webnovel

Chapter 9: Hopeless

Aku mendelik tajam namun perlahan mengembuskan napas yang tersendat. Kepalan di tanganku masih terbentuk namun sudah tak seerat sebelumnya. Zo mengamatiku dengan pandangan tajam. Ia seolah mengulitiku dengan tatapannya. Pria itu lalu mengedikkan kepalanya ke arah hidungku.

Untuk apa dia menanyakannya, sih? Sok peduli sekali.

Akan tetepi, mau tidak mau jari telunjuk dan ibu jariku menekan-nekan batang hidungku. Masih sakit, tapi ku rasa sudah sedikit lebih baik. Setidaknya sudah tak berdarah lagi.

Zo beralih mengedikkan kepalanya pada nampan makanan yang masih utuh tak tersentuh. “Kau belum memakan makananmu.”

Mataku melirik ke arah makanan yang saat ini pasti sudah dingin. Semalam waktu berlalu hanya ku habiskan dengan menangis. Aku sama sekali tak bernafsu untuk makan walau hanya satu sendok. Bahkan minuman pun tidak ku hiraukan.

“Aku tak lapar,” jawabku.

Sialnya seketika itu juga perutku berbunyi keras seolah meronta meminta diisi substansi yang melambai-lambai di meja.

“Tak usah berlagak gengsi. Perutmu tak bisa bohong.”

Ucapan Zo membuat emosiku naik. Sekarang masih pagi dan ia seenaknya saja mengomeliku. Dia pikir dia siapa?

“Kau pikir aku bisa makan setelah dihajar seperti kemarin? Seluruh badanku terasa sakit dan hidungku luar biasa nyeri! Kalian Bajingan kurang ajar yang tak punya hati! Keluarkan aku dari sini! Aku mau pulang!”

Aku berlari ke arah pintu dan mencoba membukanya. Pintu itu terkunci, tentu saja. Akan tetapi, rasa frustasi membuat otakku sulit berpikir jernih. Aku menggedor-gedor pintu itu sambil berteriak meminta tolong sebelum Zo memotong teriakanku dengan sebuah kalimat yang membuat napasku tercekat.

“Diam atau kau mau dihajar lagi seperti semalam?”

Aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat menahan tangis. Sial sial sial. Aku benar-benar terperangkap dalam kandang singa dan tak bisa berkutik sedikit pun.

Zo bangkit dari duduknya dan berjalan mendatangiku yang terkulai di pintu. Aku tak memiliki tenaga lagi untuk berdiri. Jantungku bertalu-talu saat tubuh Zo berada tepat di hadapanku. Ia berjongkok di depanku dan menyibakkan rambutku yang menutupi wajah.

“Jangan pukul aku,” bisikku.

Zo menghela napas. “Jangan banyak menangis. Makan. Kau tak boleh mati dulu.”

Napasku benar-benar berhenti saat ibu jari Zo mengusap bagian bawah hidungku. Ia mengusap darah yang keluar dari hidungku yang terluka. Aku bahkan tak sadar sudah mimisan.

“Duduk lah di kursi dan habiskan makananmu.”

Mataku mengekori pergerakan ibu jari Zo yang mengusapkan bekas darahku ke selembar tisu yang ia ambil dari saku celananya. Tangan kiri Zo menarik kelima jemariku supaya memegangi tisu yang ia tempatkan di bagian bawah hidungku. Setelahnya, ia menarik lenganku untuk bangun namun aku menepis tangan itu.

“Aku tidak lapar,” ucapku lagi. Aku menarik tisu dari hidungku dan seperempat bagian tisu putih itu telah berubah warna menjadi merah.

“Sudah ku katakan kau harus mematuhiku.”

Aku terdiam dan tak menjawab perkataannya.

“Aku hanya menyuruhmu untuk makan.”

“Aku tak peduli,” akuku.

“Kau tahu aku bisa memanggil bosku ke sini kapan saja dan tak perlu waktu lama untuk paham apa yang terjadi selanjutnya.”

Membayangkan pria bertato datang kembali dan memukuliku membuat sekujur tubuhku merinding. Aku tak mau dipukul lagi. Semua badanku masih terasa sakit. Bahkan kalau badanku tidak sakit juga aku tak sudi dikasari lagi. Aku tak ingin membayangkannya barang sedetik pun.

“Sekarang makan lah. Aku akan menunggu di sini sampai kau menghabiskannya.” Lalu ia melanjutkan, “Atau kau lebih suka aku memanggilnya?”

“Jangan,” cegahku langsung.

