webnovel

Dendam Masa Lalu

Minggu pagi, Fatimah dan Pak Andri sudah berangkat ke pasar, Erni meminta mereka untuk belanja kebutuhan dapur untuk jamuan Airin dan Kholifah Lie Chun Hyang yang akan datang berkunjung esok hari ke kediaman tersebut. Seperti yang telah direncanakan jauh-jauh hari oleh Airin selaku klien dari tamu tersebut.

"Teh!" panggil Inayah dari lantai dua rumah tersebut.

Saat itu, Inayah sedang membuat formulir kerjasama yang akan ia berikan kepada Airin yang akan berkunjung langsung ke kediamannya.

"Iya," jawab Erni mengangkat wajah sembari berjalan menaiki tangga menuju ke tempat Inayah berada.

Setibanya di lantai atas, Erni langsung masuk ke salah satu ruangan yang merupakan ruang kerja Inayah yang ia jadikan sebagai ruang kantor selama bekerja di rumah.

"Duduk dulu, Teh!" ucap Inayah lirih.

Erni langsung duduk di sebuah sopa yang ada di ruangan tersebut. "Ada apa, Nay?" tanya Erni menatap wajah Inayah.

"Tidak ada apa-apa, mau minta ditemani saja di sini!" jawab Inayah tersenyum manis menatap wajah Erni.

"Teteh kira ada hal penting?" Erni bangkit dan meraih remot televisi yang ada di atas meja kerja Inayah.

"Suara televisinya dikecilkan dulu! Aku mau bicara, Teh!" pinta Inayah balas menatap wajah Erni.

Erni hanya tersenyum kemudian mengecilkan suara televisi tersebut. "Sok, tinggal bicara!" kata Erni tersenyum-senyum.

"Bulan depan Rafie mau datang ke sini, katanya bersama keluarganya," ucap Inayah dengan raut wajah semringah.

Inayah bangkit dan melangkah mendekati Erni, kemudian duduk di samping Erni. Ia merasa bahagia dan sangat menantikan kedatangan calon imamnya itu.

Erni menghela napas dalam-dalam sembari memeluk tubuh Inayah. "Itu tandanya Rafie mau serius, makanya dia mengajak kedua orang tuanya untuk datang ke sini," kata Erni merasa senang mendengar kabar tersebut.

Inayah pun tampak semringah dan akan lebih bahagia lagi jika apa yang Erni katakan itu benar-benar terjadi dan Inayah sangat berharap Rafie sudah mematangkan niat untuk menjadikan dirinya sebagai calon makmum dalam kehidupannya.

"Rumah ini akan terus kedatangan tamu spesial, besok tamu dari kota Guangzhou China yang akan mengawali kedatangan mereka, dan semoga selanjutnya masih banyak lagi tamu-tamu yang akan membawa keberkahan terutama berkah bisnis yang kita jalankan," ucap Inayah lirih.

"Amin ya rabbal'alamiin." Erni menadahkan kedua telapak tangannya seraya bersyukur atas berkah yang Allah berikan untuknya dan juga Inayah.

"Fatimah sudah pulang dari pasar belum, Teh?" tanya Inayah bangkit dan melepaskan diri dari pelukan Erni.

"Sepertinya sudah, soalnya berangkatnya sudah lama, Nay," jawab Erni.

Setelah itu, mereka langsung turun dan melangkah menuju ke arah ruang dapur. Tampak Fatimah dan Jubaedah sudah mulai sibuk membuat adonan kue tradisional, yang esok hari akan dijadikan jamuan untuk tamu spesial di rumah itu.

"Jangan lupa buatkan aku kue mangkuk juga ya, Teh!" ucap Inayah mengarah kepada Fatimah.

"Iya, Neng. Nanti Teteh mau bikin banyak sekalian untuk tamu juga," jawab Fatimah.

Erni dan Inayah pun ikut membantu dan mereka tampak bersemangat dalam membuat adonan kue, seperti yang diketahui dari Airin. Bahwa Kholifah Lie itu sangat suka dengan makanan dan kue-kue tradisional khas Indonesia.

"Memangnya, orang China suka makanan seperti ini, Teh?" bisik Jubaedah mengarah kepada Fatimah.

"Ya, suka. Dulu juga rekan bisnis Neng Inayah yang orang Amerika itu, suka banget makanan seperti ini," jawab Fatimah tersenyum menatap Jubaedah.

Di luar rumah, tepatnya di depan gerbang. Ifan yang merupakan petugas keamanan di rumah tersebut, kedatangan seorang pria berambut panjang dan berjanggut tebal. Pria tersebut tampak mencurigakan dan menanyakan kapan dan jam berapa Inayah keluar rumah, tapi ketika ditanya oleh Ifan dia tidak menjawab apa pun dan langsung berlalu begitu saja dari tempat tersebut.

