webnovel

K

Mau itu luka fisik ataupun luka batin, semuanya bisa diobati.

Setelah beranjak dari posko, sekarang keenam orang itu kembali melangkahkan kaki menuju puncak bukit. Sekitar hampir empat puluh menit kemudian, suara gemuruh petir terdengar di atas sana. Galang mendongak, lantas menatap Pak Delio yang tetap melangkahkan kakinya tanpa memperdulikan suara tadi. Awan kelabu sudah bergelayutan, seolah siap untuk menumpahkan jutaan liter air menuju bumi.

Alan yang tadi masih setia memasang wajah masam, rahang mengeras, pun tatapan tajam sudah sedikit melunak. Setidaknya, tangan yang menggengam tangan milik Gia sudah terlepas. Atau kalau tetap seperti tadi, maka Gia yakin bahwa pergerakannya akan terbatas. Mau mengupil saja sulit, apalagi melakukan hal lain. Ah, sial. Mengupil itu enak, titik! Walaupun terkesan jorok, tapi mengupil itu enak. Enaknya tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata.

Okey, stop membicarakan soal mengupil.

Sementara Bisma yang berjalan di barisan paling belakang terus memperhatikan pergerakan Alan, pun Gia. Walaupun mereka terlihat tak lagi berjalan bersisian, tapi Bisma bisa merasakan bahwa sang sepupu ipar terus memperhatikan dengan menolehkan kepalanya sesekali. Sial, dia lantas teringat lagi akan kalimat yang tadi Alan ucapkan. Apa begitu mencolok hingga pria itu bisa tahu bahwa dia menyukai Lia? Kakak sepupunya sendiri?

Rahasia itu sudah lama dia simpan, tak berani mengatakan sebab aturan yang mengikat dirinya. Bukan, keluarganya tentu saja tidak akan suka dengan fakta itu. Keluarga Zuck adalah keluarga pengekang yang melahirkan anak-anak dengan aturan yang mengikat, Bisma saja sejak kecil sudah dituntun untuk menjadi seperti apa. Menikahi salah satu dari keturunan Zuck tentu saja dosa bagi mereka, sama saja aib yang bisa mempermalukan ikatan sakral di antara mereka.

Mencintai itu bukanlah kesalahan, tak ada satupun orang yang bisa menentukan ingin jatuh cinta pada siapa. Kenyataan itulah yang Bisma rasakan, membuatnya tenggelam dalam obsesi untuk terus melindungi Lia. Wanita itu adalah segalanya, seorang wanita yang teramat dia sayangi dan ingin dia jaga. Lia adalah sosok wanita yang akan selalu ada untuknya, mengelus pucuk kepalanya sebagai bentuk dari rasa sayangnya yang tak seberapa--sebab sisanya diberikan kepada orangtua dan tentu saja suaminya; Alan.

Mengetahui bahwa Gia adalah mantan kekasih dari Alan, tentu saja membuat pemuda itu merasa tak nyaman. Tidak suka, kalau bisa ingin mengusir wanita itu jauh-jauh dari kota ini. Tapi sialnya, Gia punya Alan sebagai tameng. Wanita itu juga pandai sekali bersilat lidah, membuat siapapun akan langsung terdiam dengan apa yang ingin mereka ucapkan. Sekarang, isi kepala Bisma dipenuhi oleh tata cara menyingkirkan Anggia Shitta.

"Apa Bapak benar-benar yakin tidak akan turun hujan?" Tanya Galang memecah keheningan di tengah hutan dengan pohon-pohon tinggi itu.

Yang di tanya tak lantas menghentikan langkah kakinya untuk menjawab, lelaki itu malahan mempercepat langkah kakinya. "Kalau kalian benar-benar takut dengan hujan, maka lebih baik jalannya dipercepat. Supaya cepat sampai ke tempat tujuan,"

Galang yang sejak tadi merasa lelah menghela napas, kemudian mempercepat langkah kakinya mengikuti Pak Delio yang berjalan di depannya itu. Sementara Vin yang tadi paling heboh seolah belum pernah masuk hutan itu tak lagi mengatakan sepatah katapun, kamera yang selalu dia arahkan pada banyak hal mulai dari ulat yang seukuran ibu jari kaki lelaki dewasa, atau suara desau dedaunan yang saling bersentuhan itu sudah tersimpan rapi di dalam tas. Di simpan sekaligus menghemat baterai kamera, serta merta menghemat tenaganya yang memang tak pernah melakukan perjalanan sejauh ini.

Hutannya benar-benar seperti hutan belantara yang ada di TV, bukan hutan tempat konservasi hewan langkah yang terjaga dengan rumput yang dipangkas. Pohonnya juga besar, dan juga tinggi. Kalau dilihat dari kondisinya, pohon itu sudah berusia sangat lama. Mungkin sudah ratusan tahun, atau bahkan lebih. Gia belum pernah melihat pohon sebesar itu, membayangkannya saja tidak pernah. Tapi sekarang, disepanjang kaki melangkah, dia akan menemukan satu atau dua pohon berukuran besar itu.

