webnovel

Red Forest

Rasanya ajaib!

Begitulah yang mereka rasakan saat ini. Hanya butuh waktu kurang dari 3 detik, ketika mereka membuka mata, mereka sudah berpindah tempat. Tidak ada energi yang terbuang, mereka sampai di depan gerbang tempat penitipan anak-anak.

Tak ingin berlarut-larut dengan segala rasa terkejut dan heran, mereka memutuskan untuk menjemput Lucky dan Lucy. Mereka harus sampai desa Airy dan memberi kabar tentang seseorang yang berencana menghancurkan tower. Terlambat sedikit, mungkin kehidupan manusia akan berakhir.

Selepas menjemput anak-anak, mereka mulai melangkah kembali. Tujuan selanjutnya adalah, hutan kurcaci. Hutan yang terkenal dengan tumbuhan yang didominasi tumbuhan jamur serta obat-obatan. Dihuni oleh dwarf yang hidup berkelompok dan bertani.

"Ayo masuk, setelah melewati hutan ini, kita bisa sampai di desa terdekat!" ajak Arthur ceria. Mereka tersenyum, dan mengikuti ke mana Arthur melangkah. Melewati sungai kecil dan bukit yang tidak terlalu tinggi, mereka akhirnya sampai di gerbang hutan kurcaci.

"Kenapa berhenti?" tanya Juliet. Di depannya, Arthur terdiam mematung. Ia seperti baru menyadari sesuatu. Dan merasakan ada yang tidak benar di area ini.

"Sejak kapan hutan ini berwarna merah?" bisiknya. Mengundang atensi dari William, ia mengendus udara. Mencium bau alam yang agak tercemar. Jika hutan ini memang ditinggali oleh bangsa dwarf, mengapa tercium aroma siluman yang sangat kuat?

"Sepertinya, penghuni asli hutan ini sudah pergi. Apa tidak ada jalan lain untuk lewat?" tanya William yang masih fokus dengan penciumannya. Ele menatap Arthur dari belakang, dan melihat lelaki itu menggeleng.

"Ini adalah jalan satu-satunya. Jika ingin memutar bisa saja, hanya saja, mungkin akan menghabiskan waktu 3 kali lipat lebih lama. Tak hanya itu, di sekitar sini hanya bisa melewati jurang dan danau," terang Arthur. Ia pernah melewati wilayah sekitar bersama ayahnya saat mereka masih bersama dulu.

Keempat orang dewasa itu saling berpandangan. Dengan serempak menggeleng putus asa. Tidak mungkin mereka melewati jalur lain, tidak akan terburu. Mereka mungkin akan membuat keputusan yang salah akhirnya.

"Kalau memang begitu, ayo lewat sini saja. Mungkin nanti kita bisa bernegosiasi dengan mereka," ajak William. Mereka akhirnya mengangguk, setuju untuk melewati daerah yang terlihat dingin dan berbahaya.

Melangkah bersama, tiap entakkan kaki terasa berat. Baru memasuki gerbang, hawa dingin menyelinap masuk dalam rongga napas. Membuat anak-anak takut, dan memutuskan untuk bersembunyi dalam gendongan. Menutup mata dan memegang tubuh erat-erat.

Perlahan tapi pasti, mereka mulai memasuki kawasan hutan. Pepohonan yang berwarna merah memenuhi penglihatan. Jamur bahkan aliran sungai juga tidak berbeda warna. Seperti sihir, segala warna hijau telah sirna.

William berkali-kali melirik ke bagian-bagian tersembunyi. Perasaan tengah dikuntit dan diawasi menggerogotinya dengan terang-terangan. Ia menoleh pada Eleanor, satu-satunya yang memiliki indra perasa paling peka di antara lainnya. Ya walau masih ada di bawahnya.

"Will, aku mau pipis!" rengek Lucy tiba-tiba. Menarik perhatian orang lain, mereka akhirnya berhenti. Mendengar ucapan si kecil yang jarang bicara, mereka langsung memberi atensi.

"Ayo aku antar, aku mendengar suara air di dekat sini!" tawar Juliet. Lucy mengangguk, dan turun untuk menggandeng tangan sang penyihir. Mereka pun akhirnya meninggalkan lokasi.

Tidak butuh waktu lama untuk menyelesaikannya, ketika mereka berdua kembali, Will juga tengah menyelesaikan masalah alamnya di lain sisi. Lucy duduk di dekat Arthur, sedikit menempel pada kakinya yang gagah.

