webnovel

Chapter 17: The Fact

Aku terbangun karena merasakan gerah pada tubuhku.

Aku melepaskan selimut yang menyelimuti tubuhku. Tanganku melepas juga plester pereda demam yang menempel di dahi. Badanku terasa sedikit lebih baik daripada sebelumnya. Sepertinya efek dari paracetamol bekerja baik pada tubuhku. Demamnya kini sudah turun dan pusing yang mendera juga sudah menghilang.

Aku memandang ke sekeliling kamar. Tak ada siapa pun. Ku pikir Zo ada di sini. Rasanya semalam pria itu datang dan berbaring di sebelahku.

Kemana ya? Atau aku hanya bermimpi saja? Rasanya seperti asli.

Netraku menangkap pada sepasang baju, celana, dan pakaian dalam yang tertumpuk rapih di atas meja. Seseorang pasti meletakannya saat aku tengah terlelap. Apa kah Zo atau wanita paruh baya itu yang menaruhnya?

Aku mengabaikan pertanyaanku sendiri dan beranjak bangun untuk mandi.

Di bawah guyuran air, kepalaku terasa sedikit lebih ringan. Aku mengingat-ingat kejadian semalam. Seingatku tadi malam aku mengalami mimpi buruk dan Zo datang untuk membangunkanku. Ia kemudian menemani dengan tidur di sebelahku dan… memelukku.

Aku memukul kepalaku pelan.

Pasti itu mimpi. Pasti karena terlalu sering melihat wajahnya jadi aku bisa memimpikannya. Tak mungkin aku membiarkan bajingan itu tidur seranjang denganku. Orang itu adalah Si Brengsek yang memperkosaku dua kali dan menodongkan pistol di kepalaku. Bagaimana bisa aku lengah dan membiarkannya memeluk tubuhku saat tidur?

Aku mengenyahkan pikiranku yang berkabut. Sepertinya aku terlalu terbawa suasana sampai bisa menyeret orang itu untuk hadir di buaianku. Aku segera menuntaskan kegiatan membersihkan diri dan bergegas keluar dari kamar mandi. Betapa terkejutnya diriku saat aku mendapati Zo sedang duduk di ranjangku. Aku berjalan mendekatinya.

Zo berdiri menjulurkan tangannya. Aku mengangkat sebelah alisku dan memandangnya bingung. Maksudnya apa?

“Sweater.”

Aku berkedip sekali dan mengangguk kikuk. Tanganku mengulurkan sweater miliknya yang semalam ku kenakan. Pria itu meraih sweaternya dan memasukkan ke dalam kantung yang ia bawa.

“Loko tak boleh tahu kalau kau memakai sweaterku.”

“Oke,” balasku. Karena merasa gugup, aku pun melihat ke arah mana saja selain ke arahnya.

“Merasa lebih baik?” tanyanya.

Aku mengangguk sekali. “Terima kasih untuk obat dan plesternya.”

“Coba untuk rileks sebelum tidur agar tidak mimpi buruk lagi.”

Mataku melebar saat mendengar kalimat yang terlontar dari mulutnya.

“Jadi kau … datang?”

Kini giliran Zo yang mengangkat sebelah alisnya.

“Maksudku, kau benar-benar … di kamarku semalam?”

“Aku tidur denganmu semalam.”

Tanpa sadar aku membuka mulutku lebar kemudian buru-buru menutupnya dengan kepalan tangan sebelum terlihat aneh di matanya. Mataku menyalak menatap lantai yang tak bersalah. Sial, semalam bukan mimpi. Zo memang datang dan tidur di sebelahku.

Jadi pelukan itu … nyata?

“Aku tak macam-macam denganmu, ingat,” ucapnya. Zo mengambil nampan makanan dan meletakannya di sebelahku. Ia sendiri duduk di sebelah nampan dan menatapku penuh arti. “Malah kau jadi tidur lebih nyenyak setelah ku temani, ‘kan?”

Brengsek.

Tapi sialnya apa yang ia utarakan benar juga.

Semalam setelah ia menemaniku, aku bisa merasakan tidur yang jauh lebih nyenyak daripada sebelumnya. Entah bagaimana physical touch itu membuatku merasa aman dan terlindungi. Entah mengapa aku percaya jika ia tak akan menyakitiku atau memaksaku lagi. Dan entah apa yang merasukinya sehingga ia jadi bersikap lembut seperti itu.

Aku tak bisa menyalahkan ucapannya.

“Kenapa?” tuntutnya lagi.

Aku membuka mataku yang tak tahu sejak kapan tertutup. “Ku pikir aku hanya memimpikannya saja. Ternyata kau memang datang semalam.”

Pemilik hazel itu mengulurkan tangannya padaku lalu mengusap lembut rambutku. “Itu karena aku mendengarmu berteriak dan menangis dengan keras. Ku pikir sesuatu terjadi padamu.”

“Aku teriak dan menangis?” tanyaku tak percaya.

Ia mengangguk. “Kau terdengar sangat ketakutan. Kupikir Loko mendatangimu dan menyakitimu lagi, tapi ternyata kau hanya bermimpi,” terangnya.

Ingatan akan mimpi yang semalam mendatangiku muncul.

Ayahku. Ia terlihat begitu menderita dan kesakitan. Tubuhnya terikat dan tak ada yang dapat menolongnya termasuk aku. Aku merasa begitu tak berguna dan sangat takut. Itu sebabnya aku menjerit dan menangis.

“Apa yang kau mimpikan?”

