webnovel

Tidak Terpengaruh

Hanya dalam sekejap, Dean sudah tergeletak dengan bersimbah darah. Serigala putih itu masih menggeram ganas di hadapannya, seolah masih belum puas mencabik dan melukai Dean. Seakan dendam dalam hatinya belum selesai, seperti masih menyisakan sesuatu yang sangat dalam.

Tak ada yang berani bergerak, bahkan mereka yang sebelumnya berada di pihak Dean, mendadak mematung. Mereka ketakutan hingga menggigil. Kaki mereka seolah terpaku pada tanah.

Hingga suara langkah kaki yang terseret terdengar. Perlahan mereka menoleh, menemukan Juliet yang berjalan dengan tertatih-tatih. Wajahnya pucat, dengan hidung yang mulai mengeluarkan darah segar. Entah apa yang baru saja ia lakukan, sehingga menghabiskan begitu banyak tenaga.

"Juli," Eleanor belum panggilannya, tapi Juliet sudah mengangkat tangannya. Sebagai isyarat agar elf itu diam. Walau terlihat berat dan kesulitan, ia tetap melangkah ke arah serigala putih.

Ia sampai di sana, berdiri tegak dan mengelus moncong yang berdarah. Bukan darahnya sendiri, melainkan milik Dean. Ia menggigitnya dengan tanpa ampun, hingga mungkin tulang-belulang Dean ada yang terlepas.

Mengundang reaksi terkejut dari semua orang, hewan buas yang baru saja mengalahkan sang Alfa itu menunduk. Membiarkan Juliet mengusap area di antara matanya. Dengan binar putih kebiruan yang melingkupinya, ia kembali ke bentuk manusianya. Dengan keadaan utuh tanpa luka.

Juliet tersenyum, lalu menunduk. Ia berjongkok, menatap Dean yang baru saja terlepas dari cengkeraman kaki depan sang jenderal. Mata mereka bertemu, dengan pandangan yang sama-sama tak bisa diartikan.

"Jika aku menyelamatkan Alfa kalian ini, apa kalian akan tetap menahan kami di sini?" suara Juliet terdengar jelas. Meski di sana diisi oleh banyak makhluk, tak sulit untuk mendengarkan pertanyaan Juliet. Karena keheningan, suaranya terdengar lebih kencang dan mudah dipahami.

Hening, tak ada yang membuka suara. Sudah bukan lagi rahasia, jika Juliet adalah penyihir yang memiliki kemampuan menyembuhkan. Mereka semua sudah tahu, informasi disebarkan sebelum kelompok William datang malam ini.

Juliet menahan napas, lalu mengembuskannya keras-keras. Ia menggenggam tangannya erat, berusaha menahan diri untuk tidak meraung. Berpikir jika mereka semua ada di pihak Dean yang kejam, sangat-sangat melukainya. Tapi, seseorang berteriak kemudian.

"Tolong bunuh saja dia!" seseorang tiba-tiba saja berseru dari balik punggung Juliet. Ada debaran yang terasa sedikit melegakan ketika mendengar suara itu. Jadi, perlahan ia menoleh. Menemukan Julian, werewolf muda yang menggiring William kemari.

"Tolong bunuh saja dia! Jangan selamatkan dia! Saya mohon!" ia menangis, meraung. Bersujud pilu di atas lantai yang kotor. Tak peduli dengan harga diri, ia menenggelamkan diri dalam lautan air mata permohonan.

"Dia telah menyiksa kami, menyandera keluarga kami, bahkan membunuh orang-orang yang baginya tidak menguntungkan. Hanya untuk memperpanjang umurnya, sebagai Alfa, dia tidak melakukan tugasnya! Dia menyiksa kami sampai kami ingin mati!"

Juliet kembali menunduk, kali ini sambil memejamkan mata. Apalagi, saat suara-suara lain mulai bersahutan. Banyak yang mengikuti langkah Julian. Rupanya, selama ini Dean memanglah seorang tirani. Hingga begitu banyak yang membenci dan mengharapkan kematiannya.

"Sebenarnya, apa pun keputusan kalian, itu tidak akan mempengaruhi keputusanku," gumam Juliet. Yang sontak menarik seluruh atensi. Tak ada lagi dengungan, mereka fokus dengan apa yang akan Juliet katakan.

Juliet mengulurkan tangan, dengan cahaya putih kebiruan yang muncul dan mengitari tubuh Dean. Alfa itu memejamkan mata, dengan sudut bibir terangkat. Sepertinya, Juliet memutuskan untuk menolongnya.

