webnovel

Chapter 18: A Smile

Aku terbahak merasa lucu akan ucapannya.

Aku tahu ia hanya sedang mengerjaiku dan itu tidak berhasil sama sekali. Jarang sekali Zo bercanda dan sekalinya bercanda ia malah terlihat serius. Atau memang dasarnya ia tak bisa memasang wajah yang santai saja?

“Minka, aku tak bercanda.” Zo mengatakannya secara tegas padaku.

Aku menahan tawa dengan menggigit bibirku. “Aku tahu,” jawabku.

“Lalu kenapa kau tertawa?”

Aku memegangi perutku yang terasa kram. “Aku tahu kau bohong, Zo. Kau hanya mengerjaiku dan sayang sekali kau ketahuan. Belajar bercanda yang benar sebelum—"

“Aku tak bohong,” potongnya. Aku menghentikan cengiran di wajahku saat matanya dengan cepat mengunciku dalam tatapan tajam. Aku terdiam dan memperhatikan ucapannya. “Ada sesuatu yang salah tentang orang tuamu, aku yakin itu. Aku akan mencoba mencari tahunya untukmu secepat mungkin.”

Sesuatu yang salah? Apanya yang salah? Tidak ada apa pun yang salah tentang orang tuaku. Mereka nyata orang tua kandungku. Bagaimana mungkin itu bisa salah?

“Aku tahu mungkin ini membingungkanmu, tapi aku akan mencari tahu siapa orang tuamu yang sebenarnya, lalu—“

“Mereka orang tuaku asli, Zo! Ayahku adalah orang tuaku, begitu juga mendiang ibuku yang sudah meninggal ketika melahirkanku. Apa yang kau bicarakan?” semburku merasa tak terima dengan tudingannya.

“Tidak. Kau salah. Mereka—“

“Mereka orang tuaku. Tak ada yang lain,” tegasku. “Aku yang salah. Seharusnya aku tak memikirkan gertakan Loko. Aku hanya ingin membicarakannya denganmu tapi kau malah—"

Tangannya menahan bahuku. “Stop,” ucapnya. “Aku tak suka dibantah.”

Aku menghembuskan napasku yang memburu. Mata indah itu berkilat. Tatapan mengancamnya datang lagi dan itu tidak terlalu menyenangkan untuk dilihat.

Dering suara ponsel milik Zo memecahkan ketegangan di antara kami berdua. Ia melepaskan tangannya dari bahuku dan merogoh saku celananya. Zo berbicara dengan seseorang di sana dengan jawaban yang singkat-singkat. Pria itu sesekali menganggukkan kepala atau menggaruk dagunya. Setelah beberapa saat ia mematikannya.

“Aku harus pergi.” Ia menelisik wajahku melalui jemarinya. “Akan ada seseorang yang masuk ke sini, tapi tenang saja, ia tak akan membahayakanmu.”

Zo bergegas pergi meninggalkanku dengan sejuta pertanyaan yang berkecamuk di benak.

Tak lama kemudian, seseorang masuk ke kamarku. Aku melongoknya sedikit dan berharap Zo kembali tapi ternyata bukan. Sosok yang masuk ke kamarku adalah sesosok remaja yang tingginya hampir setara dengan Zo. Anak yang waktu itu pernah mengantarkan makanan padaku. Setelahnya, aku mendengar suara pintu yang dikunci dari luar.

“Ini untukmu,” ujarnya seraya meletakan paper bag berwarna merah di atas meja.

Aku beranjak dari tempatku duduk dan mendatanginya. “Siapa kau?” tanyaku.

Aku memperhatikan rambutnya yang diwarnai warna pirang dengan gradasi biru tua di area poninya. Rambutnya sangat unik. Mungkin suatu saat aku akan mencoba mewarnai rambutku seperti dia.

Anak itu bertubuh kurus dengan wajah yang dihiasi cengiran. Netranya memandangku dengan penasaran. Seolah-olah sedang menggali info sebanyak-banyaknya dari lekuk wajahku.

“Pantas Keenan menyukainya.”

