webnovel

Chapter 11: A Gun

“Eh—"

Sebelum wanita itu bisa meneruskan kata-katanya, aku berlari dan mengunci pintu kamar mandi dari luar. Tanganku bergetar hebat saat melakukannya. Jantungku berpacu kencang dan napasku sedikit tersengal. Wanita itu berteriak dan memakiku dari dalam. Aku mengabaikannya dan bergegas keluar kamar.

Aku memutar kunci yang ku curi dan pintu berhasil terbuka. Dengan langkah mengendap-endap, aku mencoba mencari pintu keluar. Kakiku melangkah perlahan sembari melihat ke kanan dan kiriku. Kurasa aman. Tak terdengar suara orang satu pun.

Dengan sangat hati-hati aku berjalan menuruni tangga. Keringat dingin menjalar di telapak tangan. Susah payah aku berusaha menenangkan pernapasanku yang tercekat kala gendang telingaku mendengar sayup-sayup suara orang yang sedang bercakap-cakap.

Sial, aku harus berhati-hati.

Aku bergegas berlindung di balik lemari kaca berukuran besar di ruang tamu rumah ini. Sepertinya ada sekitar dua atau tiga orang yang sedang berbicara. Aku tak tahu pasti. Suara mereka masih agak jauh terdengar. Mungkin mereka berada di dapur atau entah di mana.

Kakiku bergetar hebat dan aku ingin merutuki diri sendiri karena merasa begitu lemas. Tanganku tremor saat bertumpu pada lemari, menyangga tubuhku supaya tidak pingsan. Sebisaku, aku melangkah mendekati pintu saat sekiranya suara orang-orang tersebut semakin menjauh.

Tremor di tanganku tak membuat upayaku dalam membuka pintu menjadi gagal. Pintu itu berhasil terbuka. Tak terkunci. Beruntungnya aku.

Ku edarkan pandangan ke sekitarku. Sejauh mata memandang, tak ada orang dalam setidaknya radius beberapa meter. Setengah berlari, ku dekati pintu gerbang yang menjulang tinggi di depanku. Tanganku terulur dan mendapati jika gerbang itu terkunci dengan gembok dingin yang menyapa kulitku.

Sial sial sial. Bagaimana ini?

Netraku memandang ke bagian atas gerbang. Gerbang itu tidak dialiri listrik, tidak juga terlalu tajam. Butuh beberapa detik sebelum akhirnya ku putuskan untuk memanjat saja. Aku memandang gerbang itu dan menelan ludahku. Tingginya kurang lebih dua setengah meter. Jika aku terpeleset sedikit saja maka tulangku yang jadi korbannya.

Tapi ini lah satu-satunya cara agar dapat keluar dari sini.

Baik lah aku akan melakukannya.

Ku letakkan kedua tangan di besi gerbang. Sepertinya cukup kuat untuk jadi pegangan. Dengan agak gemetar, aku pun mulai memanjatnya. Perlahan-lahan ku naiki pagar itu langkah demi langkah tanpa menoleh ke bawah.

Tahan, Minka, kau pasti bisa.

Kini aku sudah berada di atas gerbang dan pertanyaannya sekarang adalah ... bagaimana caraku turun?

Belum selesai memikirkan cara untuk turun, mataku melihat ke arah belakang dan mendapati dua orang pria datang ke arahku sambil berlari. Sial, aku ketahuan! Sepertinya aku harus lompat sekarang juga.

“Jangan kabur!” teriak salah seorang di antaranya.

Teriakan itu semakin membuatku panik. Aku mencoba melangkah ke sisi luar dan turun sebisa mungkin. Saat mencapai separuhnya, aku melompat detik itu juga.

Seperti yang sudah bisa dibayangkan, aku mendarat dengan sangat tak mulus. Lutut dan sikuku mendapatkan goresan yang cukup panjang. Begitu pula bahuku yang berdenyut ngilu. Sialnya aku tak punya waktu untuk peduli. Aku harus lari secepatnya.

Aku berlari sekencang-kencangnya menjauhi mereka. Aku tak tahu kemana harus pergi. Aku hanya ingin pergi sejauh mungkin dari tempat terkutuk itu.

Ku biarkan langkah kakiku menggila menyusuri jalanan sepi ini. Sebenarnya aku ada di mana? Kenapa tak ada satu pun kendaraan atau orang yang lewat? Kenapa hanya ada sawah-sawah di sekitarku?

