webnovel

Chapter 13: The Tale

Di luar hujan turun begitu deras.

Petir yang bersahut-sahutan menenggelamkan suara tangisanku menjadi sebuah keheningan. Tujuh jam sudah ku habiskan dengan meratap. Harga diri, kehormatan, dan kewarasanku terenggut satu per satu. Sosok Minka yang disegani dan dijaga keselamatannya hilang sudah. Yang tersisa sekarang hanya lah gadis menyedihkan dengan lebam dan luka di sekujur badan.

Aku memandang jari tanganku yang sedari tadi tak henti bergetar. Aku lelah menangis. Lelah merasakan sakit. Lelah merasa khawatir. Lelah menjalani ujian yang satu ini.

Apa lebih baik aku mati saja? Apa lebih baik aku menyusul ibuku ke surga? Ah, bahkan katanya surga tak akan menerima orang mengakhiri hidupnya sendiri. Apa aku harus ke neraka? Sepertinya neraka tak jauh berbeda dari hidupku saat ini.

Aku tengah duduk meringkuk di sudut kamar saat pintu terbuka dan salah satu sosok yang paling ku benci di dunia ini muncul. Aku melirik sekilas ke arahnya dan merasa terlalu lelah untuk meneriakinya. Tubuhku terlalu lemas untuk sekadar bangkit dan menghajarnya. Aku akan pasrah saja pada apa pun yang akan ia lakukan padaku.

“Minka?”

Aku menundukkan wajahku, menolak melihatnya lebih lama lagi. Sosok itu mendekatiku dengan membawa kotak kecil. Ia menyentuh tanganku dan saat itu juga ku angkat kepalaku untuk memandang langsung ke matanya.

“Bunuh saja aku,” ucapku. “Aku sudah tak berguna lagi. Bunuh saja aku.”

Kali ini ia memandangku tepat di netraku.

“Mana pistolmu? Tembak saja aku. Aku—”

“Maaf.”

Aku mengernyitkan dahiku saat mendengar kata itu terucap dari bibirnya. Apa kah aku salah dengar?

“Maaf,” ucapnya lagi. “Aku harus melakukannya.”

Aku menggeleng pelan dan kembali menyembunyikan wajahku di balik lengan. Perlahan menangis lagi saat mendengar ucapan itu. Yang benar saja. Setelah ia melecehkanku seperti tadi, sekarang ia dengan santainya meminta maaf?

“Ia murka saat tahu kau kabur. Sedari awal ia tak berniat membunuhmu. Aku tidak akan membunuhmu. Saat pistol itu ku todongkan ke kepalamu, sebenarnya ia memintaku untuk menggertakmu saja. Tapi yang perlu kau tahu, Loko tadinya berencana untuk memotong telingamu supaya kau kapok. Ia ingin kau tahu kalau ancamannya padamu tidak main-main.”

Kepalaku menggeleng lagi dan kedua tanganku beralih menutupi telingaku. “Hentikan omong kosongmu,” bisikku lirih.

“Aku melakukannya untuk mencegah rencana itu. Memotong telinga akan terlalu menyakitkan. Telingamu akan cacat selamanya. Itu sebabnya aku—”

“Kau pikir memperkosaku juga tidak menyakitiku?” tanyaku menahan emosi. “Kau pikir tindakanmu tadi bisa dibenarkan? Kau harap aku berterima kasih karena kau sudah menyelamatkan telingaku yang nyaris buntung?”

“Lalu kau lebih suka kehilangan telinga?”

“Aku lebih suka kau membunuhku saja. Aku lelah dengan semua siksaan ini.”

Aku memejamkan mataku menahan sakit yang mendera kepala. Aku tak berbohong. Lebih baik ia melubangi kepalaku dari pada aku harus menerima siksaan lain darinya atau bosnya yang gila itu.

“Hei.” Ia memegang daguku pelan dengan tangan kanannya.

Aku mundur hingga kepalaku membentur tembok.

“Jangan takut, Minka. Aku hanya ingin lihat,” ucapnya.

Aku menurut dan menyaksikan hazel eyes-nya yang membulat saat memandangku. Netra itu sudah tidak merah dan aroma alkohol sudah tak ada dari mulutnya. Bajingan ini terlihat lebih normal dari sebelumnya.

“Aku tak akan membunuhmu.” Jemari itu menyentuh pipiku dan menghapus air mata yang mengalir. Rahangnya kembali mengencang saat ia membuka kotak kecil yang ia bawa dan mulai mengeluarkan satu per satu isiannya. “Ku obati lukamu,” ujarnya.