“Apa?” Aku menangkap nama ‘Keenan’ dan ‘Menyukainya’. Menyukai siapa? Menyukai aku?

Jangan bercanda, Minka.

“Namaku Hiro,” jawabnya dengan mengabaikan pertanyaanku tentang gumamannya.

“Siapa kau?”

“Aku teman baik Keenan. Kami sekutu,” ujarnya. Detik berikutnya ia bergumam ‘Ah’ pelan lalu menepuk dahinya. “Keenan itu Zo. Zo itu orang yang sering datang ke—”

“Aku tahu,” potongku. “Tapi kenapa kau panggil orang itu tanpa embel-embel Kak? Dia pasti jauh lebih tua darimu.”

Dia tertawa mengejek padaku. “Sudah ku bilang kami itu sekutu. Dia itu partner in crime-ku. Untuk apa aku memanggilnya Kak? Walau pun beda umur kami jauh sekali, sih.”

“Berapa umurmu?”

“Lima Belas.”

“Berapa umur Keenan?”

“Empat puluh.”

Aku nyaris tersedak ludahku sendiri saat mendengar umur Keenan.

Empat puluh tahun. Astaga. Kenapa wajahnya awet muda? Ku kira umurnya tidak setua itu.

“Eh, tiga puluh sembilan. Ulang tahunnya masih bulan depan, sih.”

Sama saja.

Aku bahkan bisa memanggil Keenan dengan panggilan paman.

Tubuhku bergedik ngeri. Jadi orang yang semalam tidur denganku sudah seumur pamanku sendiri. Aku berdehem dan mengusir kekagetanku dengan balas mengamati bocah di depanku ini. Sepertinya dia terlihat oke. Maksudku, kalau dilihat dari wajahnya, sepertinya mungkin ia tak akan menyakitiku.

Dengan santainya Hiro mendatangi ranjangku dan merebahkan tubuhnya di sana. Seolah-olah tempat itu adalah miliknya sendiri. Anak itu kemudian mengambil sepotong roti bakar milikku dan melemparnya ke udara. Mulutnya terbuka dan roti itu berhasil masuk dengan mulus. Anak itu terkekeh dengan ulahnya sendiri.

“Aku harus pergi,” ujarnya tiba-tiba. Ia memakai topinya yang sempat dilepaskan dan lompat dari ranjang.

“Tunggu,” cegahku cepat. Ia berhenti dan memandangku dengan tatapannya yang terlihat polos. “Dimana partner-mu?”

Seketika ia tertawa girang saat aku menanyakan perihal Zo padanya. Aku memandangnya heran. Apanya yang lucu?

“Pacarmu sedang bertemu dengan Loko.”

Pacar? Wajahku memanas oleh satu kata itu.

“Dia bukan pacarku!”

Hiro terkekeh lagi. “Tak mungkin,” katanya. “Keenan tak pernah secerah ini sebelumnya. Aku bertanya-tanya, setan apa yang merasukinya sehingga ia jadi sering tersenyum belakangan ini. Setan itu ternyata cantik juga.”

Aku berkacak pinggang. “Kau jangan sembarangan kalau bicara!”

“Setannya galak pula.”

“Aku bukan setan!”

“Memang aku bilang kalau kau setannya?”

“Ish!”

Tawa Hiro kembali terdengar. Ia terlihat puas sekali sudah mengerjaiku. “Tapi asli, satu, kau memang cantik. Tidak bohong, tidak gombal. Dua, Keenan memang sedikit lebih lembek akhir-akhir ini. Ia jadi sering cari alasan untuk datang ke kamarmu. Tiga, Keenan sering cerita tentangmu padaku. Apa lagi coba kalau bukan karena tertarik padamu?” Hiro mengetuk pintu kamar sebanyak dua kali. “Wajar sih kalau begitu. Kalau aku jadi dia juga aku akan suka dengan perempuan cantik sepertimu.”

“Kau—”

Belum sempat protesku terlontar, anak itu kabur saat pintu terbuka dari luar.

