webnovel

6. Maag atau Hamil?

"Awas aja, nanti aku pecat dia di depan ayah!" gerutu Alma sembari menaburkan cusshion di wajah putihnya.

"Sopir belagu!" Alma melirik Yogi yang telah berdiri di ambang pintu restauran, sebelum membubuhkan maskara. "Ngeselin!"

Jetlag dan jalanan Surabaya yang padat merayap membuatnya makin kelelahan, dan make up lah penolongnya agar tetap tampil segar. Setelah merasa cukup touch up ia pun turun dari mobil. Berjalan mendahului Yogi yang masih berdiri di ambang pintu menungguinya.

Pintu kaca gedung megah itu terbuka otomatis, menampakkan isinya yang ternyata adalah meeting room sekaligus restauran bintang lima.

Tak jauh dari pintu masuk Alma langsung mendapati ayahnya sedang duduk bersama seorang perempuan dan seorang lelaki sesuai ayahnya.

"Ayah! Aku capek—" protes Alma seketika sampai di dekat ayahnya.

"Duduk." Perintah Pramusito memotong protes putri bungsunya yang langsung disambut wajah cemberut Alma. Namun dengan enggan akhirnya Alma duduk diikuti Yogi.

Alma mengernyit. "Sopir, ngapain duduk di situ!"

Yogi sedikit tersentak, tapi wajahnya kembali berubah netral dan dingin, seolah-olah gerutuan Alma sedari tadi tidak mempengaruhi emosinya.

"Haha." Tawa pecah dari kolega ayahnya Alma, mengalihkan perhatian Alma, membuatnya semakin keheranan.

"Maafkan putriku Arlan—" Pramusito menghela napas berat, menahan malu akan ucapan Alma.

"Tidak apa-apa, justru maafkan anakku Yogi, dia tidak berhasil mengajak Alma kenalan dengan baik, haha, jadi wajar saja putrimu mengira anakku sebagai sopir suruhanmu."

Yogi hanya mengusap tengkuknya, salah tingkah. Namun sesaat kemudian wajahnya kembali tampak kaku seperti sedia kala.

Sedangkan Alma dengan muka memerah tertunduk malu, "emm, Ayah, Alma pulang, ya? Jatlag, butuh istirahat, nih," dalihnya agar bisa kabur dari situasi menyebalkan itu.

Ayahnya hanya melempar tatapan tegas. Tidak memberi izin.

"Tidak apa-apa wajar pertama kali bertemu memang malu-malu, Pram." Arlan menengahi.

"Benar Arlan, tapi setidaknya putriku bisa bersikap lebih sopan lagi, aku sungguh merasa bersalah."

"Tidak apa-apa Pak Pram, justru ini bisa jadi secuil cerita menggemaskan untuk anak cucu mereka nantinya." Nyoya Arlan, ibu dari Yogi menyahut dengan begitu ramah. Namun perkataanya barusan bagai petir di siang bolong bagi Alma, ia lantas mendongak, menatap wajah perempuan paruh baya yang masih cantik berkat perawatan di klinik kecantikan mahal itu, meminta penjelasan. "Oh iya, Alma, kenalkan, ini Yogi, putra kami, dia memang kadang sedikit kaku, tapi tadi dia baik kan sama kamu?"

Alma tersenyum canggung, kemudian membuang pandangan ke sembarang arah, kesal. Baik apanya? Dia pandai bikin orang darah tinggi, tau! Batinnya menghakimi.

"Baiklah, silahkan Yogi, Alma, pesan makanan, kalian pasti lelah telah menempuh perjalanan lumayan jauh."

"Baik, Om." Lantas Yogi sigap melambaikan tangan kepada seorang pelayan yang tengah lewat di sekitar mereka.

Mereka memesan makanan, Alma yang kesal dengan lahap menghabiskan isi piringnya. Berkat perasaan dongkol ia butuh pengalihan, entah dengan cara apapun termasuk makan, selalu begitu kebiasaannya.

Acara makan bersama selesai, Alma berharap ia bisa segera pulang, ternyata pertemuan itu belum sampai pada inti tujuan pertemuan.

"Alangkah leganya ketika aku bisa menyandingkan Alma dengan Yogi, dengan begitu aku tidak perlu khawatir ketika menyerahkan jatah perusahaan yang diwariskan untuk Alma sebab ada Yogi yang siap membimbing."

Alma melotot pada ayahnya, sedangkan alisnya mengkerut seolah jadi satu. Heran dan kesal, bukannya ayah tahu jika aku sudah punya pacar?

