webnovel

Chapter 12: Worse

Ku tarik napas perlahan dan menunggu saat itu tiba … namun … tak ada yang terjadi.

Yang ada hanya lah dering telepon yang berasal dari ponsel Loko yang memekakkan telinga. Dering tersebut membuat lututku seketika lemas di saat-saat menegangkan seperti ini. Seraya mengumpat keras-keras, Loko mengambil ponsel dari saku celananya dan mengacungkan tangannya pada Zo, memberi perintah tak terucap dengan gerakan tangan. Tak lama setelahnya, benda dingin nan mengerikan itu perlahan terlepas dari kepalaku.

Aku memandang Loko yang berjalan keluar sembari melontarkan berbagai macam sumpah serapah saat mengangkat panggilan entah dari siapa itu. Setelah itu, Zo berputar dan berdiri di depanku. Ia meletakkan kembali pistolnya di antara celana dan ikat pinggangnya. Pria itu memandangku sejenak sebelum melewati pintu kamar dan menghilang di baliknya. Ia mengunciku lagi.

Tanpa sadar ku embuskan napas yang sedari tadi tertahan.

Panggilan itu benar-benar menyelamatkanku. Untuk sejenak aku bisa rileks dan mengatur pernapasanku yang tersengal. Tak banyak gerakan yang dapat ku lakukan dengan tangan terborgol dan kaki terikat. Aku meringis saat merasakan lutut dan sikuku terasa sedikit perih. Mungkin ini akibat dari lompatan pagar tadi.

Wajahku sakit dan pegal di mana-mana akibat perlakuan biadab Loko. Bibirku juga masih sedikit mengeluarkan darah, terasa asin menetes di mulut. Ku pejamkan mataku erat-erat dan meresapi semua rasa sakit yang membuatku nyaris tak sadarkan diri lagi.

Sampai kapan aku harus melalui hal sial ini?

Aku merenungkan beberapa kejadian yang terjadi belakangan ini. Penculikan ini pasti berasal dari perintah seseorang. Pasti ada dalang di balik semua kegilaan ini. Apakah dalang dari kejadian ini mempunyai dendam dengan keluargaku? Ayahku?

Ayah…

Kenapa tadi Loko berkata bahwa ayah bukanlah ayah kandungku? Dia pasti hanya asal bicara, ‘kan? Yang benar saja! Loko pasti berniat menggertakku semata.

Aku menundukkan kepala menahan rasa pening. Perutku juga ikut campur dengan rasa mual yang tak tertahan. Aku harus mengeluarkannya. Aku tak bisa menahan lagi gejolak di perutku.

Dan … aku pun memuntahkannya.

Ku keluarkan semua sisa isi perut yang mengganjal hingga yang tersisa hanya lah muntahan kering yang terdengar menyedihkan. Aku merasa sedikit lega tapi, astaga, ini sangat menjijikan. Sebagian kotoran mengenai baju dan celana sementara sisanya berceceran di lantai. Ini sangat tidak nyaman. Aku benar-benar butuh ke kamar mandi untuk membersihkannya.

***

Waktu berlalu hingga tak terasa sudah sore hari jika dilihat dari sinar matahari yang sedikit tertangkap di kamar ini. Aku masih bertahan dengan kotoran, borgol, dan ikatan. Tubuhku terasa lengket dan sakit dimana-mana. Tak ada tanda-tanda mereka akan kembali lagi.

Hingga saat kepalaku nyaris terkulai karena kantuk, Zo membuka pintu kamar dan masuk dengan membawa sebuah kotak kecil. Ia terlihat santai dengan mengenakan kaus polos berwarna hitam dan celana jins abu-abu selutut yang robek di beberapa bagian. Aku buru-buru menundukkan kepala kala ia memandangku dan mengernyitkan alisnya. Aku benci orang ini, begitu juga Loko, dan semua orang di sini yang telah membuatku menderita, yang telah menempatkanku berada di situasi bak di neraka.

Zo mendatangiku. Ia membuka borgol di tanganku dengan sebuah kunci kecil berwarna silver. Kemudian ia juga membuka ikatan kakiku. Aku mengelus pergelangan tanganku yang berwarna merah. Sakit, tapi aku lega karena akhirnya terbebas juga dari jalinan yang menyakiti kulitku.

