webnovel

4. Kontrasepsi Darurat

Damar mengelus punggung tangan Alma yang ada dalam genggamannya.

Sebuah pengumuman keberangkatan menggaung di langit-langit bandara, membuat keduanya mendongak bersamaan. "Itu penerbangmu?"

Alma mengangguk sekaligus berpamitan tapi saat ia akan melepas genggaman mereka Damar meraih tubuhnya dan mengecup lembut ubun-ubun kepalanya.

Seketika Damar melepaskan pelukan itu, ia justru salah tingkah sendiri. "Maaf aku lancang." Wajahnya pun tampak memerah menahan malu.

Alma justru tersenyum senang, hatinya begitu berbunga-bunga. Lantas ia berbalik dan masuk ke ruang pengecekan.

***

30 jam mengudara, akhirnya Alma sampai di bandara Surabaya. Gadis itu menghela napas lega meski lumayan merasa jetlag akibat perbedaan waktu antara Jerman dan Indonesia.

Alma menyeret kopernya dengan sisa-sisa tenaga akibat kelelahan. Sampai di pintu keluar ia menghela napas lega sekali lagi karena selama berjalan menuju pintu keluar kepalanya sudah berdenyut-denyut sakit.

Gadis berparas nyentrik itu menengok kanan kiri, mencari jemputan yang tela ayahnya sediakan tetapi tidak ada seorang pun yang membawa papan nama berisi namanya.

Sejenak Alma memijat kepalanya untuk mengurangi sakit di sana, tapi tiba-tiba sesuatu menyita perhatiannya dan sekaligus memecah emosinya.

"Heh, kurang ajar!" Alma sontak berseru pada sosok lelaki yang menyita emosinya.

Beberapa orang di sekitar Alma menoleh kepadanya, menatap dengan tatapan risih atas sikap berlebihan Alma. Namun gadis itu tidak memerdulikan orang-orang di sekitar. Tatapannya tajam menghujam ke lelaki berjas rapih dengan setelan celana denim, khas eksekutif muda yang stylish.

Lelaki itu membawa papan nama bertuliskan 'calon suami Alma Pramusito' tentu saja hal itu membuatnya seketika berubah garang. Dengan langkah cepat ia menghampirinya dan merebut papan nama itu secara paksa ketika sampai di depan lelaki itu.

Alma lempar papan nama itu ke sembarang arah dan hampir saja mengenai seorang supir taksi. Alma benar-benar memancing keributan, karena supir taksi yang tidak terima menghampirinya dan marah-marah. Namun Alma tak memerdulikannya, ia biarkan saja supir itu mengomel sesuka hati.

Sedangkan dirinya sibuk mengomeli lelaki kurang ajar itu. "Sopir belagu! Sama majikan berani-beraninya ngaku jadi calon suami!"

Lelaki itu justru bergeming menatap lurus pada Alma.

"Lagi diomelin malah ngeliatin!" Alma menarik satu sisi jas lelaki itu hingga wajahnya mendekat ke wajah Alma. "Gue bakal minta ayah pecat lo, dasar supir muda gak berpengalaman!" Ia hentakkan cengkramannya dari jas lelaki itu. Namun sekilas aroma parfum berkelas tercium indra penciumannya. Alma mengernyit sejenak, lantas menggeleng pelan, kepribadian sopir barunya sangat membingungkan.

Namun buru-buru ia mengalihkan perhatian dengan menyuruh lelaki yang ia anggap sopir itu. "Nih, bawain koper gue!" Alma meninggalkan kopernya begitu saja lantas berjalan menembus keramaian para penjemput penumpang.

Selama menuju lobi bandara Alma bertanya-tanya, siapa sebenarnya laki-laki itu? Diomeli kok diem aja. Gak memperkenalkan diri pula, kan aku gak tau namanya kalau mau manggil. Sekilas mendengkus, kesal menebak-nebak jati diri laki-laki itu.

Kedua mata Alma tiba-tiba membulat, atau jangan-jangan lelaki itu calon suamiku sungguhan? Batinnya panik.

***

Sampai di depan mobil, sopir bergaya eksekutif muda itu meletakkan koper di bagasi sedangkan Alma menunggunya membukakan pintu. Namun lelaki itu justru langsung masuk ke mobil di belakang kemudi.

Alma dibuat melongo keheranan, dengan kesal ia mengetuk keras-keras pintu kaca mobil. "Majikan itu dibukain pintu!"

Sopir itu justru menautkan kedua alisnya yang tebal dan dengan tak acuhnya ia menyalakan mesin mobil.

