webnovel

Melintasi Ruang

Wajah Arthur merah padam, bahkan merambat sampai telinga. Kalimat William sangat ambigu, membuatnya berpikir yang tidak-tidak. Apalagi sekarang, ia dan Eleanor diantar ke kamar yang sama. Mereka harus tidur dalam ruangan dan berbagi ranjang. Sial! Otak Arthur ke mana-mana!

"Jangan berpikir yang tidak-tidak! Aku bisa saja menghisap cairan otakmu dan membuangnya ke selokan!" ancam Ele. Arthur sampai bergidik ngeri, ia ingat ia pernah dilempar api gara-gara melihatnya dengan berlebihan. Dan sekarang, keadaannya hampir sama. Bedanya, sekarang Eleanor tidak bisa berbuat banyak, ia hanya bisa terlentang.

Hingga malam mulai merangkak, hening merajai. Suara burung hantu di dahan basah depan jendela terdengar begitu dekat. Diterangi lentera kecil di sudut ruangan, Arthur tidak bisa tidur.

Matanya tetap terbuka lebar, enggan tertutup. Seperti ada energi besar yang berangsur-angsur menyerbunya. Memaksa mata yang segar untuk melirik, hanya untuk menemukan Ele dalam keadaan yang sama. Elf tersebut belum tidur, masih dalam posisi yang sama sejak terakhir Arthur meliriknya.

"Apa yang Kau pikirkan?" Ele pikir, Arthur tidak akan berani memulai percakapan dengannya. Jadi ia melirik ke samping, di mana Arthur tidur di sisinya. Mata mereka saling bertatapan, debaran aneh yang sering muncul mulai terasa. Hanya saat berdua, atau di kala waktu mereka merasa memiliki satu sama lain. Tapi, bukankah Ele tidak memiliki perasaan pada Arthur?

"Aku tidak bisa tidur, apa bisa Kau tidur di tempat lain saja?" Ele mendengus, merasa kesal dengan keadaannya yang payah. Jika ia sedikit lebih bertenaga dari ini, yakin ia pasti mampu menendang lelaki ini.

"Aku bisa, tapi aku tidak mau!" jawab Arthur terang-terangan. Membuahkan tanda tanya dan amarah secara bersamaan, Ele spontan bergerak miring, hanya untuk merasakan ngilu di bagiab dadanya yang baru saja ditutup oleh mantra Juliet.

"Aish, sakit sekali, sial!" makinya. Meringis, ia memegang di mana luka itu seharusnya, berdenyut ngilu.

"Sakit sekali ya? Padahal jika Kau mau, aku bisa membantumu meredakan rasa ngilunya," tiba-tiba saja Ele yang telentang tersentak kaget. Pasalnya, Arthur tiba-tiba sudah berada di atasnya, tersenyum manis penuh maksud.

"Minggir Kau! Mati saja sana!" kutuknya sadis. Dan Arthur justru tertawa riang. Sepertinya ia mulai terbiasa dengan mulut berbisa milik takdirnya. Ini tidak lebih parah dari kejadian Ele memburunya untuk dihabisi bukan?

"Kalau aku mati, lukamu tidak akan cepat sembuh. Dan Kau akan menjadi lemah dalam waktu yang lama. Apa Kau menyukai gagasan itu?" Arthur mengedipkan sebelah matanya. Menjadikan emosi Eleanor naik ke ubun-ubun.

Jadi, tanpa memberi peringatan atau apa pun, Ele mengangkat sebelah kakinya, berniat menendang bagian pusat tubuh Arthur. Yang sayangnya langsung terbaca. Hingga lelaki itu mampu menangkap kaki kecil sang elf dan tersenyum mesum.

Ele mendelik, ingin menggerakkan tangannya, tapi rasanya sakit sampai seperti mau mati!

"Aku kan sudah bilang, aku bisa saja membantumu. Kenapa keras kepala sekali?" tersenyum hingga matanya menghilang, Ele pikir ia kehilangan kendali atas detak jantungnya. Sial, ini sangat keras dan mendebarkan!

"Terserah, lakukan sesukamu!" dengus Eleanor akhirnya. Ia memalingkan muka, menahan semu yang menjalar di pipinya yang putih. Yang sayangnya, tidak luput dari perhatian Arthur. Lelaki itu diam-diam tersenyum, memahami sifat tsundere yang dimiliki oleh matenya.

