webnovel

K

Saat lelah, tidak apa-apa berhenti sejenak untuk mengambil napas. Asal tidak lupa untuk kembali melangkah.

"Mau dibantu tidak, Kak?" Galang yang melihat Gia membawa tas sebesar itu lantas bertanya, sementara Vin masih sibuk menjadi kameramen dadakan.

Vin memang suka sekali mendokumentasikan, memotret segala hal yang menurutnya menarik. Bahkan, Galang ingat sekali Vin pernah memotret sapi yang sedang buang air besar. Lucu sekaligus menjijikkan, ingin menertawakan tapi lebih dulu menahan muntah. Dan sekarang, penyakit narsisme Vin kembali kambuh. Pemuda itu terlihat memotret banyak hal, mulai dari ibu-ibu yang sedang menjemur pakaian, atau bahkan menjemur padi di depan rumah. Galang yang melihat hanya bisa menggelengkan kepalanya.

Gia yang juga sibuk menikmati pemandangan lantas menoleh, keningnya berkerut seolah mempertanyakan kembali kalimat yang barusan Galang ucapkan. "Aku tadi tanya, Kakak butuh bantuan tidak?"

Gia lantas ber-oh panjang, sebelum akhirnya menggeleng. "Tidak, aku baik-baik saja, kok. Tidak usah repot,"

"Benarkah?" Tanya Galang tak yakin, "tapi kau terlihat kerepotan begitu? Berat sekali, ya?"

Gia mengangguk pelan, tapi tetap saja senyum itu terukir indah pada wajahnya. "Berat, sih. Tapi, tidak apa-apa. Kita punya tanggungjawab masing-masing yang harus dilakukan, tidak boleh ingkar. Iya, 'kan?"

Menghela napas, Galang lantas mengangguk dan kembali menatap ke jalanan. Tapi, Vin tiba-tiba terlihat terkejut dan mengarahkan kameranya ke arah belakang. Galang yang penasaran ikut menolehkan kepalanya, lantas terkejut dengan dua orang yang kembali bersitegang. Nyaris berteriak, Galang lebih dulu berlari tapi kedua orang itu sudah tak lagi melakukan adegan saling mencengkram kerah baju seperti yang dia lihat tadi.

Melihat Galang yang tiba-tiba saja berlari begitu membuat Gia ikut mengarahkan atensinya, lantas kerutan pada keningnya terlihat saat melihat ketiga pemuda itu masih tertinggal jauh di belakang. Vin kembali melangkahkan kakinya, berjalan bersisian dengan Gia yang memasang mimik wajah bingung. Sementara Pak Delio masih berjalan, begitu cepat dan mereka bahkan tertinggal cukup jauh dari mereka.

"Mereka kenapa?" Tanya Gia pada akhirnya.

Vin dengan santainya menjawab, membuat Gia menoleh dengan kedua bola mata yang terbelalak. "Tadi aku lihat Kak Alan, dan Kak Bisma saling cengkram kerah baju. Kalau menurut Kakak, mereka kenapa?"

"Ya, ampun, Vin! Kau melihat mereka seperti itu dan hanya diam, bahkan reaksimu terlihat baik-baik saja begini?" Gia terlihat tak percaya, sementara Vin hanya menyengir lebar. "Seriously, Vin?"

"Apa aku harus bereaksi berlebihan untuk hal-hal seperti itu?" Gia dibuat terdiam dengan perkataan Vin barusan.

Pemuda pemilik rambut kemerahan dengan manik berwarna biru itu lantas kembali berbicara, yang lagi-lagi membuat Gia bungkam. "Mereka sudah cukup dewasa untuk tidak melakukan hal-hal buruk yang membahayakan diri mereka, bahkan orang lain. Sudah mengerti bagaimana caranya menyelesaikan permasalahan tanpa adu otot seperti tadi,"

"Tapi, tetap saja kita tidak bisa membiarkan mereka seperti itu. Orang ketiga tetap dibutuhkan," balas Gia, membuat Vin terkekeh pelan saat mendengarnya.