Gia yang terlalu fokus mendongakkan kepalanya guna melihat pohon tinggi di depannya terjatuh akibat tersandung akar pohon yang berukuran besar, perempuan itu memekik sembari meringis. Alan yang berjalan lebih dulu darinya langsung menghentikan langkah kaki begitu saja. Berbalik, lantas terkejut dan menghampiri Gia yang kini terduduk di bantu oleh Vin.

"Kau baik-baik saja?" Sebuah pertanyaan retorik yang diucapkan langsung dari kepala, menuju lidah.

Dari tatapan dan mimik wajahnya, Gia bisa melihat kekhawatiran yang berlebihan di sana. Bukan, perempuan itu bukannya tidak merasa bersyukur sudah dikhawatirkan oleh orang lain, bahkan ditanyai tentang kondisi tubuhnya. Tapi, dia hanya tak pernah merasa nyaman dengan mimik wajah seperti itu. Rasanya Gia seperti orang lemah, yang tak bisa berdiri sendiri. Manja.

Kepalanya lantas menggeleng, tapi Vin malah menimpali. "Orang terjatuh tentu saja tidak apa-apa, Kak. Pertanyaan macam apa itu?"

Terdengar decakan setelahnya, membuat Vin mencebik sebal. Bisma yang sejak tadi berdiri di belakang Vin juga ikutan berdecak, sementara Galang kini berdiri kaku di samping Vin dengan Pak Delio yang kini duduk sembari merokok santai di atas salah satu akar pohon.

"Oh, kau terluka. Darahnya keluar dari betis," ujar Vin saat melihat cairan merah kental di balik legging yang perempuan itu pakai.

Mendengar kalimat itu, Alan langsung panik dan menyingkap celana yang dipakai oleh Gia dengan tergesa-gesa bahkan membuat perempuan itu meringis karena jarinya mengenai area yang mulai terasa sakit. Bisma yang masih berdiri lantas berdecak, menyilangkan kedua tangannya di depan dada, lantas berbicara yang sontak membuat Galang menoleh dengan kening berkerut.

"Manja sekali," sindirnya, "berdirilah, kita tidak boleh membuang-buang waktu karena takut turun hujan. Sudah tahu tidak bisa ke tempat seperti ini, kenapa masih dilakukan? Benar-benar menyebalkan,"

Alan nyaris berdiri untuk kembali meluapkan amarahnya, kalau saja Gia tidak mencengkram jaket bomber yang dia pakai. Tatapan mereka bertemu untuk beberapa saat, lalu senyum yang terukir pada wajah manis milik Gia membuat Alan melunak. Tatapannya yang tajam, kini berubah jadi lebih lembut. Vin yang tadi kaget, lantas menoleh dan berdecak pelan.

"Lukanya besar, lho. Kenapa dibilang manja? Apa hubungannya coba?"

"Siapa juga yang mengatakan luka itu kecil? Yang aku protes itu tindakan dia yang manja sekali,"

Vin nyaris kembali melontarkan sebuah kalimat untuk membalas ucapan dari Bisma barusan, tapi Galang lebih dulu memotong dengan kening yang masih berkerut sebab merasa kebingungan. "Aku tidak tahu apa masalahmu dengan Gia, tapi tidakah kau merasa bahwa tindakanmu keterlaluan?"

Bisma terdiam, rahangnya lagi-lagi terlihat mengeras apalagi saat Galang kembali melanjutkan. "Kalau tidak bisa bersimpati, atau bahkan berempati. Lebih baik tutup mulutmu daripada digunakan untuk sesuatu yang buruk,"

"Aku mengatakan yang sebenarnya, ya!"

"Tidak," Galang menekan suaranya, "kau terlihat seperti sedang meluapkan kekesalanmu, alih-alih berkata jujur tentang fakta yang ada sekarang."

Gia yang melihat ketegangan itu kembali mengelilingi dirinya menghela napas, lantas berbicara . "Sudah, cukup. Kenapa kalian malah bertengkar gara-gara luka ini?" Tanyanya sarkas, "lebih baik lukanya diobati dulu, suapaya tidak infeksi ketimbang berdebat tidak jelas begitu."

Galang dan Bisma sudah saling menjauhi, sementara Gia kini menghela napas lega sembari menahan sakit pada betisanya yang terlihat membiru dan juga mengalirkan darah. Alan lantas membuka tas ranselnya, menggeledah benda itu sebelum akhirnya mengeluarkan kotak berwarna putih dengan aksen menyerupai sabit berwarna merah. Vin yang dasarnya tidak suka melihat darah langsung meringis, begitupun Gia yang lagi-lagi menahan rasa sakitnya.

Alan yang tengah mengobati luka perempuan itu tersenyum, tangannya menjauh sejenak dengan mata yang sudah fokus menatap pada manik senada dengan karamel milik Gia.

"Kalau sakit, lebih baik kau lepaskan ketimbang menahan sakit sendirian. Aku di sini siap menjadi pelampiasan rasa sakitmu itu, Gia."

Gia tak tahu apa itu sebuah perkataan tulus atau hanya sekedar bualan dari mulut bajingan, tapi fakta bahwa dia adalah seorang manusia biasa yang gampang sekali luluh tak bisa dihindari. Pipinya mendadak bersemu, membuat Alan terkekeh pelan sebelum akhirnya kembali melanjutkan kegiatannya mengobati lukanya.

To Be Continued