Buru-buru aku berlari ke kamar mandi setelah semuanya terlepas. Aku mengunci pintu kamar mandi membersihkan mulutku. Aku berkumur selama beberapa kali sebelum terduduk lemas di lantai. Aku tak mau ke luar. Tidak ingin melihat Zo.

Namun ketukan di pintu kamar mandi membuatku mau tak mau beranjak untuk membukanya. Mungkin saat ini aku harus menurut saja pada Zo agar tubuhku tidak makin babak belur. Saat pintu kamar mandi terbuka separuh, aku menyaksikan tubuh Zo yang menjulang tinggi berdiri di depanku. Aku memandang matanya yang berwarna merah keruh. Dari bibirnya tercium aroma alkohol yang menguar.

“Tahan sebentar saja,” bisiknya pelan nyaris tak terdengar.

Seketika itu pula tubuhku diangkat olehnya dan ia menjatuhkanku ke atas ranjang. Aku meronta hebat kala tubuh besarnya mulai menindihku. Di detik berikutnya pintu terbuka dan menampilkan sosok Loko yang bertepuk tangan seolah bersuka cita melihatku tak berdaya.

“Bagus! Berpose yang benar! Kamera ada di sebelah sana.”

Mataku mengekor jari telunjuk Loko yang menunjuk pada sebuah kamera yang berdiri di atas tripod, tepat di depan ranjangku.

Brengsek!

Aku semakin meronta saat Zo mulai melucuti pakaian yang ku kenakan. Air mataku mulai turun dan aku semakin kuat berusaha menendang tubuhnya. Tubuh Zo besar dan tendanganku seolah tak berarti sama sekali.

“Jangan! Zo, please—”

“Diam!” teriak Loko. “Lihat ke kamera dan senyum yang manis. Rekaman ini bisa ditonton oleh puluhan atau teman kuliahmu. Ini akan jadi hadiah yang hebat untuk ayahmu, Minka. Nikmati saja.”

Aku berteriak kala seluruh kain yang membalut tubuhku berhasil dilepaskan satu per satu oleh Zo. Pria itu mengunci kedua tanganku dan mulai meraup bibirku yang masih terluka. Aku menjerit menahan sakit karena perih di bibirku terasa dua kali lipat lebih menyakitkan saat ia menyesapnya. Satu tangan kananku berhasil lepas dari cengkeraman Zo dan aku menamparnya keras. Wajah Zo terpelanting ke arah kiri.

“Stop! Brengsek!” Tanganku kembali dicengkeramnya. Aku mengiba kepadanya dengan senggukan. “Ku mohon, jangan lakukan itu lagi.”

Bajingan itu sama sekali tak menatap mataku. Aku bisa menangkap sedikit gurat keraguan sebelum ia dengan ganasnya kembali menyerangku. Rasa alkohol yang sebelumnya ia minum benar-benar memenuhi mulutku.

Mataku terbelalak lebar saat ia mulai memasukiku secara tergesa. Rasa sakit yang teramat sangat membuatku meronta jauh lebih kuat dari sebelumnya. Aku masih bisa mendengar tawa Loko di ujung pintu saat tubuh Zo semakin menekanku, membuatku menjerit kencang karena tubuhku terasa seperti dibelah dua.

Sebuah kenangan akan hidupku yang selalu dikelilingi oleh keamanan, kenyamanan, kehangatan, dan buaian kasih sayang terbersit dalam benak. Selama ini aku selalu berharap untuk bisa lepas dari itu semua. Aku selalu berharap untuk dapat menjalani kehidupan lain yang tak dibayangi oleh kekangan. Aku memang punya mimpi untuk bisa berada dalam sebuah hal menegangkan yang dapat memacu adrenalin.

Tapi bukan seperti ini caranya…

Bukan ini yang ku mau. Bukan skenario seperti ini yang ku maksud. Aku tak pernah mau berada dalam situasi seperti ini.

Apa kah permintaanku terlalu berlebihan? Apa kah ini karma karena aku kerap berdebat pada ayahku? Apa kah aku telah berdosa sehingga dihukum sebegini menderitanya?

Hingga saat bajingan itu menumpahkan semuanya padaku, aku memejamkan kedua mataku dan menangis sejadi-jadinya. Aku mendengar suara zipper yang ia naikkan sebelum ia bangkit dari tubuhku dan berjalan menjauh.

“Itu yang harus kau terima karena kau coba-coba kabur, Jalang.”