"Orang ketiga biasanya hanya menjadi pihak yang memperkeruh situasi, kau tahu? Semacam tindakan tak berguna yang pada akhirnya membuat masalah itu jadi lebih besar,"

Gia menggeleng, sejenak mengigit bibir bawahnya sebab merasa tak yakin. "Tidak, orang ketiga biasanya menjadi pihak yang netral. Jadi, mereka bisa menjadi kunci dari selesainya masalah itu,"

"Kau yakin?" Gia tak menjawab, sementara Vin kembali mengarahkan moncong kamernya pada sosok itu sebentar sebelum akhirnya melanjutkan. "Mereka yang bertengkar tak akan bisa memiliki hubungan seperti dulu lagi, pasti akan ada rasa canggung yang membuat mereka menjauh. Manusia adalah sumber dari gengsi,"

Vin kembali melangkahkan kakinya, berjalan cepat sembari mengarahkan moncong kameranya pada setiap tempat yang dia lihat di sana. Sementara Gia kini stagnan, bungkam dengan apa yang dia dengar barusan. Manusia adalah sumber dari gengsi, terdengar seperti sebuah kenyataan yang tak bisa dia terima. Perempuan itu dibuat terkejut saat seseorang menarik tangannya, menggengam begitu erat bahkan menyelipkannya di antara jari-jari besar itu. Matanya terbelalak, menambah kebingungan yang sepanjang perjalan ini dia rasakan.

"Kau kenapa, sih?" Tanyanya pada Alan yang menarik tangannya tadi.

Alan tak menjawab, hanya diam dengan langkah lebar yang membuat Gia berjalan terseok-seok mengikutinya sebab takut terjatuh. "Alan, lepas!" Tapi pria itu tetap tak mau mendengarkan, "kubilang lepas!"

Alan menoleh dengan tatapan tajamnya, pun rahang yang terlihat mengeras dan membuat Gia lagi-lagi membisu. "Diam, Gia! Aku sedang tidak ingin mendengar protes dari mulutmu,"

Kenapa dia dikelilingi oleh orang-orang dengan beragam sifat menyebalkan begini, ya?

Di pemberhentian pertama, tepatnya di posko keamanan, mereka berhenti untuk istirahat sekaligus mencatat data-data mereka yang diperlukan sebelum pendakian. Walaupun mereka bukan ingin mendaki seperti anak muda yang suka sekali mendaki lainnya, tapi mereka harus tetap mencatat nama mereka agar memudahkan saat ada kejadian yang tidak diinginkan nantinya. Kata Pak Delio, jalur pendakian mereka nanti akan berbeda dengan yang biasanya digunakan oleh pendaki lainnya.

Keadaan antara Alan, serta Bisma masih seperti tadi. Tak ada konversasi yang mereka lakukan, bahkan Alan masih terlihat marah dari mimik wajahnya, pun rahangnya yang mengeras. Bisma duduk jauh dari Alan yang duduk bersebelahan dengan Gia yang tangannya masih digenggam kuat, membuat perempuan itu merasa tak nyaman. Bukan hanya merasa tak enak dilihat oleh orang-orang, tapi juga terasa sakit karena genggamannya terlalu kuat.

"Setelah ini kita akan mendaki sekitar dua jam, atau bahkan bisa saja lebih mengingat kondisi medan yang cukup terjal. Kalian juga membawa banyak sekali perlengkapan yang terlihat sangat berat itu," ujar Pak Delion setelah melempar puntung rokoknya.

"Apa tidak bisa lebih cepat lagi, Pak?" Tanya Galang yang tadi melirik sebentar pada awan abu-abu yang kembali menggumpal di atas mereka.

"Tidak bisa, Nak Galang. Jalanannya buruk sekali, dipenuhi oleh jurang. Kita tidak bisa memaksa untuk lebih cepat sampai ke sana,"

"Tapi sepertinya akan turun hujan lagi," kali ini Vin yang menimpali, dibalas anggukan oleh Galang.

"Kalau di kaki bukit seperti ini memang biasa melihat awan abu-abu seperti itu," ujar sang penjaga posko bernama Pak Anggi itu, "yakin saja, paling tidak nanti cuma turun gerimis begitu." Lanjutnya.

Gia kemudian menghela napas, lantas melirik pada tangannya yang masih digenggam kuat oleh Alan. "Kau tahu, Lan?" Ujarnya, mencoba mendapatkan atensi dari pria itu. "Tanganmu besar dan berurat sekali,"

Alan yang mendengar kalimat itu langsung mengalihkan atensinya, tatapannya berubah jauh lebih tenang dan tidak semengerikan tadi. "Benar," balasnya, lalu tersenyum. "Tanganmu yang kecil tidak terlihat lagi,"

"Nah, kalau tahu begitu. Bisa lepas tanganku sebentar? Tanganku kebas,"

Pria itu kembali menatap tajam, mulutnya terkatup rapat dengan tangan yang menggengam lebih erat tangan milik Gia. Bahkan, perempuan itu sempat memekik pelan dan membuat orang-orang di sana kembali mengalihkan atensinya pada mereka berdua. Tak terkecuali Bisma yang lagi-lagi mengeratkan genggaman tangannya pada botol air yang dia genggam, pun rahangnya yang terlihat mengeras.

Sepertinya perjalan mereka kali ini akan terasa lebih panjang dari biasanya.

To Be Continued