webnovel

3. Good Bye Kiss

Pagi musim semi yang hangat dan cerah, sangat kontras dengan raut wajah Damar. Ia bangun lebih awal dari Alma. dengan perasaan tak keruan mengingat kejadian semalam, meski ia tidak dapat mengelak bahwa sensasi semalam begitu memabukkan. Lelaki berusia 28 tahun itu berlalu menuju kamar mandi, berniat mendinginkan kepala yang candu sekaligus merasa bersalah.

Di kamar mandi, Damar mengguyur kepalanya yang terus mengulang bayang-bayang pergumulan semalam. Ia tak menyangka dirinya yang selalu berusaha menjaga jarak dengan Alma bisa luluh dalam satu kecupan bibir. Ke mana Damar yang teguh pendirian selama ini? Ataukah memang ia menikmatinya?

Damar meremas rambutnya kesal dan frustrasi, kecemasan lain tiba-tiba menyusup, bagaimana jika Alma hamil? Haruskah menikah? Modal apa? Statusnya saja masih pascasarjana dengan beasiswa. Lelaki berhidung bangir itu terus meremehkan dirinya sendiri.

Selesai mandi pikirannya masih berantakan, tapi tidak mungkin seharian ia mengurung diri di kamar sembari mengguyur kepalanya 'kan? Justru ia butuh kesibukan untuk melupakan kejadian semalam.

Ia pun segera keluar kamar mandi setelah merasa cukup menetralkan pikiran yang sebenarnya masih saja terasa berantakan. Pelan-pelan Damar berjalan menuju lemari dan mengambil baju ganti, ia tak ingin membangunkan Alma terlebih dalam keadaan tubuhnya hanya terlilit handuk sebatas pinggang hingga lutut. Ia sudah cukup malu bertelanjang bulat semalaman bersama Alma.

Namun baru saja ia akan mengenakan kaos tiba-tiba dua tangan dengan warna kulit yang kontras dari pigmen kulitnya melingkar di pinggang. Damar menahan napas, jantungnya kembali berpacu seperti semalam. Sensasi itu muncul lagi seiring dekapan tangan Alma yang kian menguat.

"Le-lepas Alma!" Damar berusaha berpikir jernih, tidak ingin terpengaruh akan sentuhan-sentuhan sensual itu lagi.

Alma justru dengan santai bergumam manja, tidak mengendurkan sedikit pun pelukannya dari belakang. Berharap Damar mulai terbiasa dengan sentuhan fisiknya.

Damar berusaha melepaskan pelukan Alma secara paksa. Namun, begitu pelukannya terlepas Alma kembali memeluk lagi, dengan tertawa riang ia pikir reaksi Damar hanya sekadar canggung. "Aku suka banget sama punggung kokohmu, Damar."

Damar menghela napas kasar, mulai kesal.

"Aku bakal kangen banget nantinya di Indonesia," bisik Alma dari belakang daun telinga Damar.

Embusan napas Alma yang menyentuh kulit sensitif Damar membuatnya hampir terlena lagi. Ada sensasi geli bergelenyar, tapi ia tahan dengan menggertakkan rahangnya.

"Lepas atau kuseret keluar," ucap Damar dengan ketus.

Alma yang tersentak langsung melepaskan pelukan dan menjauh. Raut wajahnya menyiratkan kekecewaan akan sikap sang kekasih. "Kok, kamu tiba-tiba ketus sih."

Damar bergegas mengenakan pakaiannya dengan lengkap, ia sudah tidak peduli jika Alma menjadikannya tontonan yang menyenangkan. Begitu selesai, ia melempar handuk ke sembarang arah sedangkan satu tangannya menyisir rambut yang basah.

Alma termangu sejenak, menatap wajah segar yang tampak memerah antara malu dan amarah. Andai keadaan tidak secanggung pagi itu mungkin Alma akan begitu tersipu menikmati ketampanan lelaki sederhana yang mempesonanya dan berlari memeluknya, ingin sekali tetapi terlalu takut.

Seketika Damar mengalihkan pandangan ke Alma yang membuat perempuan itu merasa terintimidasi kemudian berpura-pura merapikan poninya untuk menutupi perasaan takut. Namun tanpa diduga, Damar justru dengan agresif menarik tangan Alma yang sedang merapikan rambutnya.