Aku sudah tak peduli lagi akan apa pun yang ia lakukan padaku. Aku lelah mengatakan sepatah kata pun. Sudah cukup. Aku tak peduli bahkan jika ia mau menyakitiku lagi.

Akan tetapi, yang terjadi adalah ia mulai membersihkan lukaku dengan antiseptik. Ia kemudian mengoleskan salep pada semua luka di tubuhku. Mulai dari jemari, siku, lengan, lutut, bagian bawah mata, hingga bibirku, semuanya tak luput dari olesan salep itu. Beberapa menit setelahnya ia menghentikannya.

“Selesai.” Suara Zo menggema di telingaku. “Kau mungkin mau ganti baju dengan yang bersih. Aku sudah membawakannya di meja.”

Tanpa banyak kata, aku beranjak dari lantai dan mengambil baju bersih yang ia maksud.

Setelah berganti baju di kamar mandi, aku mendapati Zo masih berada di kamar. Kali ini ia berdiri dengan segelas susu putih di tangannya. Aku mengabaikan Si Brengsek itu dan memilih untuk naik ke atas ranjang. Aku ingin tidur. Aku mau melupakan semua mimpi buruk yang tiada akhir ini.

“Kau belum makan dan minum sama sekali sejak pagi. Minum saja susu ini. Aku tahu kalau menyuruhmu makan sekarang kau pasti menolak.”

Aku mengabaikan ucapan itu dan beralih memunggunginya.

“Minka,” panggil Zo dengan suara husky-nya. “Minum dulu supaya perutmu terisi. Kau tadi muntah juga, ‘kan?”

“Tidak mau,” jawabku pelan. Aku menarik selimut dan semakin menutupi tubuhku darinya.

Aku mendengar helaan napas darinya. Tak berapa lama kemudian aku merasakan ranjang yang ku tiduri bergerak. Si Brengsek itu berada satu ranjang denganku.

“Please, aku masih sakit. Bisa kah kau berhenti?”

“Aku tak menyentuhmu. Aku akan membacakan cerita untukmu.”

Bualan macam apa itu? Membacakan cerita? Untukku?

“Kau tidur saja dan dengarkan dongeng dariku.”

Bajingan ini pasti bercanda.

Tapi sialnya tidak.

Ia benar-benar mulai membacakan cerita untukku.

“Pada sebuah malam menjelang Natal, malam terasa sangat dingin. Salju turun dengan deras dan angin berembus kencang. Ada seorang gadis kecil yang sudah kehilangan mamanya. Untuk menghidupi papanya yang sedang sakit, tanpa mempedulikan badai salju, ia berjalan di jalan sembari menjual korek api…”

Aku terisak lagi. Aku benar-benar bingung padanya. Kenapa ia bersikap seperti ini di saat beberapa waktu yang lalu ia malah menyakitiku? Aku semakin merapatkan selimutku saat kata demi kata terucap dari bibir penculik itu.

“Korek api … korek api … Siapa yang mau beli?”

Entah itu rasa lelah atau sakit atau benci atau amarah yang menjadi satu, aku bahkan tak berhenti menangis. Zo masih terus mendongeng bahkan saat isakanku bertambah kencang. Tubuhku berguncang hebat dan sesaat kemudian ku rasakan sebuah kecupan ringan hinggap di puncak kepalaku.

“Jangan menangis. Katanya kau lebih suka mendengarkan cerita dari pada membacanya. Aku akan membacakan cerita ini sampai kau tidur.”

Zo mengusap lembut kepalaku saat ia kembali melanjutkan ceritanya. “Dia tidak memiliki baju hangat. Bajunya kumal dan kepalanya dibungkus syal yang sudah koyak. Di atas kakinya hanya memakai sepasang sandal tua. Dia berteriak menjajakan korek apinya di jalan, tapi tak seorang pun mempedulikannya…”

Menit demi menit berlalu dengan ia yang masih membaca dongeng tentang Si Gadis Penjual Korek Api. Tangisanku sudah berhenti dan perlahan-lahan rasa kantuk mulai menyerangku. Ketika sudah di ambang batas kesadaran, aku bisa merasakan usapan Zo di kepalaku yang mulai berkurang. Sebelum benar-benar memasuki alam ketidaksadaran, Zo mengecup lagi puncak kepalaku dan ia berbisik pelan di telingaku…

“Maafkan aku, Minka.”