"Eleanor, Arthur, kemari!" suara teriakan William yang tiba-tiba mengagetkan semuanya. Tanpa pikir panjang mereka berlari, mendekat ke arah di mana William berseru. Mereka bahkan tidak memperhatikan belakang lagi, panik menguasai.

Ketika hampir sampai di mana Will berteriak, mereka kembali dikejutkan oleh kemunculan lelaki itu dari balik pohon. Terlihat sedang membenarkan posisi kain di pinggangnya, Will menoleh mendapati teman-temannya menyusulnya dengan panik.

Mereka saling berkedip, bingung dan tidak memahami apa yang terjadi.

"Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya William. Merasa tak habis pikir dengan tindakan mereka yang aneh.

"Kau, Kau baik? Kami mendengarmu berteriak barusan!" Arthur mendelik, bahkan menuding wajah William dengan tidak sopan. Membuahkan kenyitan tak paham dari William.

"Tunggu, ke mana Juliet dan anak-anak?" Eleanor yang menyadari pertama kali. Ia berbalik dan tidak mendapati ketiga orang itu di mana pun. Begitu pula William dan Arthur. Mereka mulai mencari keberadaan ketiganya dengan sigap.

"Juli! Lucy! Lucky!" teriak mereka bersahut-sahutan. Satu sama lain terpisah, tidak berada dalam satu garis yang dekat. Masing-masing mulai merasa khawatir dengan apa yang mungkin menimpa mereka semua.

"Juli,oh! Juliet!" Arthur berteriak, menemukan tubuh Juliet terkulai lemah di balik pohon. Sebagian kakinya terendam air, dan sisanya menyangkut di atas tanah yang masih basah.

Mendengar teriakan Arthur, berbondong-bondong mereka berlari untuk menyusul. Rasa panik memuncak, mendapati matenya tengah terbaring tak sadarkan diri. Segera saja Will merengkuh penyihirnya, menepuk pipinya dan memeriksa denyut kehidupannya.

"Juliet? Bangunlah, apa yang terjadi?" wajah panik William sangat nyata. Tapi tak sampai di sana, Arthur dan Eleanor juga menemukan sebelah alas kaki yang biasa Lucy kenakan.

"Will?" panggil Eleanor. Wajahnya lebih pucat dari biasanya, sorot ngeri terlukis di matanya. Mendengar panggilan, William mendongak. Menemukan alas kaki kotor yang seharusnya milik Lucy.

William meraihnya, menatapnya tak percaya. Ia sendiri yang membelikan alas ini beberapa waktu sebelumnya. Tapi sekarang, si pemilik menghilang, tanpa jejak.

Mereka terdiam, tak bisa berbuat apa-apa. Karena sesungguhnya, mereka juga telah menyadari satu hal. Yang sejak awal mereka memasuki hutan, yaitu, hilangnya kekuatan alami mereka.

William tak lagi bisa mencium aroma dari jarak yang jauh, tak lagi bisa melihat pandangan dengan tajam. Tak jauh berbeda dengan Eleanor. Elf cantik itu bahkan tak bisa mengubah bentuk senjatanya. Hanya belati kecil yang ia miliki dalam kantungnya.

Dan pastinya, alasan mengapa Juliet bisa terbaring tanpa suara seperti ini, karena kehilangan kekuatannya.

***

Butuh waktu semalaman untuk menyadarkan Juliet. Racun tumbuhan yang bersarang pada tubuhnya cukup sulit untuk dikeluarkan. Untungnya, mereka berhasil bertemu dengan beberapa dwarf yang kebetulan mau menolong. Jika tidak, mungkin saja mereka tak akan bertemu Juliet lagi di masa depan.

"Apa yang Kau rasakan?" pertanyaan itu adalah yang pertama Juliet dengar saat ia membuka mata. William di depannya menggenggam tangannya, mengecupi buku jarinya dengan sayang. Siapa pun pasti iri melihat kasih sayang di antara mereka.

"Aku kehilangan Lucy, apa yang harus aku lakukan?" gumam Juliet. Setitik air mata turun ke pipinya yang cantik. Menggenggam balik tangan William dengan gemetar.

"Jangan pikirkan itu dulu, Kau harus pulih lebih dulu," William masih mengecupi tangan Juliet. Mengusir gundah dan resah yang hinggap di hatinya.

"Tapi, siluman berkaki panjang itu menculik anak-anakku!"