webnovel

Lucknut 13

Selama lima tahun setelah insiden dengan Rafly dan Rayan berjanji akan berubah, namun semua sia-sia. Dhena telah mampu melupakan Rafly, namun Rayan semakin menjadi. Semakin lupa diri nyaris tak mempedulikan istri tuanya.

Dhena wanita cantik yang kini telah berusia 35 tahun tetap survive dalam segala badai dan gelombang kehidupan yang menghantamnya. Dalam kurun waktu selama itu Dhena telah cukup bersabar jadi tua yang yang setia namun tak dianggap.

Selam lima tahun itu Dhena telah berubah menjadi dirinya sendiri yang gemar bersosialisasi dan menghabiskan waktunya dengan mengajar serta memberikan bimbingan pada siswa STM yang terkenal berkarakter sangat berbeda dengan siswa sekolah lainnya. Dia pun tetap aktif di SMKN 98.

Dhena mengabaikan segala ucapan dan sikap madunya yang semakin arogan. Elisa kini bukan hanya sebagai nyonya besar, tetapi dia pun sudah sangat pandai menjadi biang gosip dan fitnah. Cerita tentang Dhena dengan Rafly sempat beredar. Belum lagi dibumbui dengan fitnah-fitnah lainnya.

Elisa bahkan sama sekali tidak tahu atau mungkin pura-pura tidak tahu, bahwa rumah yang ditempatinya, ruko tempat suami dan dirinya mencari nafkah, seratus persen milik Dhena yang sebentar lagi mau tidak mau harus Rayan kembalikan sesuai surat perjanjian ketika Rayan meminjam modal dari orang tua Dhena.

"Bu, mau kita yang ke sana, atau si Mbah-nya yang ke rumah ibu? Tapi kalau mau ketemu di rumah saya juga bisa. Gimana?" tanya wanita berusia 35 tahun yang berdiri di samping meja kerja Dhena.

Bu Rustini, salah seorang guru SMKN 89 sudah beberapa kali mengajak Dhena untuk menemui orang pinter yang sejak dahulu kala jadi guru spiritual keluarganya.

"Gak tahu, Bu. Saya gak terlalu yakin." Dhena menjawab malas. Mengedikkan kedua bahunya kemudian menunduk melanjutkan membaca buku pelajaran yang hari ini akan dia terangkan di depan murid-muridnya.

"Hmmm, Saya jadi heran. Mengapa Bu Dhena tak merasa aneh dengan diri sendiri?" Bu Rustini kembali berceloteh.

"Apa yang aneh dengan diri saya, Bu?" tanya Dhena tak acuh.

"Bu Dhena itu muda, cantik, kaya lagi. Sayangnya terlalu takut sama suami!"

"Hahaha, suami saya bukan monster. Selama ini saya tak pernah merasa takut dengannya. Mengapa ibu menyimpulkan demikian? What happened?" Dhena terpaksa mengangkat kepalanya. Memandang rekan kerjanya yang selalu bangga dengan bentuk tubuhnya yang sedikit lebih kecil dari drum tong sampah.

"Maaf ya, Bu." Bu Rustini memasang wajah memelas seraya menggeser berdirinya. "Kalau saya pikir-pikir, ibu terlalu mengalah sama suami itu sudah gak wajar. Pasti ada apa-apanya. Saya yakin, ibu diguna-guna istri mudanya Pak Rayan." Bu Rustini berbisik. Namun beberapa orang guru yang ada di sana, bisa dengan jelas mendengar ucapannya.

"Sejak pertama saya mengenal Rayan hingga kini. tak pernah berubah. Suami saya baik-baik saja. Tak pernah berbuat kasar. Perasaan kami juga baik-baik saja." Dhena terpaksa berbohong daripada harus mendatangi dukun, sesuai saran Bu Rustini.

Beberapa bulan yang lalu. Saudaranya di Bandung, pernah memaksanya menemui seorang dukun. Namun dukun cabul itu hampir saja melecehkannya. Untung saja anak mantan Dirut BUMN itu menguasai ilmu bela diri yang mumpuni. Cukup satu gerakan silat, Sang dukun tersungkur dan memohon ampun. .

"Bu Dhena, masalahnya bukan pada ibu. Tapi pada Pak Rayan dan istri mudanya. Saya yakin ibu diguna-guna supaya tunduk sama mereka. Ini sudah gak masuk akal. Istri mudanya jauh kemana-mana, tapi Pak Rayan tega menyia-nyiakan ibu hanya karena..."

"Maaf bu, saya tidak minat!" potong Dhena.

Bu Rustini terdiam beberapa saat. Dhena menatap wajah wanita dalam bingkai kerudung krem dengan bross love. "Rayan, tetep baik sama saya. Dia tak pernah kasar. Dan yang pasti kami masih saling mencintai. Istri Rasulallah pun dimadu. Apa yang salah dengan poligami?" Dhena bangkit dari duduknya seraya memegangi tas tangannya.

Dadanya terasa sesak dengan amarah.

"Saya masuk kelas dulu, Bu. Batalkan janji dengan Mbah-nya. Nanti kalau saya butuh, pasti menghubungi ibu." Dhena mencoba tetap sabar, walau sesungguhnya dia sangat ingin menampar mulut wanita yang terlalu sibuk dengan urusan orang lain.

