webnovel

Lucknut 12

'Kamu pasti kena guna-guna makanya tunduk sama Rayan, atau setidaknya dia pakai pelet buat dapetin kamu, Dhen'

Puluhan bahkan mungkin lebih dari ratus kali Dhena mendengar pernyataan itu. Jauh sebelum suaminya memiliki istri muda atau lebih tepatnya dari semenjak mereka menjalin hubungan asmara.

Hampir semua teman kampusnya mengatakan dan mencurigai hal itu. Padahal semestinya mereka jauh lebih rasional dari orang awam kebanyakan. Sesuatu yang anggap kurang masuk akal pada gilirannya akan selalu dikaitkan dengan mistis tidak terkecuali oleh mereka para cendekiawan.

Dhena tak pernah percayai perkara takhayul. Dia tetap dengan prinsipnya jika urusan jodoh Tuhan lah yang memilik hak segalanya. Dhena meyakini cintanya pada Rayan tulus murni bukan karena guna-guna atau sejenisnya.

Sampai saat ini Dhena sendiri tak pernah sanggup mengukur seberapa dalam dan besarnya cinta dihatinya pada lelaki yang hampir lima tahun menjadi imamnya. Dhena tak punya waktu untuk memperdebatkan cinta.

Banyak lelaki yang naksir pada Dhena dengan segala kondisi yang lebih dibandingkan Rayan. Namun Dhena tidak pernah tertarik. Dia bahkan meragukan ketulusan cinta semua lelaki iseng itu. Dia juga tidak meyakini jika para lelaki itu tak akan sanggup memberikan kepuasan yang hakiki pada dirinya, seperti yang dilakukan Rayan, suaminya.

Salahkah seorang istri mencintai suaminya lebih dari apapun? Itu lah pertanyaan balik yang selalu Dhena lontarkan ketika ada orang mempertanyakannya. Walau Dhena sudah sangat menyadari jika suaminya bukan lagi yang dulu.

Status Dhena bahkan tak ubahnya seperti istri kedua. Rayan harus meminta izin pada Elisa jika akan menemuinya. Kondisi yang benar-benar terbalik.

Luka dan sakit hati yang Dhena rasakan akan hilang sirna ketika Rayan sudah merayu dan membujuknya kembali. Rayan selalu sukses membuat Dhena melayang dan merasa diri menjadi wanita paling beruntung saat berdua di ranjang pengantinnya dengan Rayan.

Apakah lelaki lain tak sanggup melakukanya? Dhena benar-benar meragukannya. Terdengar sangat naif dan konyol. Namun itulah doktrin yang selalu ditanamkan Rayan pada istrinya.

"Gua gak merasa diguna-guna, Nov!" sangkal Dhena pada Noviar, sahabat sejati yang sudah seperti saudara sendiri sejak mereka masih di bangku kuliah.

Noviar satu-satunya sahabat Dhena yang berjenis kelamin perempuan. Sejak kecil Dhena lebih nyaman bersahabat dengan lelaki. Dia terbiasa dengan segala kegiatan maskulin. Futsal, Sepak Bola, Panjat Tebing, Karate, Pencak Silat, manjat pohon dan sejenisnya merupakan rutinitas kesehariannya dengan papa dan ketiga kakak lelakinya.

Melow, termehek mehek dan baper di depan televis atau laptop saat nonton sinetron, dram korea atau menghabiskan waktu bergosip ria di medsos sambil pamer foto selfy, bukan Dhena banget.

Sewaktu di SMP dan SMA, Dhena selalu menjadi pimpinan gang yang hampir seluruh anggotanya laki-laki. Dia tak segan melabrak siapapun yang mulutnya terlalu lemes bergosip atu melecehkan sesama wanita. Dhena tumbuh menjadi gadis cantik yang tomboy, aktif cenderung agresif dan banyak ditakuti laki-laki.

"Gue percaya lu gak diguna-guna, cuma sekarang udah jadi budak cinta." Noviar menjawab seraya mengaduk jus alpukat yang sengaja dipesannya secara khusus.

