webnovel

Chapter 16: Hug

Ayah berdiri dengan tangan terikat di sebuah pohon.

Pohon itu mempunyai diameter yang cukup lebar. Mungkin hampir satu meter. Aku tak tahu jenis pohon itu. Aku tak peduli. Yang ku pedulikan hanya lah kondisi ayahku yang tengah memejamkan matanya seolah tertidur. Wajahnya dipenuhi oleh lebam yang membiru menutupi kulitnya yang mulai menua. Di bawah matanya terdapat bengkak yang cukup mengerikan untuk ku pandang.

Di waktu itu juga aku berdiri di depannya. Akan tetapi, entah mengapa tubuhku tak dapat bergerak sedikit pun. Saat mencoba menyadari apa yang telah terjadi, ternyata kedua kakiku terborgol dan terpatri ke dalam tanah. Aku kalap dan mencoba melepaskan borgol yang membelenggu. Besi itu terasa sangat kuat dan tak ada celah untuk melonggarkannya barang sedikit saja.

Aku memandang ke sekeliling mencoba mencari kunci borgol ini. Tak ada apa pun sejauh mata memandang selain rumput liar yang mengepungku. Aku ketakutan setengah mati. Bagaimana bisa aku ada di tempat seperti ini? Sebenarnya aku ada dimana?

Aku terus meronta sebisa mungkin dan memanggil-manggil orang tuaku. Ayah masih tetap memejamkan matanya dan tak terganggu sama sekali. Ia seolah sama sekali tak dapat mendengar teriakanku. Padahal aku sudah berteriak kencang sekuat tenaga. Bahkan tenggorokanku saja terasa sakit saat ini. Aku cemas luar biasa dengan keadaannya yang terlihat seperti sosok tak bernyawa.

Apa kah ia tidur? Pingsan? Atau jangan-jangan…

Aku menepiskan pikiran buruk. Tidak. Dia masih hidup tentu saja.

Netraku meliar mencoba mencari siapa pun yang ada di sekitarku. Sialnya, tak ada orang lain selain kami berdua. Dan lebih sial lagi, rasanya borgol ini seperti semakin menekan kulitku. Kencang sekali, sakit. Sudah pasti bekas dari borgol ini akan menghasilkan ruam merah di tanganku.

Aku mengumpat keras.

Tiba-tiba saja, ayah bergerak dari posisinya. Aku nyaris akan menangis karena lega sebelum mendapati mulutnya membuka lebar. Ayah berteriak kencang sekali sampai-sampai aku nyaris terpeleset di tempatku berdiri. Ia meronta dan meraung-raung tapi posisi matanya masih tetap terpejam. Aku tak tahu apa yang tengah dirasakannya, yang jelas ia terlihat sangat kesakitan.

Aku berteriak mencoba memanggilnya, mencoba menyadarkannya, tapi ia sama sekali tak mendengarku. Ayah berteriak mengucapkan kata-kata yang tak bisa ku cerna. Ia terlihat mengerikan. Wajahnya semakin menakutkanku.

Kakinya menjejak tanah berkali-kali. Tubuhnya bergetar bersamaan dengan jeritannya. Aku takut dan khawatir padanya. Aku juga ikut menjerit bersamanya. Kami menjerit bersama, tak tahu apa yang kami lakukan...

Dan aku terlonjak bangun dengan jeritan.

Keringat basah menyelimuti sekujur tubuhku. Napasku terengah-engah seolah baru saja berlari jauh. Leherku terasa seperti dicekik. Mulutku terbuka mencoba meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Tubuhku menggigil kedinginan sementara jemariku tremor seketika.

Aku masih di dalam kamar. Tak ada pohon. Tak ada rerumputan. Tak ada borgol. Tak ada pula ayah di sini.

Dalam kegelapan ruangan, hanya ada Zo yang merayap ke ranjang dan mengguncang bahuku pelan.

“Hey, tenang. Tenang, Minka. Duduk pelan-pelan.”

Aku menatap liar pada sosok di depanku itu. Butuh beberapa detik bagiku untuk bisa fokus menatap pria tersebut. Di detik berikutnya, aku duduk mematuhi perintahnya. Saat pandanganku telah sepenuhnya fokus, wajah pria itu kini terlihat jelas di depanku. Zo memandangku prihatin.

“Minum ini.” Ia memberiku segelas air putih yang entah sejak kapan ia bawa.

Aku menggelengkan kepala menolaknya.

“Ayo, Minka. Minum dulu.” Zo meyakinkanku untuk menenggak minuman tersebut.

