webnovel

S

Ada beberapa hal yang tak harus di bahas di dunia ini, contohnya saja sebuah ingatan penuh luka di masa lalu.

"Kenapa tidak masuk?"

Gia tak menjawab, tubuhnya seolah membeku dengan mata yang fokus menatap ke arah Alan yang tiba-tiba sudah duduk di bangku sebelahnya. Hujan masih awet, bahkan tak ada tanda-tanda akan berhenti bahkan setelah empat jam lamanya. Alan yang tadi fokus memperhatikan Gia, kini menatap lurus ke arah hujan dan juga samudera luas di hadapan mereka.

"Aku benci hujan," ujar pria itu tiba-tiba, "ketika hujan tiba, aku akan mengingat kembali kenangan waktu itu."

Gia langsung memalingkan wajahnya, kedua tangan perempuan itu saling bertautan di atas paha. Diremat kuat-kuat, pun bibir bawahnya yang digigit. Alan yang tadi menatap lurus, kini menolehkan kepalanya dan tersenyum miris. Ah, ini bukanlah tindakan baik untuk mengungkit kenangan lama. Sekalipun, ya, sejak pertemuan pertama mereka sudah meninggalkan kesan buruk dan pertanyaan yang tak mampu dijawab sampai sekarang. Alan nyaris melanjutkan kembali perkataannya, tapi Gia lebih dulu berbicara.

"Jangan bahas itu, kumohon!" Ujarnya, dengan mata yang seolah tak berani menatap ke arah Alan.

Pria itu mengangguk, memberikan jawaban sekalipun dia tidak ingin. Tapi, melihat reaksi Gia yang terlihat tak nyaman, tentu saja membuat Alan melakukan hal itu secara refleks. Sebuah tawa sumbang kemudian hadir, membuat Gia menghela napas dan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Tidak apa-apa, untuk saat ini kau bisa melewatinya. Hanya sebentar, Gia. Perempuan itu terus meyakinkan dirinya sendiri, sebab lama-lama berada di satu ruang karbondioksida yang sama dengan Alan, bisa membuatnya kehilangan napas mendadak.

"Ibumu apa kabar?" Ya, pertanyaan seperti ini lebih cocok.

"Aku harap dia baik-baik saja," jawab perempuan itu dengan mata tertutup.

Alan lantas menolehkan kepalanya, kerutan pada kening pria itu terlihat. "Maksudmu?"

"Ibuku meninggal dunia, tepat setahun setelah ayahku meninggal dunia. Ya, begitulah. Tuhan menyatukan mereka kembali setelah berpisah di dunia,"

Alan terlihat memasang mimik wajah terkejut dan juga sedih, bahkan pria itu membeku, tidak tahu harus bereaksi seperti apa. "I'm sorry to hear that," ujarnya kemudian.

Gia terkekeh, lalu membuka matanya dan menatap ke arah Alan yang masih memperlihatkan mimik wajah yang sama. "Tidak apa-apa," balasnya, "lagipula aku tidak menjadikan kematian sebagai alasanku untuk terpuruk, sebab apa yang hidup pasti akan mati."

"Jadi sekarang kau tinggal dengan kakakmu?"

Gia menggeleng, lalu menatap ke depan lagi. "Tidak, aku tinggal sendirian. Kakakku tinggal bersama suaminya,"

Setelah itu, tak ada lagi konversasi yang terjadi di antara keduanya. Suara hujan menginvasi, membuat suasana mendadak jadi canggung. Hujan perlahan mereda, sementara matahari masih enggan untuk bersinar. Jarum jam kini menunjuk pada angka satu, yang menandakan bahwa sudah lewat setengah hari hujan mengguyur desa. Jalanan nampak basah, sementara di lapangan terlihat genangan air lumpur.

"Bagaimana kabar Kia?" Tanya Gia setelah sekian lama terdiam.

Nama itu, pada akhirnya akan tetap dia ingat. Seseorang yang menjadi sahabat baiknya di masa SMA, tapi hubungan mereka rusak karena kesalahpahaman. Kalau diingat lagi, rasanya aneh dan Gia merasa muak sekaligus rindu dengan perempuan itu. Alan terdiam, berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab.

"Berjanjilah untuk tetap terlihat biasa-biasa saja setelah aku mengatakan yang sebenarnya tentang wanita itu,"

Gia yang tadi menatap lurus, kini menolehkan kepalanya dengan debar yang terasa tak biasa. Alih-alih jawaban yang Alan tunggu, Gia malah menjawab dengan sebuah pertanyaan baru yang tentu saja bisa ditebak oleh pria itu. Ya, orang-orang akan bereaksi sama seperti yang Gia lakukan. Tidak aneh, maka Alan balas dengan sebuah senyuman manis.

"Memangnya kenapa? Dia kenapa?"

"Berjanjilah terlebih dahulu," ujar pria itu lagi.