Napasku tersengal dan terbatuk-batuk. Kepalaku menengok ke belakang. Mereka belum terlihat sama sekali. Syukurlah.

Dengan penuh harapan, aku berlari lagi sekencang mungkin. Aku berbelok di tikungan dan berdiri di sebuah kedai kopi kecil. Tanpa berpikir lagi aku memasukinya. Di dalam kedai ini tak ada orang sama sekali walau pun tulisan 'Buka' terpampang nyata di ambang pintu. Kemana perginya semua orang?

“Halo? Ada orang?” tanyaku agak keras. Tak terdengar satu pun suara.

“Permisi?” teriakku lagi. Tak terlihat tanda-tanda kehidupan. Bahkan barista yang seharusnya stand by juga tak jelas rimbanya. Padahal tadinya aku akan meminta tolong siapa pun yang berada di sini namun sepertinya gagal.

Aku melihat ke arah meja di sudut. Di atas meja terdapat sebuah handphone dan tas punggung kecil yang tergeletak begitu saja. Aku mendekatinya dan mengambil ponsel itu. Aku harus menghubungi seseorang.

Tanganku bergetar hebat. Ini pertama kalinya aku mencuri barang orang. Aku tak pernah mencuri apa pun sebelumnya. Ku harap Tuhan akan mengampuniku karena ini keadaan mendesak dan aku harus segera meminta bantuan.

Peduli setan, ku langkahkan kakiku keluar dari kedai itu dan berlari lagi. Ketika ada sebuah lorong sempit, aku bergegas memasukinya dan berlindung di ujung. Jemariku menekan nomor ayahku dan menghubunginya. Jantungku seakan ingin lepas dari tempatnya saat mendengar suara tempat sampah yang ambruk. Double sial!

Ingin rasanya mengumpati seekor kucing yang menyenggol tong sampah itu.

Sambil menunggu ayah mengangkat panggilannya aku melihat sekeliling dan mendesah kecewa saat tak ada satu orang pun di sekitar sini. Aku sangat khawatir mereka bisa menemukanku. Tiga kali aku menelfon ayah sama sekali tak ada respon darinya. Aku beralih menghubungi Kak Evan karena untungnya aku masih ingat nomor ponselnya.

Dia satu-satunya harapanku. Jika kali ini Kak Evan tak mengangkatnya, maka habis lah aku.

Dan sepertinya keajaiban berpihak padaku. Pada dering ketiga, ia mengangkatnya. Aku ingin menangis saat mendengar suaranya yang hampir asing di telingaku.

“Kak Evan? Kak?” seruku panik dan bahagia.

“Halo? Maaf siapa ini? Suaranya tidak jelas,” ujarnya dengan suara terputus-putus. Aku melirik sinyal di ponsel ini. Sinyalnya hanya ada satu garis. Sial, jelek sekali.

“Kak Evan, ini aku, Minka! Kau bisa dengar?” tanyaku.

“Halo? Maaf, siapa? Suaranya tak jelas.”

Sial. Aku harus bicara lebih keras.

“Kak, ini Minka. Minka! Tolong aku please,” ucapku dengan meninggikan suaraku.

“Siapa?” Ia berteriak di ujung sana. Astaga, dia tak mendengarnya?

“Minka!” ucapku lebih keras.

“Min ... Minka?”

“Iya. Minka!” teriakku. Aku menggigit bibirku menahan tangis yang siap meledak.

“Minka! Astaga. Kau dimana?” tanya Kak Evan dengan nada yang tak kalah panik.

“Kak, sekarang—“

Belum selesai aku berucap, sebuah benda dingin menempel di leherku.

“Lanjutkan dan akan ku koyak lehermu, Cantik.”

Dia di sini. Di belakangku. Pria dari rumah itu menodongkan pisaunya padaku.

Aku membeku seketika. Tubuhku bergetar hebat. Sebelum dapat bertindak lebih jauh, pria yang satu lagi mengambil ponsel di tanganku dan seketika membantingnya ke tanah. Benda itu hancur berserakan di kakiku. Tanpa dapat ku cegah, orang itu menyuntikkan sesuatu ke leherku.

Aku berteriak, atau setidaknya mencoba berteriak. Sepertinya efek cairan apa pun itu yang disuntikkan ke leherku berlangsung sangat cepat. Semuanya memudar. Rasanya sama seperti saat hari pertama di mana mereka membekap mulutku dengan sapu tangan.