"Baiklah, kalau begitu, serahkan semuanya padaku. Kau boleh berteriak, tapi tetap aku yang memegang kendali," ia berbisik tepat di telinga sang elf. Dengan napas hangat yang bertiup pelan, menggelitik kulit Ele hingga meremang.

"Apa maksud-uh!" tidak, Ele tak bisa lagi berpikir jernih. Saat kedua belah bibir mereka bertemu, saat itu juga Ele kehilangan kendali. Tangan dan tubuhnya tak terkontrol, mabuk dan hilang arah. Seperti bukan dirinya, ia mengerang dan memohon. Membiarkan Arthur menang dan menduduki takhtanya, ia mengiba.

Menghabiskan malam berdua, dengan peluh dan gairah. Luka menganga perlahan menutup. Seperti sebuah mantra ajaib, sentuhan mate adalah obat. Obat luka di hati, dan luka atas gairah yang tak terbendung lagi.

***

Saat pagi menjelang, mereka tak lagi membuang waktu. Keadaan sehat dan rasa khawatir karena meninggalkan dua anak manusia di penitipan membuat mereka bergegas. Tak peduli bahwa klan werewolf masih ingin mereka tinggal, mereka tetap harus pergi.

"Aku sangat senang bertemu kalian lagi. Tapi kami harus pergi, ada tanggung jawab besar yang harus kami pikul sekarang!" William tersenyum. Memaksa kerutan di dahi sang Alfa putih, seseorang yang sebelumnya mereka panggil dengan sang jenderal.

"Aku kira Kau akan tinggal di sini, dalam artian menetap. Kau tahu, aku tidak bisa bekerja sendirian kan?" ia berkacak pinggang, namanya Dandelion, lebih sering dipanggil Lion. Nama perempuan yang cantik dan rapuh itu memang disandangnya bukan tanpa alasan. Rambut putih serta wujud serigalanya yang senada menjadikan nama itu sangat cocok baginya. Ya, meski ia laki-laki tulen.

"Jangan berlagak bodoh, Kau pikir aku tidak pernah memperhatikanmu dulu?! Kau selalu bekerja sendirian dan menyelesaikan masalah dengan ide-idemu yang luar biasa itu kan?" sudut bibir Will terangkat, terlihat kesal.

Ketika Lion ingin membantahnya, Will mengibaskan tangan di depan wajah. Isyarat bahwa ia tak ingin lagi mendengar alasan dari Lion.

"Aku harus pergi sekarang, sampaikan terima kasihku pada kawan-kawan yang lain. Berkat mereka, kami sembuh dengan sempurna!" ia mengedipkan mata genit, sedikit mengerling pada Eleanor yang kini membuang muka. Tubuhnya sehat sempurna, tanpa cacat atau lubang yang berbahaya.

Sebenarnya Lion tidak paham dengan ucapan William, mengingat ia belum pernah bertemu dengan matenya. Tapi ia hanya mengangguk, merasa tak bisa lagi menahan kepergian orang-orang hebat yang telah membantu melepaskan mantra di kepalanya.

"Alfa Will, tunggu!" seseorang tiba-tiba berteriak. Mereka menengok ke balik tubuh Lion, mendapati Julian berlari dengan tergopoh-gopoh. Wajahnya terlihat sangat terburu-buru, sepertinya takut tertinggal oleh rombongan.

"Aku bisa mengantar kalian pergi dengan cepat!"

***

"Ini, cermin ruang?" tanya William setengah berbisik. Matanya menyirat tak yakin, menatap benda oval dengan tinggi yang setara dengannya. Berbingkai kayu dengan ukiran rumit, kaca ruangan ini terlihat bersinar di bawah guyuran kasih sayang matahari.

"Ya, aku menyimpannya di sini. Tidak pernah membuka mulut sedikit pun, takut jika Dean akan memanfaatkannya untuk hal-hal yang mengerikan," jawab Julian. Itulah alasan mengapa ia menghabiskan waktu lebih lama untuk menemukan William. Meski cermin ajaib yang bisa memindahkan objek dengan singkat ini ada pada keluarganya.

"Dan sekarang, sebagai salah satu ucapan terima kasihku, aku akan mengantar kalian dengan ini. Kalian hanya perlu mengatakan lokasinya, dan aku akan membuka jalannya," ia berbalik. Menatap pada 4 orang yang bersiap pergi dari hadapannya.

"Dan selalu ingat, jika kalian butuh bantuanku, kalian selalu bisa mengandalkanku. Aku akan setia pada kalian, aku janji!"