Akhirnya aku meminum air itu satu hingga dua tegukan. Air itu menyejukkan tenggorokanku yang terasa sakit seperti habis dicekik. Aku menyerahkan gelas itu padanya dan menutupi wajahku dengan telapak tangan. Tubuhku masih bergetar karena mimpi mengerikan itu. Air mata juga turun membasahi bajuku tanpa ku sadari. Air mata dan keringat membuat bajuku basah dan lengket.

“Ada apa?” tanya Zo dengan nada yang terlewat lembut. Ia merangkulku dengan kedua tangannya. Jemarinya bergerak mencoba menyingkirkan telapak tanganku dari wajah.

Pria itu kemudian membawaku dalam pelukannya dan aku pun menangis di dadanya. Aku sangat takut dengan mimpiku tadi. Mimpi sialan itu terasa sangat nyata di benakku. Aku khawatir dengan keadaan ayahku yang masih tak jelas nasibnya. Aku begitu takut kalau ia saat ini sedang disakiti dan sejenisnya.

Bagaimana kalau mimpi tadi memang benar terjadi?

“Tenang lah, Minka. Kau baik-baik saja.” Ia mengusap rambutku perlahan. “Kau hanya bermimpi buruk.”

Itu bukan pertanyaan. Itu pernyataan. Dan aku menganggukkan kepalaku mengiyakannya walau pun rasanya sulit.

“Tidak apa-apa. Itu hanya mimpi,” ucapnya menenangkanku lagi.

“Tapi terlihat nyata,” gumamku lirih.

Untuk beberapa saat tak ada yang bersuara. Zo hanya diam seraya mengusap-usap pucuk kepalaku. Hingga ketika sudah tenang, perlahan aku menghentikan tangisan. Aku menjauhkan kepalaku darinya dan mengusap ingus dengan telapak tanganku. Sangat tidak higienis memang, tapi mau bagaimana lagi. Tak ada tisu di kamar ini.

Zo menyentuh wajahku lewat jemarinya. Ia menghapus air mata yang bertengger di pipiku menggunakan ibu jarinya. Ia bahkan mengusap air mata yang masih tertahan di bulu mataku. Saat indera pengelihatanku itu tak sebasah sebelumnya, ia beralih mengelus bahuku perlahan.

“Itu hanya mimpi, Minka. Tak ada yang menyakitimu sekarang,” ucapnya meyakinkanku lagi. Ia menyelipkan beberapa anak rambut di belakang telingaku. “Akan ku temani kau. Tidur lah,” imbuhnya.

Zo menggeser tubuhku sehingga aku berada dalam posisi tidur seperti semula. Yang membedakan hanya lah ia bergabung denganku dengan merentangkan tangan kanannya. Kepalaku diangkat dengan hati-hati sebelum diletakkan di atas lengannya yang terentang lebar. Ia menyamankan posisi kepalaku sebelum mencari-cari posisi enak bagi dirinya sendiri.

“Tidak, kau—“

“Sstt,” hentinya. Ia memeluk pinggulku dan membawa tubuhku dalam pelukannya. “Aku tak akan macam-macam. Hanya menemanimu sampai tertidur.”

Aku menggeleng ribut. "Tapi kau tidak perlu menemaniku," bisikku lirih.

"Kau membangunkanku karena jeritanmu. Kalau yang lain ikut terbangun karena kau berisik lagi, bisa panjang urusannya. Mereka bisa berbuat yang lebih buruk padamu. Sekarang tidur lah. Jangan pikirkan apa pun lagi. Kalau kau mimpi buruk lagi, akan langsung ku bangunkan."

Aku yang masih setengah sadar merasa linglung melihat perlakuan Zo. akhirnya, aku hanya mengangguk mengiyakan ucapan penculikku itu. Aku merasa canggung berada sebegini dekatnya dengan orang yang pernah menyakitiku ini.

Akan tetapi, Zo tidak memandangku dengan tatapan maut seperti dulu. Ia memandangku sendu selama beberapa menit. Ia terlihat seperti akan mengungkapkan sesuatu. Aku menunggunya berucap, namun hanya keheningan yang tersemat di antara pelukannya. Aku hanya dapat menangkap isyarat di matanya. Ia mengulurkan tangan kirinya dan mengusap wajahku.

“Tidur.”

Karena jam tidurku baru sedikit, badanku juga masih terasa lelah dan pegal, aku pun tak bisa mencegahnya lagi. Ku pejamkan mata dan membawa diriku hanyut dalam ketidaksadaran. Aku membiarkan Zo mengecup rambutku sekali lagi sebelum memeluk tubuhku lebih erat dari sebelumnya.