"Sangat mencurigakan," ucap Ifan sembari terus mengamati langkah pria tersebut yang berjalan menuju mobil sedan hitam yang terparkir di sebrang jalan tepat di depan pintu gerbang rumah Inayah.

Hal itu langsung Ifan laporkan kepada Erni dan juga kepada Reno sebagai rekan kerjanya, Ifan meminta Reno untuk segera datang ke pos, "Ren, kamu ke sini dulu yah!" pinta Ifan di sela perbincangannya dengan Reno melalui panggilan telepon.

"Ok, Fan. Aku ke sana sekarang," jawab Reno.

Reno bergegas bangkit dan langsung melangkah keluar dari dalam kamarnya berjalan menuju ke arah pos untuk menemui Ifan.

Setibanya di pos, Reno langsung bertanya lebih detail lagi tentang kedatangan seorang pria yang mencurigakan itu, "Orangnya pernah kamu lihat sebelumnya atau pernah bertemu di tempat lain tidak?" tanya Reno dengan logat Jawa yang kental.

"Belum, aku belum pernah bertemu orang itu! Bahkan aku tidak mengenal orang itu," sanggah Ifan.

"Ya, sudah. Nanti aku coba bicara ke Pakde Andri supaya dia membicarakan hal ini ke Bu Inayah!" kata Reno sembari meraih dua bungkus kopi dari dalam saku celananya. "Ngopi saja dulu, jangan terlalu dipikirkan!" sambung Reno menyerahkan dua bungkus kopi hitam kepada rekannya itu.

Selang beberapa menit kemudian, Erni datang menghampiri Ifan dan Reno, Erni langsung menanyakan terkait laporan dari Ifan yang memberitahu dirinya tentang kedatangan orang yang mencurigakan itu.

"Nanti malam, kamu jangan pulang, Fan!" pinta Erni di sela perbincangannya dengan dua orang petugas keamanan rumah tersebut.

"Iya, Bu." Ifan tampak siap dan menyanggupi permintaan dari Erni yang ia anggap sebagai majikannya juga.

"Baiklah, nanti Pak Andri juga malam ini kalau sudah pulang suruh ikut jaga saja!" kata Erni lirih. "Soalnya besok mau ada tamu penting, kita antisipasi kemungkinan yang akan terjadi!" sambung Erni bangkit dan langsung pamit kepada kedua keamanan tersebut.

"Aneh ya, Ren? Orang sebaik Bu Inayah masih saja ada yang iri dan berusaha untuk melakukan teror?" tanya Ifan mengarah kepada Reno.

"Bu Inayah hanya korban dari kesalahan masa lalu almarhum kedua orang tuanya," bisik Reno menjawab pertanyaan dari rekan kerjanya itu.

"Memangnya orang tua Bu Inayah kenapa, Ren?" Ifan memandang wajah Reno tampak penasaran.

Reno menghela napas panjang, kemudian kembali berbisik lirih, "Menurut pakdeku, orang tua Bu Inayah itu mempunyai saingan bisnis yang hingga saat ini masih menaruh dendam terhadap orang tua Bu Inayah, dan dendam tersebut dilampiaskan kepada Bu Inayah sebagai ahli waris tunggal," terang Reno.

Ifan hanya mengangguk tanda memahami apa yang dibicarakan Reno.

"Nah, kita juga harus waspada dan jangan asal terima tamu dengan mudah!" sambung Reno sedikit mengingatkan rekannya itu.

"Kalau untuk masalah keamanan, aku sangat siap. Mati pun aku ikhlas kalau untuk menjaga Bu Inayah, selama ini dia banyak membantu keluargaku, Ren," tandas Ifan.

"Iya, tapi jangan gegabah juga. Kita harus tegas kepada tamu tapi ingat keramahan tetap harus di kedepankan!" imbuh Reno meraih segelas kopi hitam yang ada di hadapannya itu.

Tidak lama kemudian, datang seorang security dari pos keamanan kompleks perumahan tersebut, security itu mengabarkan tentang adanya dua orang yang beberapa waktu lalu mendatangi pos keamanan gerbang perumahan.

Orang tersebut bertanya-tanya tentang Inayah, mereka mengaku sebagai orang utusan dari rekan bisnis Inayah. Namun setelah ditelisik lebih dalam, mereka tidak bisa menjawab dan pergi begitu saja dari pos keamanan.

"Tadi juga ada yang ke sini, Pak," terang Ifan menatap wajah pria setengah baya yang lengkap dengan seragam kebesarannya sebagai keamanan kompleks tersebut.

"Iya, saya tahu. Tadi kan Bu Erni langsung menelepon saya, makanya saya langsung ke sini," jawab security itu. "Besok juga saya diperintah oleh Bu Erni untuk membantu mengamankan rumah ini," sambungnya lirih.

****