“Ayahku,” jawabku.

Aku menatap jemari Zo yang tengah memilin rambutku dalam diam.

“Dalam mimpiku, ayah terikat di sebuah pohon besar. Aku berada di depannya tapi kakiku terborgol dan aku sama sekali tak dapat bergerak. Tiba-tiba ayahku berteriak kesakitan dan dia meronta-ronta. Aku ingin membantunya, tapi tak ada yang bisa ku lakukan. Suaraku tak bisa keluar dan aku tak bisa membantu ayahku sama sekali.” Aku menundukkan pandanganku. “Dia terlihat begitu ketakutan,” imbuhku.

“Hei.” Tangan Zo yang semula berada pada rambutku kini menyentuh pelan pipiku. Setelah dirasa aku tak memberikan penolakan, kedua tangannya kini merengkuh penuh wajahku sehingga aku dapat dengan jelas melihat wajahnya. Terutama hazel kembarnya. Dengan suara tegas ia berkata dengan penekanan di setiap katanya “Itu hanya mimpi.”

“Aku tahu,” jawabku.

Kami berdiri saling berhadapan dan tanpa dapat ku cegah, netraku terpejam meresapi sentuhan pria itu yang terlewat hangat. Ku pikir aku sudah gila karena menemukan kenyamanan dari sosok yang merugikanku. Akan tetapi, entah mengapa hati kecilku menolak fakta bahwa pria di depanku ini adalah iblis kejam yang pernah menyakitiku.

Aku memikirkan sikapnya padaku yang akhir-akhir ini sedikit berubah. Ia jadi lebih bersahabat kepadaku semenjak Loko menghajarku. Sifatnya begitu berbanding terbalik dengan sifat bosnya yang gila itu. Mereka sama-sama jahat, namun sifat mereka sepertinya tidak selaras. Zo terlihat lebih tenang dan lebih menggunakan nuraninya semenjak kejadian rudapaksa beberapa hari yang lalu.

Ia bahkan sudah tak mengeluarkan ancaman-ancamannya padaku seperti tempo hari. Tidak seperti Loko yang selalu mengancam akan membunuhku dan ayahku. Apakah aku tidak normal karena merasa jauh lebih nyaman saat ada dirinya di sekitarku? Apa aku sudah kehilangan akal sehatku?

Omong-omong soal ancaman, aku jadi ingat umpatan Loko padaku. Saat memukulku kemarin, Loko sempat berujar jika orang tuaku bukan lah orang tua kandungku. Ucapannya sempat menggema di telingaku selama beberapa waktu. Aku menganggap jika ujarannya hanya lah omong kosong belaka, tapi aku tak dapat menampik jika mau tak mau aku merenungkan ucapannya.

Zo melepaskan kedua tangannya dari wajahku. Kami disinggahi rasa canggung saat sadar jika wajah kami berjarak terlalu dekat. Pria itu memundurkan tubuhnya dan mengulurkan segelas air putih untukku. “Apa yang kau pikirkan?” tanyanya seolah menghilangkan kecanggungan.

Aku meluruskan kedua kakiku dan menerima gelas darinya. “Tak ada,” jawabku.

“Kau tidak pandai berbohong.” Ia kini mengulurkan setangkup roti bakar padaku. “Katakan padaku,” ucapnya lagi.

Baik lah, aku akan memberitahunya.

“Ketika Loko memukuliku kemarin…” Aku melihat Zo memiringkan kepalanya dan mendengarkanku serius. “Dia sempat berkata bahwa orang tuaku bukan lah orang tua kandungku. Aku tahu dia pasti hanya asal bicara tapi entah kenapa aku memikirkan ucapan itu.”

Sosok yang ku ajak bicara hanya diam dan terlihat seperti sedang memikirkan suatu hal.

“Aku tahu harusnya aku tak usah memikirkan gertakannya, tapi ucapannya cukup menggangguku,” imbuhku.

Pria itu bangkit dari ranjang dan berjalan menuju ke arah jendela kamar. Pandanganku mengikuti langkah kakinya. Ia memandang keluar dan diam saja selama beberapa saat. Ada apa?

“Zo?” panggilku.

Ia menoleh ke arahku dan memandangku dengan tatapan tak terdefinisi. Tak lama kemudian dia berkata dengan cukup pelan “Ku rasa itu benar.”

“Apa maksudmu?” tanyaku panik. Aku menuju ke arahnya dan berdiri tepat di depannya. Zo menundukkan kepalanya dan tak mau melihatku.

“Zo,” panggilku dan ia tak bergeming.

“Zo,” ucapku lagi.

Ia akhirnya mengangkat kepalanya. Ada tatapan ragu sebelum ia menjawab pertanyaanku.

“Aku membaca beberapa berkasmu,” ucapnya.

Aku mengernyitkan keningku tak memahami ucapannya.

“Semua orang yang diperintahkan Loko untuk dibawa ke sini pasti mempunyai berkas, termasuk kau. Berkas itu berisi data-data tentangmu, semua hal tentangmu. Loko juga menjelaskan kepadaku alasan mengapa kau harus ku culik. Aku tak bisa mengatakannya padamu.”

“Di sana memang tertulis nama kedua orang tuamu. Dan nama itu bukan lah Tama Dinata dan Arum Dinata.”

Aku memandangnya datar.

“Bisa saja itu salah tulis bukan?” sanggahku.

Zo menggelengkan kepalanya. “Itu tidak salah tulis, Minka. Mereka memang bukan orang tua kandungmu.”