webnovel

Fatih itu Rangga

Inayah tampak kaget dan tercengang.

“Masya Allah, Rangga!” bisik Inayah lirih.

Ingin rasanya, Inayah berlari menghampiri Rangga. Namun, Inayah masih menjaga sikap, karena banyak orang di acara tersebut. Rangga terus memandangi Inayah, begitu pun dengan Inayah masih dalam posisi berdiri dengan pandang lurus ke arah Rangga.

Inayah tidak menghiraukan teriknya matahari yang terasa begitu panas menyentuh kulit, tumbuh rasa bahagia dan haru dalam diri Inayah saat itu. Bagaikan sebuah mimpi di siang hari, sulit untuk dipercaya.

Perlahan Rangga mulai melangkah menghampiri Inayah. "Assalamu'alaikum,” ucap Rangga lirih, tersenyum manis memandang wajah Inayah.

“Wa'alaikum salam," jawab Inayah gugup.

“Kamu, Rangga, 'kan?" tanya Inayah, dengan mata berkaca-kaca.

Penampilan Rangga saat itu sudah benar-benar berubah, dagunya ditumbuhi janggut halus, dan cara berpakaiannya pun sudah tidak seperti dulu lagi, rapi dengan mengenakan jasko dan berkopiah putih.

“Iya, aku Rangga alias Fatih!” jawab Rangga balas tersenyum, kemudian mengajak Inayah kembali ke tenda.

Inayah mengikuti langkah Rangga menuju ke tenda. Setibanya di tenda, Rangga duduk di salah satu kursi yang tersedia di tenda tersebut. “Duduk dulu, Nay!” ucap Rangga lirih.

Kemudian, Inayah duduk di sebelah Rangga. “Maaf, Ga. Fatih itu nama kamu saat ini?” tanya Inayah menatap tajam wajah tampan pria berkopiah putih tersebut.

Rangga tersenyum, kemudian menghela napas dalam-dalam. “Iya, Nay, semenjak aku masuk pesantren di Purwakarta, Kyai Mustofa memberikan nama Fatih sebagai pelengkap dari nama asliku. Rangga Al-Fatih,” tandas Rangga menjawab pertanyaan dari gadis yang dulu teman hura-hura dan partinya itu, ketika mereka masih duduk di bangku SMA di kota Bandung.

“Selama ini kamu tidak pernah memberikan kabar, aku mencari informasi ke teman-teman kamu, satu pun tidak ada yang tahu!” ucap Inayah dengan suara bergetar menahan keharuan.

Bola mata Inayah perlahan meneteskan bulir bening yang mengalir membasahi pipi. Inayah menangis haru, karena apa yang ia harapkan akhirnya terwujud. Bertemu dengan Rangga di tempat yang tidak diduga sebelumnya.

“Teman-temanku tidak ada yang tahu kalau aku pergi ke Purwakarta, aku hanya pamit kepada kamu saja, Nay,” balas Rangga tersenyum menatap wajah Inayah.

“Iya, kamu pamit ke aku, tapi kamu tidak memberi tahu alamat tempat kamu tinggal," imbuh Inayah sedikit mendelik.

“Iya, Nay. Aku mohon maaf, sekarang aku dan kedua orang tuaku sudah menetap di Purwakarta!” kata Rangga meraih ponsel dalam sakunya dan memberikan nomor barunya kepada Inayah.

Inayah langsung mencatat nomor ponsel baru Rangga di dalam ponselnya. Setelah itu, Rangga langsung pamit kepada Inayah.

“Sekarang, aku pamit dulu ya, Nay. Insya Allah jika ada waktu aku sempatkan diri untuk berkunjung ke rumah kamu,” pungkas Rangga lirih.

Setelah mengucapkan salam, Rangga langsung berlalu dari hadapan Inayah, bersama rombongannya Rangga kembali ke Purwakarta. Kedatangan Rangga dan rekan-rekannya ke tempat tersebut, hanya menyerahkan bantuan berupa ratusan paket sembako, untuk disalurkan kepada masyarakat yang ada di desa tersebut.

Inayah hanya diam tertegun menatap mobil yang ditumpangi Rangga melaju perlahan meninggalkan tempat itu.

“Rangga Al-Fatih, namanya juga sudah berbau Islam, Insya Allah Rangga sudah bertaubat dengan sempurna!” desis Erni lirih.

“Ya, Allah. Teh Erni!” kata Inayah sedikit kaget dengan kedatangan Erni yang tiba-tiba itu.

“Tadi kamu ke mana saja, Teh?” tanya Inayah menoleh ke arah Erni yang ada di sampingnya.

“Tadi, Teteh diajak Kartika memastikan data calon penerima bantuan, pas mau kembali ke sini, Teteh lihat kamu sedang berbincang dengan Rangga."

“Oh, aku kira, Teteh pacaran dengan pak kades?" seloroh Inayah penuh gurauan.

Kemudian, mereka langsung melangkah menuju ke sebuah Masjid terdekat yang ada di desa itu, untuk segera melaksanakan Salat Zuhur.

