webnovel

L

Hidup itu persis seperti mendaki bukit, banyak rintangan dan juga medan yang terjal yang bisa saja merenggut nyawa sendiri kalau tidak hati-hati.

Gia kembali tak bisa tidur malam tadi setelah mendengar cerita dari Alan tentang sahabatnya dulu, membuatnya menyesal melewatkan hari-harinya dengan perasaan kesal itu. Dia tidak bisa menyalahkan Kia atas apa yang terjadi, sebab wanita itu terlalu dibutakan oleh kebahagiaan semu yang kekasihnya berikan. Dia juga mengerti alasan kenapa dia tak bisa lepas dari lelaki itu, sebab hidup Kia terlalu berantakan untuk mengerti seseorang yang benar-benar menyayanginya.

Orangtuanya bercerai, sementara Kia hidup dengan seorang ayah yang suka mabuk-mabukan. Setidaknya, Gia punya ayah yang lebih bertanggungjawab. Pertemuannya dengan lelaki itu, membawanya pada harapan-harapan semu yang dia labuhkan pada lelaki yang nyatanya hanyalah sesosok bajingan yang membawanya pada neraka baru. Sudah dijelaskan berulang kali bahwa lelaki itu tak baik untuknya, tapi tetap saja tak mau mendengarkan. Kia pikir dia bisa merubah seorang bajingan untuk menjadi lebih baik, merubah segala sikap buruk dan menunjukkan bagaimana caranya bersikap baik.

Padahal, kenyataan menyedihkan di dunia ini adalah batu tak akan bisa menjadi emas. Seseorang akan tetap bersikap buruk, kalau keinginannya untuk berubah tak datang dari hati terdalamnya. Baiklah, mungkin ada. Tapi persentasenya sangat sedikit, kemungkinan untuk menjadi manusia bodoh yang berharap batu menjadi emas akan semakin besar. Gia hanya tak habis pikir dengan itu semua, tapi semesta kini telah membawanya pergi bahkan sebelum Gia kembali menariknya untuk sadar terhadap apa yang dia lakukan.

Gia terkadang sedikit aneh dengan sinetron yang memperlihatkan sosok istri yang hanya bisa menangis, berdoa pada Tuhan agar suaminya bisa berubah, atau bahkan tetap menjadi istri yang baik setelah dilukai berulang kali. Di akhir film, suami jahat itu akan mendapatkan balasan. Entah itu bangkrut, meninggal, bahkan kehilangan beberapa organ tubuhnya. Tidak, sinetron seperti ini hanya mempengaruhi mental seseorang. Persis seperti dongeng Cinderella yang tak baik untuk kesehatan mental anak-anak.

Perempuan tidak dilahirkan untuk menangis dan menerima semua perlakuan buruk dari suaminya, sekalipun ingin berbakti. Kalau sakit, kalau sudah terluka berulang kali, kalau sudah tak sanggup, pilihan terbaik adalah pergi. Jangan membiarkan diri sendiri terjebak di dalam hubungan tidak sehat, yang hanya akan menyiksa diri sendiri. Perempuan juga bukan makhluk kelas dua yang hanya bisa bersembunyi di bawah ketiak laki-laki, sebab perempuan adalah sosok mandiri yang harusnya diberikan kesempatan yang sama seperti laki-laki.

Tapi sayang, dunia terlalu kejam untuk perempuan.

Pagi ini, semuanya sudah siap dan juga rapi. Pak Delio juga sudah ada, menunggu mereka menyiapkan diri sebelum keberangkatan mereka nanti. Keyza sudah berangkat sekolah dengan Ibu Ris yang mengantarnya, sementara Pak Han menemani mereka dengan rokok yang terlihat menyala. Sebenarnya Gia benci asap rokok, tapi merasa tak nyaman untuk menegur. Maka perempuan itu hanya bisa menjauh, sesekali terbatuk untuk beberapa saat.

"Nanti setelah sampai, Saya akan pulang ke rumah. Saya tidak mungkin menemani kalian, 'kan?" Ujar Pak Delio.

Vin, Galang, serta Bisma yang mendengar lalu mengangguk. Sementara Gia hanya diam, tas ransel berisi bahan makanan yang akan menjadi persediaan mereka nanti sudah dia sandang. Alan ikut mengangguk, lalu tersenyum. Melirik ke arah rekan kerjanya yang lain, Alan lalu menepuk tangannya untuk kembali melakukan yel-yel seperti yang mereka lakukan sebelum pergi kemarin.

"Semoga kita bisa segera menyelesaikan tugas kita dan pulang dengan selamat, ya!" Teriaknya.

"Hati-hati, ya? Jangan banyak tingkah juga," ujar Pak Han.

Vin yang dasarnya penakut, lantas bergidik ngeri. "Apa di sana ada hantu, Pak?" Bisiknya.

Pak Han tertawa, lalu menepuk bahu pemuda yang paling muda di antara mereka itu. "Hantu itu tidak ada," jawabnya, "Saya hanya takut kalian kenapa-napa, tersesat atau apalah itu. Jadi, kalian harus menjaga sikap agar Nak Alan tidak kepala dengan kalian."