Aku melirik makanan itu. Aku benci melihat pria bermata hazel ini tapi aku lebih takut jika pria bertato itu datang dan menghabisiku lagi. Sepertinya tak ada pilihan lain.

Aku berjalan menuju kursi dan duduk dengan ragu. Ku sentuh juga piring makananku. Sejujurnya aku tak terbiasa jika harus dipaksa untuk makan. Selera makanku berubah-ubah tak menentu. Di satu waktu aku bisa makan tanpa henti hingga kekenyangan dan di waktu lain aku bisa saja tahan tak makan seharian. Nafsu makanku hilang di saat-saat tertentu. Seperti sekarang ini.

Hingga suapan ketiga, aku tak bisa menahannya lagi. Perutku terasa seperti diaduk-aduk. Aku berlari menuju ke kamar mandi dan memuntahkan isi perutku. Ku keluarkan semuanya hingga yang tersisa adalah muntahan kering dari mulutku. Astaga ini sangat menjijikan.

Ku bersihkan mulutku dengan air dan terduduk lemas di lantai kamar mandi yang dingin. Aku ingin pergi. Aku ingin pulang. Aku tak ingin terus menerus berada di tempat mengerikan ini.

Mau sampai kapan mereka akan menahanku? Bagaimana caraku melarikan diri? Bagaimana jika ketahuan?

Ku pikir air mataku sudah habis karena sejak awal kejadian ini berlangsung tak pernah sedikit pun tak ku lalui dengan tangisan. Tapi nyatanya tidak. Aku tersengguk dan memukul-mukul lantai kamar mandi. Aku benci situasi ini.

“Kau baik-baik saja?”

Zo mendatangiku dan berlutut di sampingku. Aku mendengus menahan rasa muakku. Dia bertanya apakah aku baik-baik saja? Apa dia sudah gila? Tidak, tentu saja aku tidak baik-baik saja!

Aku membungkam mulutku menahan luapan emosi yang menumpuk di ubun-ubun.

Dengan sigap lelaki itu menarikku bangun dan keluar dari kamar mandi. Bulu kudukku meremang saat tangannya bersentuhan dengan lenganku. Aku melemparkan tatapan tajam kala ia memaksaku duduk di ranjang.

Zo mengeluarkan botol kecil dari sakunya. Ia mengambil dua butir obat dan menyerahkannya di atas telapak tanganku.

“Itu pereda nyeri. Minum lah. Kau akan merasa lebih baik jika meminumnya.”

Aku meremas dua butir pil yang ia sebut sebagai pereda rasa nyeri itu dengan keras. Dia bercanda? Apa kah dia pikir aku cukup nekat untuk meminum entah-apa-itu dengan sukarela seperti yang ia mau?

Obat itu jatuh di lantai saat aku melemparnya sejauh mungkin. Aku mengusap air mataku dengan kasar dan menatapnya dengan pandangan tajam.

“Kau pikir aku cukup bodoh untuk meminumnya?” tanyaku nyaris berbisik. “Kau pikir aku akan meminumnya seperti yang kau mau lalu setelah itu aku mungkin akan pingsan dan kau akan melakukan hal menjijikkan lagi seperti kemarin? Kau pikir aku sebodoh itu?”

Aku mengepalkan tangan menahan amarah kala kilasan bayangan di malam itu melintas di benakku. “Kau sama jahatnya dengan orang itu!” teriakku.

Tanpa aba-aba, tiba-tiba saja Zo mencengkeram daguku dengan kencang menggunakan satu tangannya. Aku memukulinya sebisaku meski tak ada hasil apa pun yang didapat. Ia seolah tak terganggu sama sekali akan pukulan tanganku. Hazel eyes itu meneliti obsidian-ku yang bergetar menahan amarah.

“Lepaskan, Brengsek!”

“Kau sendiri sudah tahu sebajingan apa aku ini namun kau—“ Ia mendekatkan wajahnya ke bibirku. Bajingan itu mengembuskan napas hangatnya pada wajahku yang berjarak sejengkal dari wajahnya. “—dengan beraninya berteriak padaku.”

Aku mencoba memiringkan kepalaku sebisa mungkin tapi gagal karena kuatnya cengkeraman jemari lelaki itu.

“Bukan kah sudah ku katakan padamu, lakukan apa yang ku perintahkan dan kau akan baik-baik saja. Aku akan bersikap baik padamu, tapi jika melihatmu membangkang seperti ini …“ Ia menggigit bibir bawahku dan menyesapnya kuat, mengabaian rontaan tubuhku memintanya melepaskanku.

“Aku tak menjamin kau akan baik-baik saja di sini, Minka,” bisiknya.