***

Beberapa saat yang lalu aku membuka paper bag merah yang dibawa oleh Hiro. Isinya adalah sebuah dream catcher berwarna putih dan sebuah music box. Music box itu sangat indah. Lagu yang berada di dalamnya pun begitu menenangkan. Rasanya aku bisa menenangkan pikiranku saat mendengarkannya.

Sementara itu, dream catcher-nya… well, bukan kah benda itu dikenal berguna sebagai penangkal mimpi buruk, ‘kan? Belakangan ini memang aku sering bermimpi yang aneh-aneh. Itu sebabnya kah Zo memberikan benda ini untukku?

Aku mengelus bulu-bulu indah yang menghiasi dream catcher di tanganku. Cantik sekali. Dia beli dimana ya?

Aku mendesah pelan. Orang itu benar-benar membuatku bingung. Belum lagi ucapan bocah tadi yang membuat debaran di dadaku tak berhenti sejak tadi.

Mungkin kah anak itu hanya melebih-lebihkan keadaan? Tapi melihat perubahan sikap Zo, sentuhannya padaku, afeksi yang terlampau hangat, dan benda-benda yang ia berikan padaku … setidaknya menunjukkan jika ia sedikit peduli padaku.

Atau banyak?

Aku benar-benar tak tahu apa yang sedang terjadi.

Ia penculikku. Jelas-jelas orang itu bersekongkol dengan Loko dan beberapa penjahat lainnya untuk membawaku ke sini. Ia bahkan memperkosaku, tapi kenapa dia bersikap seperti ini padaku? Apa maunya sebenarnya?

Begitu banyak yang harus ku tanyakan padanya. Begitu banyak ucapan yang harus diluruskan. Sialnya ia malah menghilang seharian ini. Untuk apa ia bertemu dengan Loko lagi?

“Apa yang kau lamunkan?”

Aku terlonjak dari dudukku di lantai kala husky yang sedari tadi ku tunggu-tunggu menyapa gendang telingaku. Zo berjalan ke arahku dan mengulurkan sebelah tangannya padaku. Aku meraih tangan itu dan berdiri.

“Aku akan mengajakmu keluar.”

“Keluar?” pekikku nyaris berteriak saking kagetnya. Zo akan mengajakku keluar? Benar-benar keluar? Ia akan membebaskanku?

“Jangan senang dulu. Aku hanya akan mengajakmu ke halaman belakang, agar kau tidak bosan.”

Senyumanku seketika ku tarik kembali.

Hanya itu? Hanya ke halaman belakang? Dia tidak…

Ah bodohnya aku. Bodoh sekali karena berharap lebih pada orang ini. He’s the bad guy, after all. Kenapa aku berharap ia mau membantuku pergi dari sini?

“Ada yang harus ku tunjukkan padamu,” ucapnya.

Aku menundukkan kepalaku. Aku melepaskan tanganku yang digenggamnya. Entah mengapa merasa sedih karena ajakannya membuatku terlanjur melambungkan harap.

“Minka?”

Sebelum ku sadari, jemari pria itu sudah berada di daguku, mendongakkan, membuatku menatapnya tepat di bagian mata. Pandangannya menuntut, meminta jawaban atas diamku. Alis tebalnya berkerut. Ia memiringkan kepalanya.

“Ku pikir kau akan membebaskanku. Membiarkanku pulang,” bisikku. “Ternyata aku keliru.”

Dia tertegun dan menatap wajahku datar tak berekspresi. Aku mencoba tak memandang ke arah matanya. Pandanganku jatuh pada rahangnya. Rahangnya mengeras lagi seolah sedang menahan sesuatu.

“Aku tak bisa,” jawabnya singkat.

Aku menyingkirkan tangannya dari wajahku. Mendadak merasa luar biasa terluka. “Lalu kenapa kau bersikap seperti ini padaku?”

“Bersikap bagaimana?”

Aku berdecak kesal. Dia benar-benar idiot. Tak peka. Tak perasa.