Perempuan itu terlihat yak yakin, bahkan sesekali lidahnya terjulur untuk membasahi bibir yang terasa kering. "B-baik," pada akhirnya, rasa penasaran mengalahkan ketakutannya.

"Dia meninggal,"

Seperti di sambar petir di siang bolong, Gia tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Hujan sudah reda, tapi entah kenapa suara berisik itu membuat pendengarannya nyaris rusak. Seperti berdengung. Sementara kepalanya jadi sakit, berdenyut-denyut. Perempuan itu terperangah, maniknya bergetar dan Alan tak salah menebak. Sebab bagaimanapun, dia pernah bersama dengan perempuan itu dan mengenalnya cukup baik.

"Dia... dia meninggal?" Ulang perempuan itu sebab tak yakin, sementara Alan memberikan anggukan walaupun terasa sulit. "Kenapa?"

Melihat mata itu sudah memerah, Alan lantas menghela napasnya cukup dalam. "Aku tidak akan mengatakannya padamu karena bukan reaksi seperti ini yang aku inginkan,"

"Alan," setelah sekian lama mereka bertemu kembali, pria itu akhirnya mendengar namanya keluar dari ceruk bibir milik Gia. "Kumohon!"

"Aku tidak yakin kau akan baik-baik saja setelah ini, Gia. Alasannya cukup menyedihkan,"

"Tidak... tidak apa-apa,"

"Kau apa-apa," Alan mendengus, lalu menggeser kursinya untuk mendekat pada Gia yang kini bergetar menahan air matanya. "Aku tidak akan melanjutkannya karena tidak mau melihat air matamu jatuh lagi,"

"Alan, kumohon!"

Dengan manik yang senada dengan karamel itu, Alan gagal lagi menahan dirinya untuk tidak luluh. Satu helaan napas kemudian dia lakukan, sebelum akhirnya kembali melanjutkan.

"Dia mengalami kekerasan yang dilakukan oleh suaminya sendiri,"

"Pacarnya dulu?"

Alan mengangguk, tangannya yang tadi menggengam tangan Gia diremat kuat. "Lelaki yang sama yang membuat hubunganmu dengan Kia rusak,"

Lelaki yang sama yang membuat hubunganmu dengan Kia rusak, mendengar itu keluar dari ceruk bibir tipis milik Alan membuat perempuan itu semakin tak bisa menahan desakan air mata yang sudah tertumpuk di kelopak matanya. Dulu, dia dan Kia adalah dua orang yang bersahabat baik. Tapi hubungan mereka rusak, karena pacar bajingan dari Kia malah melecehkan Gia. Perempuan itu malah membela sang pacar bajingan, membiarkan Gia sendirian dan kembali menjadi sosok yang antisosial.

"Sejak mereka menikah, Kia benar-benar berubah drastis. Anak pertamanya cacat, anak keduanya meninggal bahkan sebelum dilahirkan. Kia menolak dibawa ke rumah aman, katanya suaminya seperti itu karena dia sayang pada wanita itu. Rafael yang mencoba membujuk saja berakhir dipukuli oleh lelaki itu," jelas Alan kemudian.

Gia mengigit bibir bawahnya berusaha meredam isak tangis yang bisa saja membuat orang-orang di rumah ini heboh, maka Alan yang menyadari langsung menarik tubuh itu untuk dia peluk. Ditenangkan dengan diberi tepukan pada punggung, lalu kalimat-kalimat penyemangat untuknya.

"Kenapa dia tidak berubah sama sekali, Alan?" Tanyanya dengan suara bergetar, "aku sudah katakan padanya untuk menjauh, tapi dia tetap saja tidak mau mendengarkan."

"Cinta itu membutakan, Gia. Apa yang orang lain lihat buruk, bisa saja baik untuk mereka yang tengah dimabuk cinta. Bahkan ada beberapa dari mereka yang menganggap hal itu sebagai suatu hal yang biasa saja,"

"Tapi lihat sekarang, dia meninggal. Dia pergi tanpa membiarkan aku untuk meminta maaf dan memperbaiki hubungan kami yang rusak,"

Alan semakin mengeratkan pelukannya, bahkan bibirnya refleks memberi kecupan pada pucuk kepala perempuan itu. "Dia pasti sudah memaafkanmu, bahkan sebelum kau meminta maaf padanya. Dia menyayangimu, Gia. Hanya saja, dia tidak menyadarinya karena rasa cintanya yang terlampaui besar untuk lelaki itu."

Setelah kalimat itu masuk ke dalam gendang telinganya, Gia menutup bibirnya rapat-rapat sebab menahan isak tangis yang semakin mendesak untuk dibebaskan. Hatinya yang kembali sakit karena kenangan lama yang hadir, kini bertambah dengan kenyataan pahit yang datang di hari berhujan di akhir pekan itu. Sepertinya, hari ini akan masuk ke dalam daftar hari yang Gia benci.

To Be Continued