Vin mengangguk, menatap ke arah Alan yang masih tersenyum. Tiba-tiba saja Bisma mengangkat tangannya, membuat semua orang mengarahkan atensinya pada sosok itu. "Kalau nanti kami ingin pulang bagaimana? Pak Delio akan menjemput kami, 'kan?"

"Saya akan seminggu sekali ke puncak untuk melihat kalian, mungkin nanti akan pergi bersama dengan Pak Han sekali-kali," jawabnya.

"Ya, Saya juga penasaran dengan tempat itu. Apa di sana benar-benar menyimpan banyak sekali harta karun?" Timpal Pak Han, yang diakhiri dengan kalimat tanya.

"Kita belum tahu apa di sana banyak harta karun atau hanya artefak peninggalan kerajaan Pearl Garden, Pak. Kita akan lihat saat sampai nanti," kali ini Galang yang angkat bicara, membuat Alan menganggukkan kepalanya.

Alan lantas menyandang tas ranselnya, lalu tersenyum pada Pak Han. "Kami berangkat dulu, ya, Pak? Doakan kami sampai dengan selamat,"

Pak Han mengangguk, lalu melambaikan tangannya saat mereka sudah melangkahkan kaki meninggalkan rumah itu. Desa ini benar-benar masih asri, rumah-rumah tersusun rapi bahkan tanpa pagar tinggi yang biasanya terlihat di perumahan di kota besar seperti Pearl Garden. Anak-anak kecil berlarian mengejar mereka, ibu-ibu tersenyum ramah sembari sibul mengerjakan pekerjaan rumah mereka. Sementara bapak-bapak terlihat menyapa mereka, berjalan beriringan menuju kebun, bahkan sawah dan beberapa ada yang baru saja pulang dari melaut.

Gia menatap sekitar, tersenyum lebar menikmati keindahan desa ini. Rasanya ingin tinggal di sini lebih lama, menghabiskan waktu dengan orang-orang ramah yang hidup rukun. Tapi perut harus di isi, tidak mungkin juga meninggalkan perkerjaannya. Alan yang berjalan di belakang perempuan itu tak henti-hentinya menatap ke arah Gia, sementara Bisma yang memperhatikan dengan mata menyipit tajam kembali pada mode menyebalkannya.

"Kak Alan jangan sering-sering memperhatikan wanita itu," bisiknya, membuat Alan tersentak kaget.

"Apa-apaan kau ini?" Kekesalan Alan kembali tersulut, sementara Bisma kembali berdecak.

"Aku terus memperhatikan Kakak sejak kemarin, dan tingkahmu sudah melewati batas. Kau bersikap bukan lagi sebagai seorang ketua tim dan anggotanya,"

Alan menghentikan langkahnya, membuat Bisma mengikuti dengan mata yang masih menatap tajam. "Aku tanya sekali lagi, Bisma. Kau kenapa?"

Bisma terlihat merotasikan bola matanya, lalu menyilangkan tangannya di depan dada. "Apa kau bodoh, Kak? Tingkahmu kentara sekali masih menyukai wanita itu,"

Cukup, Alan sudah tak tahan dengan tingkah kekanak-kanakan sepupu dari istrinya ini. Melangkah cepat meninggalkan Bisma, pria itu dibuat kaget tatkala Bisma kembali berbicara. "Jangan pancing aku, Kak Alan. Aku sekarang masih bersikap baik padamu," Alan lantas membalikkan badannya, "kalau kau masih saja seperti itu, aku tidak akan segan-segan untuk membunuhmu."

Alan mendekat, nyaris membuat ujung sepatu mereka bersentuhan. "Kau apa?" Tanyanya dengan intonasi suara yang menantang.

"Aku tidak akan pernah takut untuk menjadi penjahat jika seseorang itu menyakiti Kak Lia," jawabnya dengan tatapan yang terlihat tajam.

"Kenapa?" Bisma mengerutkan keningnya tatkala mendengar kalimat itu keluar dari ranum tipis milik Alan, "kenapa kau sampai seperti itu, Bisma?"

Dan Bisma hanya bisa diam, tak bisa menjawab pertanyaan yang Alan lontarkan untuknya. Pemuda itu lantas mencengkram kerah baju milik Alan, membuat pria itu terkekeh sarkas. "Kenapa tidak jawab pertanyaanku barusan, Bisma?"

Alan lalu membalas cengkraman pada kerah baju Bisma, tatapannya tajam dengan senyum miring yang terukir pada wajahnya. "Karena kau menyukai kakak sepupumu itu, 'kan? Kau menyukainya, 'kan?"

Bisma terbelalak, manik matanya bahkan terlihat bergetar dengan tangan yang mendadak berkeringat. Kepalanya hampir pecah, ribuan pertanyaan nyaris tercetak pada wajahnya yang terkejut. Cengkraman pada kerah baju Alan kini terlepas, pun Alan yang juga melepas cengkraman tangannya pada kerah baju Bisma dan sedikit mendorong tubuh pemuda itu. Nyaris membuat Bisma terjatuh, walaupun pemuda itu masih bisa menjaga keseimbangannya.

"Apa kau bodoh, Bisma? Tingkahmu kentara sekali menyukai istriku itu," Bisma bergetar, bibirnya masih terkatup dengan pasokan oksigen yang nyaris habis di paru-paru. "Kalimat itu nyatanya lebih cocok untukmu, Bisma."

To Be Continued