“Mengapa kau bersikap baik padaku?” tuntutku. “Mengapa kau tak seperti Loko? Mengapa selalu kau yang datang padaku? Mengapa kau memberiku perhatian lebih?” Aku menunjukkan dream catcher di tangan kiriku. “Dream catcher, music box, jam, apa makna semua barang-barang itu? Kau juga merawatku saat sakit, menyuapiku saat sedang malas makan, menidurkanku di ranjang saat pingsan di lantai, menemaniku tidur saat bermimpi buruk, mengecup kepalaku saat sedang menangis, memelukku erat saat aku ketakutan. Hiro bilang kau sering cerita tentangku padanya. Apa arti itu semua? Kau cuma kasihan padaku?”

Zo menarik tanganku sehingga tubuhku menabrak tubuh tegapnya. Tangan kanannya mengunci pinggangku saat aku mencoba meronta. Netranya berkilat tajam. Pandangan tak mengenakkan itu hadir lagi. Jantungku bertalu-talu, khawatir reaksinya tak sesuai dengan harapanku.

“Minka—”

“Lepaskan aku!”

“Minka—”

“Keenan!” pekikku. “Kau selalu membuatku bingung!”

Detik berikutnya pria itu menarik daguku dan mengecup bibirku pelan. Aku masih meronta dan mencoba melepaskan bibirku darinya. Napasku terengah namun ia kembali menarik wajahku supaya lebih dekat dengannya. Aku meronta lagi dan kali ini berhasil memutus ciuman itu.

“Sshh,” ucapnya menenangkan.

Cengkeramannya pada pinggangku mulai berkurang. Jemari di tangan kirinya kini membelai lembut suraiku yang sedikit teracak. Ia membungkuk dan mengecup pucuk hidungku. Tanpa sadar aku memejamkan mata dan menahan napas saat wajahnya nyaris tak berjarak dari wajahku.

“Bernapas, Minka.” Ia mengingatkan dengan suara seraknya. “Apa aku menakutimu?”

Apa ia menakutiku?

Aku menimang-nimang perasaan gamang yang sedari tadi ku rasakan. Pria itu memang menciumku paksa. Kilat tatapan tak mengenakkan darinya juga sempat terlihat, namun begitu samar dan tak selama biasanya.

Lucunya aku menyimpulkan bahwa aku tak merasakan ketakutan seperti saat ia memaksaku seperti tempo hari.

Kepalaku menggeleng pelan.

Jawaban dariku membuatnya kembali merengkuh pinggangku. Dengan hati-hati ia mengecup bibir basahku. Sebuah kecupan ringan tanpa banyak hasrat di dalamnya. Kecupan yang sarat akan rasa damai dan menenangkan. Yang ajaibnya bisa membuat rasa cemas dan emosiku mereda.

Aku memejamkan mataku dan merasakan lembut tautan bibirnya di milikku. Tanganku menyentuh pundaknya saat lututku terasa lemas. Pikiranku melayang ke awan-awan. Kepalaku terasa kosong dan aku kesulitan mengingat statusnya sebagai penculikku saat sebegini lembutnya ia mengintimidasiku. Batasan antara pelaku dan korban kini seolah tak kasat mata.

Ku pikir aku sudah kehilangan kesadaran saat aku tak lagi mendorong tubuhnya dan malah semakin menempelkan tubuhku padanya.

Sebelum kewarasanku semakin direnggut, Zo menyudahi ciuman lembutnya.

“Keenan?”

Pria yang ku panggil Keenan itu menghela napas pelan.

“Ya?”

Aku tersenyum. Baru kali ini ia menyahut saat ku panggil dengan nama aslinya. Biasanya ia selalu menolak dan terlihat tidak suka saat aku memanggilnya Keenan.

“Boleh aku memanggilmu Keenan? Seperti Hiro?”

Ku kira aku akan menerima penolakan. Ajaibnya pria itu malah memberiku satu anggukan pelan sembari mengusap lembut kepalaku. Aku tersenyum lebih lebar dari sebelumnya.

“Bisa kita keluar sekarang? Aku bisa hilang kendali jika kau terus tersenyum padaku seperti itu.”