Alma sudah tidak sabar lagi, ia pun membuka pintu, masuk, lalu membanting pintunya hingga berdebam.

"Nama kamu siapa, sih?"

"Yogi," jawab sopir itu sambil sibuk mengenakan sabuk pengaman, sama sekali tidak menunjukkan keramahan.

"Sopir gak ada akhlak ya, memperkenalkan diri enggak, ngaku-ngaku jadi calon suami, gak bukain pintu, iishhh aww!"

Mobil melaju tanpa Alma sempat memasang seatbelt, mengakibatkan dirinya hampir terpental dari tempat duduk.

Kali ini Alma benar-benar marah, hingga kehilangan nafsu mengomelnya. Suasana kabin mobil pun hening, hanya deru mesin yang terdengar pelan serta aroma parfum Yogi yang terus menguasai penciuman Alma. Sampai-sampai gadis itu harus memencet hidungnya agar tidak terkontaminasi parfum maskulin dengan aroma leather itu meski lambat laun ia justru mulai nyaman dengan aromanya yang menyegarkan dan menenangkan.

Mobil yang ditumpangi Alma terus membelah jalanan kota Surabaya yang padat di jam makan siang seperti ini.

"Eh, ini bukan jalan ke rumah Pak supir!" seru Alma panik. Setelah menyadari arah jalannya bukan menuju rumahnya.

Lelaki di sisinya bergeming, tetap fokus pada jalanan di depan. Seolah tidak menganggap kehadiran Alma di sisinya.

Ia meraih ponsel di tas jinjingnya, menelpon seseorang. "Mas Rudi, kenapa bukan mas aja sih yang jemput aku?" rengeknya kesal.

"Mas sih niatnya gitu tapi kata ayah udah ada yang jemput."

"Tau gak Mas? Ini sopir baru belagu banget sih, aku mau pulang malah dibawa entah ke mana!"

"Ssstt, dia bukan sopir Alma, udah kamu tenang dulu nanti kami bakal tau, ini semua kemauan ayah." Rudi kakak tertua Alma Pramusito berusaha menenangkan adik bungsunya.

Alma mendengkus kesal, mematikan sambungan telepon, lantas menghempaskan punggungnya ke jok mobil.

Beberapa saat terdiam gadis itu baru teringat belum mengabari Damar. Ia buka kolom chat dan menyapa kekasihnya itu yang segera mendapatkan balasan dari Damar.

'Jangan lupa minum pil kontrasepsi darurat.' Sebuah pesan pendek yang seketika mengubah mood Alma yang semula mulai membaik menjadi buruk lagi.

Gadis bermata almond itu pun menatap nanar ke arah perutnya, refleks tangannya mengelus benih-benih Damar yang tertanam di sana. Ada rasa tak tega meluruhkan calon jabang bayi itu, meskipun ia belum tahu betul apakah terjadi pembuahan atau tidak.

Notifikasi muncul lagi di ponsel Alma, dari Damar yang begitu memohon-mohon agar Alma menyetujuinya. Meskipun Alma belum menolak ide tersebut tetapi dirinya masih diliputi keraguan.

"Aku mau mampir ke apotek!" tukas Alma akhirnya, pada Yogi.

"Nanti," ujar Yogi serius.

Alma mendengkus kesal, "Sopir tukang ngatur!" gerutunya.

***

"Bangun." Yogi mengguncang pelan bahu Alma.

Alma mengerjap-ngerjap, merengek sebal, merasa terganggu. Ternyata tanpa sadar ia terlelap selama perjalanan tadi.

"Turun!" tukas Yogi sambil berjalan meninggalkan Alma.

Alma seketika membelalak kepada Yogi. "Supir bawel!" Sembari meraih pounch make up-nya, Alma menggerutu, "sana turun duluan, aku mau touch up !"

Yogi terus berjalan tanpa memedulikan gadis itu.

"Awas aja, nanti aku pecat dia di depan ayah!" gerutu Alma sembari menaburkan cusshion di wajah putihnya.

"Sopir belagu!" Alma melirik Yogi yang telah berdiri di ambang pintu restauran, sebelum membubuhkan maskara. "Ngeselin!"

Jetlag dan jalanan Surabaya yang padat merayap membuatnya makin kelelahan, dan make up lah penolongnya agar tetap tampil segar. Setelah merasa cukup touch up ia pun turun dari mobil. Berjalan mendahului Yogi yang masih berdiri di ambang pintu menungguinya.