"Bukan bucin, tapi gue emang pengabdi suami, hehehe." Dhena berkelit. Dan hanya dengan Noviar, Dhena berani buka-bukaan segala rahasia dirinya.

"Yang pasti, sejak lu kena magic sakti si Rayan, lu bukan diri lu lagi. Semua sahabat merasa kehilangan lu. Gak ada Dhena yang ceria, tegas, mandiri, solider, ceplas ceplos, sangar and super tomboy." Noviar mengibaskan sedikit rambut hitam panjangnya yang selalu dibiarkan tergerai indah.

"Hahaha, kan sekarang gue udah jadi 'Bu guru' and 'Nyonya Rayan'. Masa harus tomboy terus? Dasar gila lu!" Dhena terbelalak, intonasi suaranya terdengar sangat bangga saat menyebut kata 'Bu guru' dan 'Nyonya Rayan'

"Tapi setidaknya lu harus tetap ceria, mandiri dan tegas. Lu bahkan gak bisa tegas pada diri lu sendiri. Bener-bener udah jadi budaknya si Rayan. Dua tahun hidup dimadu, kedua orang tua lu bahkan gak tahu. Kan aneh?" Noviar bicara tanpa basa-basi, seperti biasanya.

"Gue bukan gak mau ngomong sama mereka, tapi gak mau ngebebanin pikirannya, kasihan udah pada sepuh."

"Halah bilang aja lu pengecut. Sama ortu aja berani bohong."

"Tapi, sampai detik ini gue masih ceria, masih tetep cantik and happy, hahahaha." Dhena tertawa sumbang.

"Happy?" Noviar menatap mata Dhena, "Mata lu aja gak mampu menyiratkan bahagia. Atau jangan-jangan lu udah lupa definisi bahagia? Wajah lu aja selalu redup tanpa aura." Noviar menyesap kembali jus alpokatnya.

"Dhen, sama orang lain, lu boleh pasang topeng yang tebal. Tapi sama gue? No way! Sehebat apapun kemampuan lu berkamuflase, tapi semua udah ada di tangan gue." Mata Noviar makin dalam menatap mata Dhena yang seketika meredup.

Dhena melebarkan mata dan tertawa lebar tanpa suara. Berusaha menjadikan wajah cantiknya semringah dan bercahaya.

"Jangan sok ceria dan semringah yang dipaksakan! Munafik itu!"

"Hmmm, susah ngomong sama manusia super kepo, kayak lu, Nov."

"Gue gak pernah kepo kalau itu gosip," sangkal Noviar segera. "Dhen, gua kenal lu lebih dari siapapun. Dari dua meter aja gue udah bisa bedain mana bau keringat lu dan mana bau keringatnya kerbau!" Noviar tampak serius.

"Hahahaha, lu tetep gila ya." Wajah Dhena seketika semringah. "Kenapa gue disamain sama kebo? Jiiiir ah!" tanya Dhena.

"Karena lu gak lebih baik dari seekor kerbau yang dicocok hidungnya. Lu lebih nurut dari apapun sama si Rayan, tuan besarmu itu." Noviar menjawab geram.

"Gue kan istri pengandi suami, Nov." Dhena tersenyum bangga. Dia tak pernah tersinggung atau marah, walau sekeras dan sekasar apapun ucapan yang keluar dari mulut sahabatnya itu.

"Suami yang gimana dulu, Dhena?" tiba-tiba Noviar menyelak.

"Istri mengabdi pada suami itu memang sudah kewajibab, tapi kalau suaminya gak tahu diri, kenapa harus memaksaakan diri mengabdi dan diam aja? Gue gak suka sama cewek yang kerjanya hanya meratapi nasib dan menangis."Noviar bicara berapi-api.

Untuk beberapa saat, Dhena hanya diam seribu basa. Dua orang pelayan datang dengan menyajikan sederet makanan yang mereka pesanan.

Noviar wanita cantik nan lemah lembut, sejak dulu aktif dalam berbagai organisasi yang memperjuangkan kesetaraan gender dan hak-hak perempuan.

