webnovel

Chapter 15: His Concern

Tubuhku terasa seperti berada dalam timbunan plushies yang empuk.

Nyaman, lembut, dan sangat hangat. Rasanya aku ingin terlena dalam kenyamanan dan membiarkan diri lebih lama terkurung dalam kehangatan yang membalut sekujur tubuhku. Jarang sekali aku merasa tidur senyaman ini. Ini momen langka yang bisa ku rasakan sejak diriku diseret memasuki kamar pengap ini.

Akan tetapi, tubuhku menolaknya.

Perlahan, ku buka kedua mataku dengan berat hati dan mendapati diriku terbaring di ranjang. Tak ada plushies yang mengelilingiku. Yang ada hanya lah selimut tebal yang menyelimuti tubuhku dari dada hingga ujung kaki. Tepat di sebelahku, di atas ranjang, Zo duduk dengan menjejerkan kedua kakinya.

Aku berkedip sekali dan terlonjak terduduk. Mataku membelalak dan buru-buru ku singkap selimut untuk mengecek pakaianku. Semuanya masih lengkap. Yang ada malah ada tambahan sweater hitam yang entah sejak kapan ku kenakan.

“Aku tak mengapa-apakanmu. Jangan khawatir. Kau hanya pingsan.”

Jantungku berdegup kencang. Tanganku kebas akan keringat dingin yang tiba-tiba melanda. Aku menatap Zo dengan pandangan tajam.

“Aku hanya menidurkanmu di kasur. Selain itu aku tak melakukan apa pun, jadi hentikan lah tatapan menuduhmu itu,” ucapnya seolah membaca pertanyaanku. “Aku hanya memakaikanmu sweater-ku karena kau mengigil kedinginan,” imbuhnya.

Untuk kali ini aku bisa sedikit mengembuskan napas. Tubuhku jadi sedikit rileks saat menyadari jika memang tak ada hal buruk yang ia lakukan padaku.

“Kau demam dan tak makan. Kau pikir apa yang kau lakukan?” cercarnya. Netra cokelat itu menuntutku, memaksaku memberikan jawaban. “Matamu cekung sekali. Semalam kau tidur pukul dua pagi dan pukul enam pagi kau sudah bangun. Kau jelas kurang tidur.”

Aku menghindari kontak mata dengannya dan memilih memandai lantai di bawah sana. Kenapa ia jadi marah-marah padaku? Aku juga tak tahu kalau akan demam begini.

“Kau pingsan selama tujuh jam!” Ia membentakku.

Aku menciut di bawah tatapannya. Aku tak mengerti kenapa ia terlihat kesal sekali denganku. Jika aku pingsan kan bukan tanggung jawabnya untuk menolongku.

“Kau tak perlu membantuku,” ucapku pelan.

“Jangan bodoh. Kau sedang sakit.”

“Apa pedulimu?”

“Aku peduli padamu.”

“Bukan kah lebih baik jika aku cepat mati? Jadi kau tak perlu bertanggung jawab lagi dengan apa yang ku lakukan,” ucapku dengan nada menantang.

Wajahnya menampilkan raut muka kesal dengan rahang kaku yang memandangku tajam. Tatapan itu. Tatapan itu selalu ia tujukan kala ia berdebat denganku. Rahangnya yang mengencang membuat aura dominan terpancar darinya. Ia terlihat seperti bisa memukulku saat itu juga.

Aku memberanikan diri melawan ketakutanku. “Apa? Kau mau apa? Menyakitiku lagi seperti waktu itu karena aku tak menuruti perintahmu?” semburku.

Aku marah padanya meski ia telah membantuku. Aku tak tahu kenapa. Yang ku rasakan hanya lah rasa kesal yang membuncah padanya. Aku merasa jika ia adalah penyebab dari semua kesialanku.

Aku menunggunya untuk membalas pertanyaanku yang menantang. Anehnya, ia hanya diam dan malah mengembuskan napasnya pelan. Zo membalas tatapanku dengan tenang seperti sedang meredakan hawa panas di antara kami berdua.

“Duduk lah yang agak tegak,” ucapnya kemudian.

Aku berkacak pinggang dan sekali pun tak berkedip menatapnya. “Kenapa memang kalau dudukku tidak tegak?” tanyaku masih dengan nada ketus.

“Nanti kau tersedak.”

Dahiku berkerut mendengarnya.

“Ku suapi. Duduk yang benar.”

Aku melongo mendengarnya.

Apa ia baru saja bilang mau menyuapiku? Dia bergurau?

“Duduk lah. Jangan bandel. Aku tak mau makanannya tumpah ke bajumu,” perintahnya lagi.

“Aku akan memakannya sendiri. Tinggal saja di meja,” ucapku walau pun tak yakin itu yang akan ku lakukan.

Zo mengambil piring di meja dengan tangan kirinya. “Tidak. Aku harus menyuapimu. Kalau ku tinggalkan lagi kau tak akan menyentuh makanan ini.”

