webnovel

Chapter 10: Chance

Selama berhari-hari berikutnya aktivitas yang ku lakukan kurang lebih seperti ini; bangun, makan, mandi, mengitari kamar, memandang dunia luar dari jendela persegi, bertemu dengan Zo selama beberapa menit and repeat. Setiap harinya selalu seperti itu.

Zo memberiku makan dua kali sehari dan baju ganti sehari sekali. Selain Zo dan wanita paruh baya yang membawakanku makanan, aku tak menemui siapa pun lagi. Tidak orang lain, tidak juga pria bertato yang tempo hari menghajarku.

Aku sedikit bingung dengan situasiku saat ini. Bukannya aku tak bersyukur mereka tak melukaiku lagi tapi ini sedikit ... ganjil. Perlakuan mereka terlalu normal. Dari pada seperti tawanan, mereka memperlakukanku lebih seperti seorang ... entah lah. Aku mencoba menemukan kata yang lebih baik dari tahanan.

Mereka masih memperlakukanku dengan manusiawi selama aku menuruti perintah. Mereka bahkan tak memborgol atau mengikatku. Selama ini aku patuh pada perintah Zo karena aku tak mau kejadian mengerikan beberapa waktu lalu terjadi kembali padaku. Kendati masih menyimpan amarah dan dendam, namun ancaman Zo membuatku tak berkutik. Akan tetapi, janjinya untuk tak melukaiku juga ia penuhi.

Mungkin ucapan Si Netra Hazel itu benar. Jika aku mematuhi perintahnya maka aku akan baik-baik saja.

Dan benar, aku ‘baik-baik saja’.

Aku membuang harga diriku dan mematuhi segala ucapannya. Semenjak kejadian ciuman paksa seminggu yang lalu, ia bersikap biasa saja. Raut datarnya masih sama seperti sebelumnya. Seolah tak terjadi apa pun.

Di satu hari dia bisa terlihat sangat tenang, seolah-olah ia hanyalah sipir yang sedang menjaga tahanan. Si sisi lain, terutama saat aku menunjukkan tanda-tanda membantah, ia akan mengancamku lagi dan kembali bersikap kasar padaku. Rasanya seperti menghadapi dua orang yang berbeda.

Seperti misalnya hari ini. Pagi ini ia datang dengan membawakanku jam mungil yang dapat ku letakkan di atas meja. Jam berbentuk kotak berwarna hitam dengan garis merah yang mengelilinginya itu bergambar Iron Man.

“Ku rasa kau butuh penunjuk waktu,” ujarnya.

Aku memandangi jam dalam genggamanku yang menunjukkan pukul 09.00. “Tapi aku tak suka Iron Man,” gumamku lirih.

“Apa?” sahut Zo.

Aku mengerjapkan mata dan buru-buru menggeleng. “Tidak. Tak ada apa-apa.”

Zo mengabaikan jawabanku dan meletakkan sebuah majalah di atas meja. “Ini. Di dalamnya ada cerita pendek.”

Aku mengernyitkan dahiku heran. “Lalu?” tanyaku pelan.

“Bisa kau baca,” jawab Zo. “Kau suka baca cerita, ‘kan?”

Aku merasa sangat heran dengan sikapnya. Tumben sekali hari ini ia memberiku sesuatu. Apa kah ada maksud terselubung? Apakah setelah ini aku akan dipukul?

“Apa yang kau pikirkan?”

Aku kembali fokus pada makananku yang sejenak ku lupakan. “Tidak,” ucapku.

Zo duduk di atas ranjang sembari memainkan rubik di tangannya. Ia tak memandangku dan netranya menatap tajam rubrik yang tengah ia selesaikan. “Bohong. Jawab jujur,” ujarnya dingin.

Aku menelan makanan dengan susah payah. Tak mungkin juga aku mengatakan kecurigaanku padanya. Yang ada nanti ia akan berlaku kasar lagi padaku jika aku memancing emosinya.

“Tidak apa-apa. Hanya saja aku lebih suka mendengarkan cerita daripada membacanya,” jawabku berdusta.

Jawabanku sepertinya cukup untuk membuatnya diam. Ia tak menanyakan hal lagi selain menungguku menghabiskan makanan, seperti yang selama ini selaku dilakukannya. Sesekali aku mendapatinya tengah memandangiku dengan cermat dan memalingkan kepala saat aku balik mamandang. Kendati rasa bingungku akan apa yang tengah terjadi begitu besar, aku tak berani menanyakannya lagi barang sekali pun.

Akan tetapi, mengingat kali ini ia bahkan mau repot-repot memberikanku jam dan majalah, apakah bisa aku meminta hal lain selain ini?

“Aku mau tasku kembali.”

Aku menggigit lidahku karena permintaan itu terucap begitu saja tanpa mampu ku bendung. Sial, sudah terlambat untuk menarik lagi ucapanku karena saat ini ia menghentikan permainan rubiknya.

Aku berdehem sebentar dan menyambung permintaanku tadi. “Tas abu-abu yang waktu itu ku pakai, boleh aku memintanya kembali? Aku hanya perlu mengambil buku di dalamnya.”

Pria itu memiringkan kepalanya dan memandangku. Zo terlihat seperti mempertimbangkan permintaanku. Aku harap ia memperbolehkannya.

“Sudah dibuang.”

Tubuhku terasa lemas. Di dalam tas itu ada buku catatanku. Catatan semua hal yang ku tulis. Diary berjalanku. Aku tak masalah kehilangan apa pun asalkan bukan buku itu.