"Kesalahan terbesar lu, bukan hanya jadi budak cinta, tapi terlalu menutup hati untuk mengenal cinta yang lain." Noviar kembali berucap lirih seraya mengambil nasi dan lauknya.

"Gue kan tipe cewek setia, Nov. Beda lah sama lu, hehehe."

"Setia tidak berati buta, Dhen! Mengenal atau menjajaki cinta yang lain, tidak berarti kita harus mendua."

"Lah gimana, bisa? Bagaimana mungkin gue gak selingkuh kalau harus mengenal cinta yang lain selain suami gue? Lu kadang aneh, Nov!"

"Dhena, anggap saja sedang memilih buah. Tidak berarti harus dicicipi. Kalau sekedar mencium baunya untuk menentukan kematangan, gue rasa wajar. Walau tidak semua buah yang harum itu pasti matang"

Dhena kembali terdiam. Belum paham dengan maksud dari ucapan sahabatnya.

"Dhena gue bicara bukan untuk keadaan lu saat ini. Tapi masa lalu lu. Sejak dulu lu gak mau pacaran dengan lelaki manapun kecuali si Rayan. Cinta pertama untuk yang terakhir memang ideal. Tapi kita tidak pernah tahu, apakah cinta pertama itu merupakan cinta yang terbaik?"

Dhena tersenyum, kini dia mulai sedikit memahami kemana arah pembicaraan Noviar.

"Sejak pertama jatuh cinta, lu benar-benar menutup hati untuk siapapun. Parahnya lagi lu tak pernah percaya dengan lelaki manapun,kecuali si Rayan. Alhasil lu gak punya refernsi untuk cintadan hanya menganggap cinta si Rayan yang de best."

"Jadi maksud lu sekarang gue mesti selingkuh, gitu?" Dhena sedikit melongo.

"Gue gak mengatakan itu. Tapi, minimal lu bisa kembali mejadi diri lu sendiri. Gue kangen dengan Dhena yang ceria, inovatif, tegas dan menghargai diri lu sendiri. Gue sedih kalau denger tersiksa dan disakiti si Rayan. Dan lu gak pernah berani keluar dari jerat belenggu lelaki tak tahu diri itu."

"Oke Nov, gue akan berusaha kembali menjadi diri gue yang dulu."

"Good! Gak perlu setomboy dulu, tapi minimal jadi lah wanita yang dihargai lelaki. Seharusnya si Rayan bersyukur punya istri sebaik lu. Kurang apalagi? Cantik, mandiri, super tajir dan setia. Lu bisa hidup tanpa si Rayan, justru lelaki kutu kupret itu yang akan mati kutu kalau bercerai dari lu." Noviar makin antusias. Mulutnya tak bisa berhenti walau suapan demi suapan makannya masuk ke mulutnya.

"Si Rayan mungkin gagah, tampan dan super perkasa di ranjang, tapi tidak berarti harus mendewakannya. Masih banyak lelaki di luar sana yang lebih segalanya dari mantan pedagang kaki lima yang tak tahu diri itu!" Noviar menumpahkan kegeramannya.

"Waduh, sadis amat lu sama arjuna gue, hehehe." Dhena berusaha santai walau hatinya mengakui kebenaran ucapan Noviar.

"Wake up, Dhena, bangun, Dhen!" Tiba-tiba Noviar meraih tangan Dhena dan menggerak-gerakannya dengan sedikit keras.

"Cukup sekian tahun lu menyia-nyiakan hidup demi seorang Rayan Justino. Sekarang lu mesti bangun. Cintai dan hargai diri sendiri. Pantaskan untuk tetap diharagi oleh siapapun. Lu sukses membimbing murid-murid yang barbar. Sekarang saatnya membimbing diri lu sendiri menjadi lebih baik." Noviar kian berapi-api laksana seorang motivator tingkat nasional yang sedang berceramah.

"Gue ingin melihat Dhena yang tegar, mandiri dan menjadi diri sendiri. Bukan hamba sahaya atas siapapun. Termasuk si Rayan suami brengsek itu, oke!"

"Oke deh kakak, hehehe."

^^^