Ku rasa detik selanjutnya tubuhku ambruk ke tangan mereka.

***

Aku mengatur pernapasanku setelah terbangun dengan jeritan kencang. Mimpi buruk menghantuiku ketika tak sadarkan diri. Bahkan saat aku membuka kelopak mataku, mimpi buruk itu semakin nyata ada di depan wajahku.

Ketika keseimbanganku sudah pulih, ku sadari bahwa aku berada dalam posisi duduk terikat di sebuah kursi kayu tua yang reot. Tanganku diborgol kebelakang sementara kakiku diikat ke kaki kursi ini. Tubuhku berkeringat banyak.

Mataku dengan liar memindai ke sekeliling dan ternyata aku berada di kamar tempatku disekap. Napasku masih tersengal-sengal. Aku sama sekali tak dapat menggerakkan tangan dan kakiku.

Detik berikutnya pintu terbuka lebar, menampilkan sosok Loko, Zo, dan wanita paruh baya yang ku kunci di kamar mandi. Zo mengunci pintu kamar. Perutku bergejolak hebat kala melihat benda yang dibawa Loko.

Sebuah pistol.

Sial.

Zo berdiri di belakangku. Sementara itu, wanita paruh baya itu berdiri dengan menundukkan kepalanya di samping kiri Loko. Dengan perlahan Loko berjalan menghampiriku. Ia melayangkan tamparannya di pipi kiriku, kemudian beralih ke pipi kananku, membuat wajahku terpelanting ke lain arah.

“Kabur, huh?”

Pipiku terasa sakit dan panas. Suara mengerikan itu membuat bulu kudukku merinding. Tak berapa lama, ia melayangkan pukulannya di wajahku tanpa ragu.

“Hentikan,” pintaku terengah.

“Dasar Brengsek!” Bogem mentah itu hinggap lagi di wajahku. Ia memukulku lagi dan aku sama sekali tak bisa menghindarinya.

Rasa sakit menjalar di seluruh wajahku. Panas dan perih. Bibirku berdarah. Hidungku juga bernasib sama.

Aku tak dapat merasakan apa-apa selain rasa sakit yang melandaku semua panca inderaku. Sakit dan pening. Kepalaku rasanya nyaris pecah saking sakitnya.

“Kau juga!” teriaknya pada wanita itu. “Tugasmu sederhana. Cuma antar makanan. Pastikan jangan sampai dia kabur, tapi kau tak becus melakukannya?” Suaranya terdengar mengerikan.

Ia juga menampar wanita itu hingga jatuh ke lantai. “Dasar bodoh!” Loko menendang tubuh wanita itu. Ibu itu terisak di lantai dengan memegangi perutnya.

“Keluar!”

Wanita itu bergegas keluar dengan tersandung-sandung.

Setelahnya, Loko menyerahkan pistol yang semula ia genggam pada Zo. Loko sekali lagi memukul wajahku hingga cipratan darahku memercik ke pakaian yang ia kenakan.

“Dengarkan!” perintahnya sambil menjambak wajahku agar menghadap ke wajahnya. Aku mencoba menghindari kontak mata dengannya dan melirik ke arah Zo yang melihatku tanpa bersuara. “Kalo kau coba-coba kabur lagi, aku akan habisi ayah sialanmu itu!” Suaranya mendesis tepat di telingaku.

“Jangan ayahku,” pintaku lirih.

Loko tertawa keras.

“Jangan ayahku … jangan ayahku … Hanya itu yang bisa kau katakan? Dasar tolol! Dia bahkan bukan orang tua kandungmu dan kau membelanya sekuat tenaga?”

Apa yang ia katakan? Bukan ayah kandungku?

“Sekarang,” ujar Loko pada Zo.

Pistol yang ada di tangan Zo ia todongkan ke belakang kepalaku.

Aku menangis perlahan. Menggigit lidahku supaya dapat menahan rasa sakitku. Terdengar bunyi klik saat Zo meletakkan benda mematikan itu di tempurung kepalaku. Siap menembakku.

Zo mendekatkan lagi tubuhnya ke arahku yang membuat pistol itu semakin menekan kepalaku.

“Tembak dia,” gumam Loko, menatapku dengan senyum mengerikannya.

Aku memejamkan kedua mataku. Apakah ini akhir hidupku?