menghiraukanku. Ketiganya sibuk dengan urusannya masing-masing.

Siapa sebenarnya orang yang memiliki rumah megah yang penuh dengan penyamun di setiap sudutnya?

“Kemarikan tanganmu.”

Tubuhku terlonjak mendengar suara Keenan. Aku bahkan tak sadar akan kehadirannya. Sejak kapan dia kembali?

Dengan patuh aku mengulurkan kedua tanganku kepadanya. Keenan mengeluarkan sebuah kunci kecil dari saku celananya dan meraih pergelangan tanganku. Jemarinya mengusap pelan tanganku.

“Sakit?”

Aku melirik ke arahnya. Pria itu menatapku teduh. “Sedikit,” jawabku. “Kenapa?”

Keenan membuka borgol dengan kuncinya. Setelah kedua borgol terlepas, Keenan segera menjauhkan borgol itu dariku. “Maaf harus memborgolmu. Just in case Loko tiba-tiba datang.”

Maaf.

Lagi-lagi ia meminta maaf. Masih aneh rasanya melihat ia selembut ini memperlakukanku. Aku tak mengharapkan ucapan maaf darinya karena sudah merantaiku bak penjahat. Aku paham jika ia terpaksa melakukannya.

“Baca lah.” Keenan mengulurkan sebuah stopmap di depanku.

Mengabaikan sikapnya yang masih membuatku awkward, aku menerima stopmap itu dan mulai membukanya.

Di halaman pertama yang kulihat adalah … Astaga … Biodataku.

Nama lengkap, tanggal lahir, alamat, riwayat pendidikan, nomor rekening, kartu mahasiswa, tinggi badan, berat badan. Astaga, hampir semuanya ada di sini. Aku memandang Keenan meminta penjelasan.

“Baca dulu sampai habis,” katanya.

Aku membacanya dari atas hingga bawah. Ada beberapa kompilasi fotoku dalam stopmap itu. Foto dalam berbagai acara. Ada fotoku ketika acara makan malam di sebuah hotel berbintang bersama ayahku, yang mana seingatku acara ini berlangsung ketika umurku 13 tahun. Ada lagi fotoku bersama teman sekolahku, fotoku dari zaman bocah hingga saat ini, semuanya ada di sini.

Aku membuka lembar kedua. Lembar kedua di stopmap ini berisi tentang … Siapa ini? Aku tak mengenalnya.

Di sini tertulis Mario Shabir dan Cleo Shabir.

Aku terdiam dan membacanya. Terdapat biodata yang sama sepertiku. Ada pula dua buah foto masing-masing laki-laki dan perempuan yang mungkin usianya berkisar kepala tiga. Di sini, tertulis bahwa Mario Shabir adalah pemilik perusahaan Shabir Inc. di Boston, Amerika. Istrinya, Cleo Shabir memiliki seorang anak perempuan yang bernama...

Minka Lillian Shabir.

Itu… namaku… dengan nama belakang yang berbeda…

Aku melihat lembar ketiga. Lembar ini berisikan biodata… Ayah dan ibuku!

Biodata yang tertulis di sini sama seperti kenyataan yang ku ketahui. Nama ayahku yaitu Tama Dinata dan ibuku Arum Dinata. Alamatnya, pekerjaannya, nomor telepon, hobi, dan nama anaknya yaitu…

Tunggu dulu…

Tiffany Dinata.

Siapa Tiffany Dinata?

Ku rasa aku salah membaca.

Aku mengucek mataku dan membacanya ulang. Benar. Disini tertulis Tiffany Dinata, bukannya Minka Lillian Dinata. Apakah ada kesalahan dalam penyusunan data?

Di bawah biodata ayah dan ibuku terdapat catatan singkat tentang Tiffany Dinata.

Di sini tertulis bahwa Tiffany Dinata lahir pada tanggal 18 Februari 1999. Dia puteri tunggal dari Tama Dinata dan Arum Dinata yang lahir dengan kondisi premature, yaitu di kandungan yang berumur 6 bulan dan…

Dia meninggal ketika berumur 2 minggu.

Terdapat foto seorang bayi mungil yang sedang tertidur di dalam inkubator. Bayi itu sangat mungil dan terlihat rapuh. Aku membalik foto itu dan menemukan tulisan tangan nama Tiffany Dinata terukir menggunakan tinta biru.

Astaga.

Aku buru-buru menutup stopmap itu.

“Apa…“ Aku mengatupkan lagi mulutku. Tak tahu harus memulai dari mana. “Apa maksud ini semua?” tanyaku pada akhirnya.

Keenan tidak langsung menjawab pertanyaanku. Ia terdiam selama beberapa saat dan menatap stopmap itu. Dahinya mengernyit, ia memijat-mijatnya sekilas.

“Aku juga bingung bagaimana menjelaskannya,” ucapnya.

Aku mencoba menata pertanyaanku. Ratusan pertanyaan siap ku semburkan padanya. Dari ratusan pertanyaan yang siap membuncah, yang pertama terlontar adalah…

“Siapa Tiffany Dinata?”

Keenan menjawabnya dengan perlahan “Anak kandung dari orang tuamu.”

Aku tergagap. Bayi mungil dalam inkubator itu adalah anak orang tuaku? Kenapa aku tak tahu sama sekali?

“Jadi dia kakakku?”

Keenan menggaruk dagunya. “Bisa dibilang begitu.” Dia menambahkan “Tapi dia bukan kakak kandungmu.”

Aku menganga dan mengatupkan mulutku.

“Siapa Mario Shabir dan Cleo Shabir?” tanyaku.

Keenan duduk di lengan kursi goyang yang ku duduki ini. Aku mendongak dan mendapati Keenan terdiam sejenak tak langsung membalas pertanyaanku. Netra hazel-nya menatapku dengan tatapan cemas.

“Dia orang tua kandungmu.”