Dhena segera beranjak meninggalkan rekan-rekan kerjanya. Tak betah berlama-lama ngobrol dengan para wanita yang lemes mulutnya. Seolah bersimpati namun ujung-ujungnya mencibir bahkan menyalahkannya karena belum dipercaya memiliki anak.

"Bu Dhen...." Sebuah panggilan memaksa Dhena menghentikan langkahnya.

"Ada apa lagi Bu?" Dhena mencoba bersabar. Bertanya dengan nada yang sedikit dipelankan. Namun sorot matanya tak bisa menyembunyikan kejengahan hatinya.

"Hmmm, sini bentar!" Bu Rustini menarik tangan Dhena, membawanya ke luar ruangan lalu menepi sedikit merapat ke dinding.

"Si Mbah itu selain bisa ngobatin yang kena guna-gua, beliau juga bisa ngobatin yang sulit punya anak." Bu Rustini menambahkan bumbu promosinya.

"Oh ya? Serius, Bu?" tanya Dhena excited.

"Hmm, si Mbah ini, pasiennya bahkan sampai ke mancanegara." Bu Rustini antusias.

"Wah pasti mahal dong bayarannya, secara dukun internasional." Dhena terbelalak.

"Hmmm, apa sih yang mahal buat Bu Dhena. Sekolah ini aja kalau dijual, pasti Bu Dhena sanggup membelinya, hehehe." Bu Rustini semringah. Peluru yang ditembakkannya kena sasaran.

"Terima kasih. Maaf bu, saya tetap tak tertarik." Dhena bicara sesaat sebelum membalikan badan dan berlalu meninggalkan rekan kerjanya yang terlalu percaya dengan klenik. Sejatinya Dhena, sejak dulu tak pernah mempercayai hal-hal yang irasional.

Bi Arnah ikut dengan Dhena sejak sang majikan masih pengantin baru. Dia membantu Dhena hanya pagi sampai siang, karena memiliki balita. Suami Bi Arnah mengidap penyakit paru-paru kronis, Bi Arnah lah yang jadi tulang punggung keluarganya.

Setahun kemudian, suami Bi Arnah tutup usia, meninggalkan tiga anak laki-laki. Teguh, Anwar dan Aiman yang berusia 10, 7 dan 4 tahun.

Karena Aiman baru berusia 4 tahun, Dhena memberi kebijakan pada Bi Arnah untuk membantu sesempatnya saja dan tidak harus datang tiap hari.

Dhena akan meminta bantuan Bi Arnah jika ada orang tau atau saudara-saudaranya yang menginap. Namun demikian gajinya tak pernah dikurangi walau sepeser pun.

Kini, Teguh telah duduk di kelas dua belas Aliyah. Dia tinggal di pesantren modern, daerah Banten. Sementara Anwar masih duduk di kelas sepuluh STM. Sementara si bungsu Aiman baru duduk di kelas empat SD.

Dhena menanggung seluruh biaya pendidikan dan keperluan sekolah ketiga anak yatim itu. Sehingga sangat wajah jika Bi Arnah dan seluruh anak-anaknya begitu menghormati dan mencintai Dhena.

Bi Arnah juga berjualan nasi uduk dan gorengan di depan rumahnya. Sabtu dan Minggu, libur karena waktunya dia pakai untuk membenahi dan mengurusi rumah Dhena, tentu saja dibantu anak-anaknya.

Kehidupan Bi Arnah yang bahagia dan sederhana dengan tiga jagoannya, senantiasa menginspirasi Dhena. Sikap ketiga anak lelaki yang begitu patuh dan hormat pada ibunya pun selalu membuat Dhena terharu dan bersimpati.

Tiga anak lelaki yang dirawat dan dibesarkan tanpa seorang bapak, bisa tumbuh menjadi anak-anak yang berakhlak mulia. Bi Arnah tidak memahami ilmu psikologi anak. Tetapi, dia mampu mengawal tumbuh kembang anak-anaknya dengan cinta kasih dan naluri seorang ibu yang tulus murni. Cinta yang sangat sederhana, sesuai dengan porsi yang dibutuhkan anak-anaknya.

Dari Bi Arnah, Dhena banyak belajar tentang arti cinta dan mencintai. Dia senantiasa menerapkan pendekatan humanis penuh cinta, ketika harus menaklukkan murid-murid STM-nya yang berkarakter sedikit berbeda dibanding siswa sekolah umum lainnya.

Bergaul dan berpartisipasi langsung membantu dhuafa dan yatim piatu, bukan sesuatu yang baru untuk Dhena.

Sejak puluhan tahun yang lalu, keluarga besar Abdullah selalu mengadakan arisan keluarga yang diikuti seluruh anak, menantu, cucunya dan beberapa keluarga lainnya dengan suka rela.

Dana yang terkumpul dari arisan tersebut tidak kurang dari 50 sampai 70 juta itu, setiap bulannya disalurkan ke berbagai panti asuhan yang ada di sekitar mereka.

"Sayangi dan cintai dengan tulus kaum dhuafa dan yatim piatu, niscaya kalian akan bahagia dan terhindar dari segala marabahaya." Pesan singkat Pak Abdulllah untuk semua anak-anaknya.

^^^