Alma tersentak kaget bahkan sempat limbung hampir tersungkur di bingkai pintu kala Damar menghentakkan pergelangannya agar keluar dari flatnya. Gadis bermata almond itu menatap nanar, ketakutan dan penuh keheranan akan sikap kekasihnya. Matanya berkaca-kaca menahan pedih di ulu hati.

Hening, amarah menguasai keduanya, hanya ada bungkam. Saling menatap dengan mata menyala yang berkaca-kaca.

Beberapa penghuni kamar flat lainnya berlalu lalang. Sebenarnya tidak begitu peduli akan keduanya, tetapi Damar merasa risih.

Akhirnya Damar berujar lemah, tertunduk, berusaha melunakkan egonya. "Maaf, aku sebenarnya sayang sama kamu Al—"

"Sayang tapi kamu tega mengusirku dan kasar ke aku!" Alma yang kini berderai air mata meneriaki Damar. Dadanya bergemuruh menahan kesal.

Tetap Damar tidak ingin kalah, egonya kembali meninggi.  "Karena kamu melewati batas yang aku buat Al—"

"Kamu menikmatinya!" bentak Alma dengan kedua mata berair. "Kamu pasrah menikmati semua yang kita lakukan semalam!"

Damar meremas rambutnya frustrasi, napasnya memburu dengan wajahnya kian memerah. Ia merasa masih tidak berdaya menghadapi Alma. "Jangan lupa minuml pil kontrasepsi darurat sebelum terlambat, aku nggak mau kamu hamil," pungkasnya dengan tegas.

Tanpa merasa perlu menunggu jawaban dari Alma yang sudah membuka mulut, Damar membanting pintu hingga berdebam. Sedangkan Alma urung membantah lantas termangu di luar sana dengan air mata menggantung di sisi dagunya yang runcing.

Pedih, hati Alma begitu pedih diperlakukan demikian. Ia pun berbalik, dengan pasrah. Sore nanti ia harus terbang ke Indonesia, ia pun memutuskan untuk pulang ke flatnya sendiri untuk berkemas-kemas. Kini tinggal penyesalan memenuhi benak Alma, ia pikir dengan rencananya meluluhkan Damar berhasil itu akan jadi penghangat hubungan di antara mereka sekaligus menjadi perpisahan yang mengesankan sebelum keduanya menjalani hubungan jarak jauh, Surabaya Jerman. Namun reaksi Damar justru di luar dugaan. Mengecewakan.

***

Alma turun dari taksi, tak lama setelah itu sopir taksi mengambilkan koper dari bagasi mobil. Gadis itu bergumam terima kasih pada lelaki paru baya tersebut.

Alma menarik kopernya dengan begitu malas, ia melangkah pelan menuju pintu masuk bandara. Baru saja ia di ambang pintu pengecekan. Tiba-tiba seseorang menyerukan namanya, Alma sontak membalik badannya. Ia tampak begitu terkejut hingga menjatuhkan koper dari genggaman. "Damar—" Ia eja nama itu dengan isak tertahan.

Lelaki jangkung pemilik nama tersebut pun berlari kecil menuju Alma, tepat selangkah di depan Alma ia menghentikan langkah. Napasnya tampak terengah-engah.

Damar dengan ragu-ragu meraih tangan Alma.

Alma pun memperhatikan kedua bola mata milik Damar yang berkaca-kaca. Perlahan satu tangannya yang bebas dari genggaman Damar menahan air mata jatuh dari tempatnya.

"Hati-hati," akhirnya sebuah kata lolos dari bibir Damar.

Alma mengangguk senang, ada kelegaan di dadanya mendapati Damar tidak marah lagi.

"Maaf, tadi aku kelewatan marahnya, a -- aku cuma takut kalau terjadi kehamilan."

Alma menggeleng, "kayaknya aku aku lagi nggak masa subur, tenang aja nggak akan terjadi."

Damar mengelus punggung tangan Alma yang ada dalam genggamannya.

Sebuah pengumuman keberangkatan menggaung di langit-langit bandara, membuat keduanya mendongak bersamaan. "Itu penerbangmu?"

Alma mengangguk sekaligus berpamitan tapi saat ia akan melepas genggaman mereka Damar meraih tubuhnya dan mengecup lembut ubun-ubun kepalanya.

Seketika Damar melepaskan pelukan itu, ia justru salah tingkah sendiri. "Maaf aku lancang." Wajahnya pun tampak memerah menahan malu.

Alma justru tersenyum senang, hatinya begitu berbunga-bunga. Lantas ia berbalik dan masuk ke ruang pengecekan.