Bats!

Uhuk!

Dean memuntahkan darah dari mulutnya. Begitu banyak dan terus menerus. Seperti dengan sengaja menguras habis darah dalam dirinya. Matanya mulai tak fokus, terbeliak ke atas dengan putih yang menguasai. Sebelum, seirama tangan Juliet yang menggenggam udara, ia mengejang.

Dalam hitungan ke tiga, Juliet menarik tangannya ke udara, dan menghempaskannya seperti sebilah pedang. Maka, detik itu juga, Dean meregang nyawa. Mulut terbuka lebar, seirama matanya yang tak mampu tertutup. Seluruh tubuhnya berwarna putih, seperti telah tewas dalam waktu yang lama.

"Aku akan tetap menghabisinya, entah itu kemauan kalian, atau bukan." Tersenyum di akhir, Juliet berbalik. Menatap semua yang bersujud padanya dengan air mata.

Maka, seperti sihir, semua orang bersorak lega. Merasa bahagia atas kematian sang Alfa yang selama ini menekan dan mengekang mereka. Saling berpelukan, mereka mengucap syukur atas apa yang Juliet lakukan hari ini.

Air mata Juliet meleleh, bersama dengan sebuah pelukan yang hinggap dari balik punggungnya. Itu William, yang mengecup pundaknya penuh rasa bahagia. Mereka saling menggenggam, tak menyadari, ada sepasang mata yang menatap nanar dan terluka.

****

Malam itu diadakan upacara besar. Begitu meriah dengan api unggun yang membara di tengah perkampungan. Aneka daging disajikan di atas meja, minuman-minuman memabukkan dan membuat bahagia berjejer. Siap dinikmati siapa pun yang ada di sana. Tak ada lagi batasan, mereka melampauinya dengan suka cita.

Tak sampai di sana, pengumuman bahwa ternyata William dan Juliet adalah mate, dan telah menikah dalam waktu yang lama tentu mengejutkan banyak orang. Tapi mereka merasa sangat bahagia, berpikir jika mereka bisa tinggal dan memimpin mereka mulai sekarang.

"Apa Kalian akan tinggal di sini?" suara Arthur memecah kebahagiaan dua sejoli yang baru saja mengakui statusnya. Mereka menoleh bersama, lalu menggeleng. Arthur sampai membelalakkan mata saking tidak yakinnya.

"Aku tidak bisa lagi tinggal di sini, aku sudah menemukan rumahku Arthur!" ia tersenyum lembut, menggenggam tangan Juliet dengan bangga. Akhirnya, setelah sekian lama, mereka bisa mengakui hubungan mereka yang tersembunyi.

"Lalu, siapa yang akan memimpin mereka? Bukankah werewolf akan menjadi kehilangan arah tanpa pemimpin?" Arthur mengangkat sebelah alisnya, ia masih ingat akan bahasan itu beberapa waktu saat ia masih kecil. Beberapa kalimat yang sering diceritakan oleh ibunya yang kini telah tiada.

"Mereka punya, seseorang yang begitu kuat dan tangguh. Yang pernah kehilangan jati dirinya karena dikendalikan," melirik ke belakang, di mana Rhion sang jenderal tengah duduk bersama teman-temannya. Arthur ikut menatapnya, lalu menghela napas. Tidak salah jika selanjutnya lelaki itu yang memimpin. Ia benar-benar kuat sampai Arthur dibuat gemetar olehnya.

"Kalau begitu, kapan kita akan kembali? Kasihan Lucy dan Lucky, mereka pasti khawatir," gumam Arthur. Dari awal kepergiannya, memang hanya dua malaikat kecil itu yang ia pikirkan. Walau di sana aman, siapa yang menjamin tak ada naga atau monster yang menyerang?

"Setelah Juliet pulih, kita akan segera kembali. Jangan khawatir, anak-anak werewolf punya jalan pintas agar kita cepat sampai!" dengan senyum lebar, William merangkul bahu Juliet mesra. Membuahkan dengusan iri dari Arthur yang kurang akur dengan takdirnya.

Melihat wajah masam Arthur, Wiliam tertawa semakin kencang. Melirik Ele yang tidak bisa bergerak banyak, William berbisik, "malam ini coba dekati Eleanor. Pasangan mate, harus selalu dekat, jika ingin saling menyembuhkan satu sama lain,"