Alma meraih gelasnya, tersisa sedikit orange jus di sana ia pun menyedot semua isinya. Meninggalkan bongkahan es batu yang masih ia sedot saja sehingga menimbulkan bunyi 'sssrrreeep, ssssrrreepp' perpaduan udara dari rongga sedotan yang menarik udara dari dalam gelas karena airnya telah tandas.

"Tentu, Pram, Yogi telah aku didik sebaik mungkin agar ia jadi orang yang bisa diandalkan," balas Arlan diiringi kekehan pelan. Tampak jelas kalimatnya mengunggul-unggulkan dirinya.

Sedangkan Yogi hanya tersenyum takzim.

Alma menatap malas, mencebik. Sejurus kemudian ia mengaduk-aduk es batu dalam gelasnya, menimbulkan bunyi berisik.

Hal itu langsung disambut delikan galak dari ayahnya. Namun Alma kali ini benar-benar membatu, ia tak perduli terus mengaduk-aduk sisa es batu itu dan sesekali menyeruputnya membuat suara makin berisik.

Merasa sungkan berlama-lama akhirnya Pramusito mengalah dengan putrinya, ia menyudahi perbincangan itu. "Setidaknya Yogi dan Alma sudah bertemu, mungkin perlu satu dua pertemuan lagi agar mereka lebih akrab, Arlan." Ia menepuk bahu kolega bisnisnya yang sedari tadi ramah tawa.

Alma tersenyum tipis saat berpamitan, hanya pada Arlan dan istrinya, ia mengabaikan Yogi yang juga tak bersimpati padanya.

Alma mengekor ayahnya keluar dari meeting room restauran itu. "Kamu itu calon penerus perusahaan Ayahh, tapi masih saja sikapmu kekanak-kanakan."

Alma tak memedulikan nasihat itu justru berjalan mendahului ayahnya. Masuk ke mobil dan menutup pintunya dengan keras hingga berdebam.

Pramusito hanya bisa menggeleng, mengalah pada sikap putri bungsunya. Perasaannya sebagai single parent sejak Alma usia dini membuatnya menyadari perannya bukan hanya sebagai ayah yang kadang harus tegas tetapi juga perlu sesekali lunak untuk mengerti perasaan putrinya.

Lelaki usia 50 tahunan itu masuk ke mobil yang tadi digunakan Yogi menjemput Alma. Ia menyalakan mesin mobil, menarik parsneling dan mobil pun melaju keluar halaman restauran. Membelah jalanan kota Surabaya yang disirami cahaya senja.

Suasana kabin mobil hening, hingga lima belas menit kemudian sampai di rumah tetap tidak ada percakapan antara mereka berdua.

Namun batin Alma riuh, benarkah Yogi dan aku akan dijodohkan? Aku gak mau! Aku harus cari cara menggagalkannya! Gak ada yang bisa misahin aku sama Damar!

***

Sampai di depan gerbang rumah mewah beraksitektur klasik milik keluarga Pramusito, Alma baru teringat jika ia harus membeli pil kontrasepsi darurat.

"Ayah ...," panggil Alma dengan suara manjanya sembari melirik takut-takut pada ayahnya.

"Ya?" Pramusito menoleh sejenak lalu kembali fokus pada kemudinya.

"Aku mau beli vitamin ke apotik, puter balik, dong." Alma memiringkan tubuh menghadap ayahnya.

"Di rumah ada, Alma, Ayah sebentar lagi ada meeting."

Alma mengerucutkan bibirnya. Sampai keluar mobil pun raut wajahnya masih sama, bahkan ketika ia disambut Andini, Rudi dan kedua kakak iparnya, ia masih memberut manja.

"Alma kenapa sih, Ayah, pulang-pulang cembetut gini?" Andini menanyai ayahnya yang sedang berjalan masuk ke rumah.

"Minta beli vitamin."

"Nanti Mas anter ke apotek, sekarang istirahat dulu." Rudi mengambil alih koper dari genggaman Alma dan menggiring adiknya masuk.

Sampai di depan kamar Alma, "kaya anak kecil aja dianter sampe depan kamar," rajuknya.

Rudi menyentil daun telinga Alma, "huu, gak inget waktu kecil bobo selalu minta ditemenin, Mas."

Alma nyengir, seraya melepas rangkulan Andini, "udah sampe, aku berani masuk kamar sendiri, dadah!" Tangannya merebut koper dalam genggaman Rudi.