Usai melaksanakan Salat Zuhur, sekitar pukul satu, acara bansos tersebut dimulai dengan membagikan ratusan paket sembako kepada masyarakat yang ada di desa tersebut. Acara berjalan dengan lancar tanpa kericuhan.

Pukul setengah empat sore, acara pun sudah selesai dilaksanakan, Inayah dan rekan-rekannya langsung melaksanakan berjamaah Salat Asar. Setelah itu, Inayah dan yang lainnya langsung pamit kepada kepala desa setempat dan kepada para panitia yang ada di tempat tersebut, dan langsung kembali ke Bandung.

**

Dalam perjalanan, Inayah terus kepikiran tentang Rangga. Rangga benar-benar sudah berubah dan berpenampilan sebagai pria Muslim sejati. Entah kenapa perasaan Inayah mulai gundah? Ia merasakan getaran-getaran cinta yang perlahan mulai merasuk jiwa dan pikirannya.

“Nay, kita mampir di rest area dulu, yah!" ajak Erni sedikit menoleh ke arah Inayah yang duduk di sampingnya.

“Ya, sudah, sekalian makan saja, Teh!" jawab Inayah meraih ponsel dari dalam tasnya.

Perlahan, Inayah menyentuh layar ponselnya dan mengetik sebuah pesan singkat melalui aplikasi hijau yang ada di ponselnya tersebut.

'Assalamu'alaikum,' tulis Inayah dalam sebuah pesan singkatnya itu. Kemudian, langsung ia kirim ke nomor kontak Rangga yang baru yang sudah tersimpan di dalam ponselnya.

Beberapa menit kemudian, Rangga membalas pesan tersebut.

'Wa'alaikum salam. Ada apa, Nay?” balas Rangga.

'Kamu sudah sampai apa belum?' 'Alhamdulillah aku sudah sampai. Maaf yah, Nay. Tadi aku tidak bisa lama berbincang dengan kamu!' tulis Rangga.

'Iya, Ga, tidak apa-apa, kok!' balas Inayah.

'Kamu hati-hati di jalan, jangan lupa salat yang lima waktu yah! Doakan juga agar aku tetap istiqomah!'

'Aku selalu mendoakan kamu, Ga.'

'Aku butuh kamu seperti jantung butuh detak. Assalamualaikum,' pungkas Rangga di akhir tulisan pesannya itu.

'Wa'alaikum salam,' balas Inayah.

Setelah itu, Inayah kembali memasukan ponsel ke dalam tasnya.

Erni mulai memutar stir ke arah kiri, untuk memasuki sebuah rest area. Setelah memasuki area parkir di rest area tersebut, Erni langsung mematikan mesin mobil dan langsung mengajak Inayah untuk segera keluar dari mobilnya itu. "Ayo, Nay!" ajak Erni lirih.

Inayah hanya mengangguk dan langsung keluar dari mobil tersebut, melangkah bersama Erni menuju ke salah satu restoran yang ada di rest area itu.

**

Selesai makan, mereka langsung melanjutkan perjalanan untuk segera sampai ke rumah. “Teh, tadi Rangga mengirimi aku pesan, seperti ini kalimatnya: Aku butuh kamu seperti jantung butuh detak!” kata Inayah menyampaikan pesan yang ditulis Rangga kepada Erni yang sedang pokus mengemudikan mobil.

"Jika kamu mencintai seseorang, bebaskanlah dia. Jika dia kembali maka ia milikmu. Jika tidak, tinggalkanlah!" sahut Erni tersenyum-senyum.

“Terus, kalau aku yang lebih duluan sayang bagaimana, Teh?” tanya Inayah meluruskan pandangannya ke wajah Erni.

“Ya, kamu tahan, Nay! Wanita itu harus pandai menahan rasa!” jawab Erni dengan entengnya.

“Baiklah, Kakak cantik,” ucap Inayah tertawa kecil.

Tidak terasa, mereka sudah sampai di jalan yang ada di depan kediaman Inayah. Perlahan, Erni menghentikan laju mobilnya tepat di depan pintu gerbang kediaman tersebut.

Inayah turun dan langsung mendorong pintu gerbang rumahnya itu. Erni langsung memasukan mobil ke dalam halaman rumah, setelah menutup pintu gerbang, Inayah melangkah menuju beranda kediamannya.

“Teh, maaf. Tolong bawakan tas dan laptopku!” teriak Inayah mengarah kepada Erni yang baru keluar dari garasi mobil yang ada di samping beranda rumah tersebut.

"Iya, Cantik, ini sudah Teteh bawa!"

Setelah berada di dalam, Inayah melihat Fatimah sedang melaksanakan Salat Magrib di ruang Musala yang ada di dalam rumahnya.

"Fatimah ke mana, Nay?"

"Ssssutt! Teh Fatimah sedang salat, jangan gaduh!" bisik Inayah menempelkan jari ke mulutnya.

"Uppp ... Teteh tidak tahu," kata Erni dengan suara lirihnya.

Inayah dan Erni langsung mandi, selesai mandi mereka langsung melaksanakan Salat Magrib berjamaah.

****