Matanya berkilat tajam seperti mengancam. Sebenarnya ucapannya ada benarnya. Nafsu makanku jelas sudah menghilang entah ke mana. Melihat nasi di piring itu saja rasanya perutku seperti sudah terisi penuh.

“Aku akan memakannya, Keenan.”

Saat aku menyebutkan namanya, pria itu membeku sesaat. Benar-benar hanya sesaat sebelum tubuhnya rileks kembali. Zo menggeleng sekali sebelum memandang wajahku dengan mata yang berkilat tajam.

“Berhenti memanggil nama itu.” Ia mengambil segelas air putih. “Minum dulu,” perintahnya sembari mengulurkan minuman itu padaku.

Aku ragu-ragu untuk meminumnya. Sebenarnya rasa haus benar-benar menyakiti tenggorokanku. Akan tetapi, aku takut kalau kalau minuman ini sudah dibubuhi obat yang bisa merugikanku seperti waktu pertama kali.

Zo mengambil gelas yang belum ku sentuh itu dan meminumnya seteguk. “See? Aku sudah mencobanya. Ini benar-benar tidak beracun atau berbahaya seperti yang kau bayangkan. Aku janji.” Ia menyerahkan lagi gelas itu padaku.

Akhirnya aku meneguknya sedikit demi sedikit. Rasanya benar-benar lega. Tenggorokanku jauh lebih nyaman setelah terkena air itu. Zo mengambil gelas di tanganku dan mulai menyendok nasi di piring. Tangannya terulur tepat di depan mulutku.

“Aku bisa makan sendiri.” bisikku lagi. Aku merasa luar biasa canggung.

“Buka mulutmu,” perintahnya. Ia mengayunkan lagi sendok itu. “Jangan rewel, Minka.”

Aku melakukan apa yang ia perintahkan. Menerima suapan pertama dengan perasaan tak menentu. Hazel pria itu masih memandangku tajam saat aku mengunyah makanan itu pelan. Setelah menelan suapan pertama, aku menggeleng perlahan.

“Aku benar-benar bisa makan sendiri, please,” pintaku lagi.

“Diam dan makan saja,” ucapnya agak kasar.

Baik lah, baik lah.

Dengan telaten pria itu menyuapiku. Kami bekerja dalam diam. Aku mengunyah dan dia mendorong sendok ke mulutku. Tak ada yang berbicara lagi selama ia menyuapi. Aku diam dalam lamunanku dan ia masih terus memandangiku.

Di suapanku yang kira-kira ke sepuluh, aku menolak mengisi perut lagi. Sudah cukup kenyang. Tubuhku sudah cukup mendapatkan tambahan energi. Zo menautkan kedua alisnya memandangku yang tak mau menerima suapan selanjutnya.

“Aku sudah kenyang.”

“Yakin? Masih ada sisa sedikit—”

“Please, nanti aku malah muntah kalau terlalu banyak makan. Perutku rasanya tak enak sekali.”

Kali ini giliran ia yang menurut. Zo meletakkan piring tanpa menggeser tubuhnya dari ranjang. Ia kemudian mengulurkan segelas air putih dan sebutir obat ke tanganku.

“Paracetamol.” Ia mengambil plastik bungkus obat dari saku bajunya dan menunjukkannya padaku.

Aku mengangguk dan minum paracetamol itu.

“Kemarikan dahimu.”

Aku mengernyit dan tersentak kaget saat tangan pria itu menyentuh daguku. Ia menarik wajahku agar dekat padanya. Aku merasakan sengatan aneh kala jarak tubuh kami hanya terpaut sejengkal tangan. Wajah Zo kini berada tepat di hadapanku.

“Kau—”

Jari telunjuk dan ibu jari Zo terulur dan melepaskan benda yang menempel di dahiku. Aku baru sadar jika sedari tadi dahiku tertempel selembar plester pereda panas. Aku tak tahu sejak kapan benda itu ada di sana.

Zo mengambil sebuah plester baru dari saku celananya. Ia membuka bungkusnya dan menempelkan dengan pelan-pelan ke dahiku. Napasku tercekat saat menyadari jika tubuhnya kian dekat denganku. Aku bisa mencium parfum beraroma bergamot dan rosemary dari tubuhnya. Parfum itu membuat tubuh Zo terasa begitu maskulin.

“Tidur lagi, ya? Jangan sakit.”

Belum sempat aku membalas ucapannya, ia sudah bangkit menuju pintu dengan membawa nampan. Setelah pintu tertutup rapat, baru lah aku mengembuskan napas yang sedari tadi ku tahan. Tangganku menyentuh dadaku yang berdentum kencang. Aku mengelusnya untuk menetralkan debaran aneh saat melihat perlakuan Zo yang berubah-ubah. Satu kali ia bisa berbicara kasar dan di menit berikutnya ia bisa menjadi pria lembut yang berucap manis seolah perhatian padaku.

Apa dia benar perhatian atau hanya menggodaku saja?