Sedih sekali rasanya kehilangan barang kesayangan. Aku sudah memilikinya sejak enam tahun yang lalu dan mereka membuangnya begitu saja. Aku menghabiskan suapan terakhirku dengan tak berselera. Aku tak mau mengatakan apa-apa lagi padanya. Takut ucapannya akan mengecewakanku.

Aku menatap jendela kamar ini untuk kesekian kalinya. Berbagai kemungkinan untuk kabur tampaknya akan sia-sia. Tak ada gunanya.

Aku rindu rumah. Sangat. Rindu dengan ayahku.

Ayah pasti sedang kebingungan mencariku, ‘kan? Kenapa ia belum bisa menemukanku? Bagaimana dengan Kak Evan? Pasti dia ikut mencariku bukan?

Bagaimana juga dengan Kimmy? Mungkin ia akan mengkhawatirkanku. Anak itu pasti heboh sekali mengetahui bahwa aku menghilang.

Tenggorokkanku terasa sakit. Mungkin ini efek ketika menangis selama berjam-jam. Semoga bukan panas dalam. Tak enak sekali rasanya.

“Ini.”

Pria itu memberikan sebutir permen pereda sakit tenggorokkan. Bagaimana bisa ia menyediakan permen itu saat aku sedang membutuhkannya? Apa ia tahu tenggorokanku sakit atau kebetulan saja?

Aku menerima permen itu dengan ragu-ragu dan memasukannya ke mulutku.

“Kau tak mau curiga lagi dan berpikir kalau permen itu adalah obat?”

Aku melirik ke arah Zo yang menanyaiku. Sial. Ia menyindirku yang tempo hari membuang obat pereda nyeri yang diberikannya. Pria itu kini meletakkan rubiknya di atas meja, lalu bangkit dari ranjang dan berdiri tepat di belakang kursiku. Tengkukku meremang merasakan keberadaan pria itu yang seakan mengancamku.

“Kau patuh sekali akhir-akhir ini.”

Ia menunduk dan menghirup rambutku dari belakang. Aku menggertakkan gigiku dan memegang kuat-kuat sendok di tangan kananku. Sendok ini bisa menjadi senjata kalau bajingan ini macam-macam lagi padaku.

Zo semakin mendekatkan hidungnya dan mengendus kepala belakangku.

“Apa yang kau lakukan?” tanyaku berbisik. Tubuhku mendadak kaku dan tak dapat bergerak sedikit pun.

“Rambutmu wangi.”

Hanya itu yang terlontar dari mulut Zo sebelum pria itu menjauhkan hidungnya dari kepalaku. Ia mengambil nampanku yang sudah habis kemudian berlalu menuju pintu. Mengunci pintu itu seperti biasa dan meninggalkanku dalam kebingungan yang teramat sangat.

***

Selama tiga hari berikutnya Zo tak pernah datang ke kamar lagi. Kali ini yang menggantikan tugasnya adalah Si Wanita Paruh Baya. Saat ku tanyakan keberadaan Zo pada wanita itu dia hanya diam saja dan tak meresponnya. Seperti yang ku lakukan kali ini. Dia hanya memberikanku makan dan bergerak layaknya robot.

“Bisa kah Anda memberi tahu saya kemana perginya Zo?”

Dia berhenti sejenak dan menjawabnya tanpa menatapku. “Tuan Loko sedang pergi ke luar selama beberapa hari dan Tuan Keenan juga ikut. Mereka sebentar lagi pulang,” jawabnya dengan malas-malasan.

Loko? Keenan? Yang mana Loko dan mana yang Keenan? Mereka pergi ke mana?

“Saya tanya tentang Zo. Orang yang biasa datang ke kamar ini. Biasanya dia—”

“Sudah ku katakan kalau Tuan Keenan sedang ikut bosnya ke luar. Jangan banyak tanya!”

Keenan sedang ikut bosnya ke luar …

Berarti Zo adalah Keenan? Loko adalah nama bosnya? Si Pria Bertato itu?

Keenan? Itu kah nama asli Zo?

Benakku seketika mengeluarkan ide. Bagaimana kalau aku kabur sekarang saja? Mungkin aku bisa mengecoh wanita ini dan kabur darinya. Walau bagaimana pun ia kelihatannya tak terlalu kuat. Setidaknya jika ia memukulku, aku bisa balik memukulnya.

Aku melihat kunci kamar yang menggantung di saku celemeknya. Aku bisa merebut kunci itu dan pergi dari sini. Ini kesempatan bagus untukku. Mumpung orang bernama Loko itu dan anak buahnya sedang tak ada, lebih baik aku coba saja.

Aku harus melakukannya.

“Bu, bisa minta tolong sebentar?”

Wanita itu menoleh padaku dengan wajah datar. Astaga aku benci sekali ekspresinya.

“Umm ... air di kamar mandi macet, jadi saya belum mandi. Bisa tolong dicek sebentar?” Itu hanya omong kosong belaka. Aku sudah mandi tentu saja dan air di kamar mandi tidak ada masalah sama sekali. “Ku mohon, Bu,” pintaku lagi.

Sesuai dugaanku, ia pun luluh.

Wanita itu melangkah menuju kamar mandi sementara aku mengikutinya dari belakang. Ketika ia sudah masuk ke dalam, dengan perlahan aku pun menarik anak kunci pintu kamar mandi yang menggantung. Ketika badannya agak membungkuk untuk menyalakan shower, dengan cepat aku pun memasukkan tanganku ke dalam saku celemeknya dan tanganku menyentuh benda kecil yang dingin.

Aku dapat kuncinya!

Dengan cepat aku menariknya keluar saat air dari shower juga menyembur membasahi tubuh kami berdua.

Aku harus bergegas karena bisa jadi ini lah satu-satunya kesempatan aku bisa melarikan diri dari sini.