webnovel

Lucknat 15

STM Bintang Muda, sekolah tempat Dhena mengajar mengikuti Pekan Pameran Pembangunan. Kegiatan yang diprakarsai Pemda Bogor itu rencananya digelar selama seminggu di alun-alun kabupaten.

Stand STM BM dijaga 6 siswa alumni lulusan tahun lalu. Yang kebetulan belum memiliki pekerjaan tetap. Selain untuk memberikan penghasilan tambahan, hal tersebut bertujuan agar tidak menganggu belajar siswa yang masih aktif.

Mereka bertugas dari pukul 13.00 sampai 22.00 WIB. Dibimbing beberapa guru.

Malam ini, Dhena bertugas membimbing para petugas penjaga stand. Seharusnya berdua dengan Pak Akmal, namun karena ada halangan, terpaksa Dhena bertugas sendirian. Namun demikian dia tak merasa bimbang. Karena Yoga dan team-nya sudah terlatih dan lulus seleksi.

Hampir seminggu Dhena dan beberapa guru memberikan pelatihan pada keenam alumni itu sebelum mereka bertugas menjadi Sales Promotion Boy, untuk STM BM.

Yoga, Ilham, Bayu, Harun, Irfan dan Luki, adalah enam alumni STM BM yang semasa sekolah selalu menduduki peringkat minimal sepuluh besar.

Demi menjaga performa dan profesionalisme, Dhena sedikit mengubah penampilannya. Bukan hanya bedak, sifat alis dan lipstik tipis yang menempel di wajahnya. Eye shadow, eye liner, maskara dan blush on pun turut menghiasinya. Pakaian, kerudung, sepatu dan aksesoris yang dikenakannya pun dipilih yang terbaik. Penampilannya kali ini tampak anggun, simple dan elegan.

"Yoga, gimana penampilan ibu, terlalu mencolok gak?" tanya Dhena seraya meluruskan wajah dan merapikan kerudung yang warnanya senada dengan blouse dan celana panjangnya. Pantofel hitam mempertegas keanggunannya.

Dhena menyampirkan tangan kanan di pinggangnya. Berpose layaknya seorang peragawati di depan Yoga, Sang ketua tim, dan seluruh anggota Sales Promotion Boy yang lain pun ikut menyaksikan.

Beberapa saat remaja yang baru setahun lulus dari STM BM itu memperhatikan Dhena secara saksama dari puncak kerudung hingga ujung sepatunya.

Yoga tersenyum. Lalu mengangkat jempolnya. "Mantap!" serunya, "inilah nilai tambah stand kita. Walau petugasnya semua cogan, tapi ada bunga super cantik dan indah yang terselip di antaranya, hehehe." Yoga memuji penampilan Dhena.

"Bisa aja," balas Dhena seraya mencibir.

"Serius Ibu. Semua pasti akan mengira guru STM tak sekiller yang dibayangkan. Masih ada guru secantik ibu yang mau mengajar di BM," balas Yoga dengan mata yang berbinar, "kalau sudah begini, dijamin akan banyak calon siswa yang berminat belajar di sekolah kita, hehehe." Yoga mengedipkan sebelah matanya.

"Amiin. Tapi matamu tolong kondisikan, ya. Sama cikgu sendiri kok genit." Dhena sedikit menjelingkan matanya.

"Serius, Ibu guruku yang cantik. kalau gak ada ibu, mana ada calon siswa dan orang tua murid yang mau masuk stand kita, hehehe."

"Betul, Bu, kami setuju dengan Yoga," Luky menimpali.

"Alah, kalian pake memuji-muji segala. Pasti ada maunya."

"Nah, ternyata ngerti juga ibuku ini, jadi malu, hehehe. Biasa bu, Ilham sama Bayu katanya pengen nyoba makan pizza." Yoga diam beberapa saat. Tak lama kemudian wajahnya berubah dengan ekspresi memelas. "Kasihan mereka, takutnya nanti keburu mati dan belum sempat nyobain pizza. Alamat mati penasaran mereka, Bu."

"Hahaha, kenapa gak nyoba aja, atuh, ada ada aja. Beli sana minta uangnya sama Bayu, bukankah dia bendaharanya?" balas Dhena seraya memasukan tangan kanannya ke kantong celana. Dhena sangat paham kemana arah pembicaraan Yoga.

"Yaa.. ibu." Yoga kecewa, "uang makan ya buat makan. Kalau pizza bukan makan, Bu," lanjut Yoga seraya cengengesan malu-malu kucing. Kedua matanya berbinar menatap wajah Dhena yang sedikit cemberut. "Anak-anak maunya pizza yang dibeliin ibu," pungkas Yoga.

"Hmm sudah kuduga. Ni, daripada mati penasaran, ntar arwahnya gentayangan lagi." Dhena tersenyum geli, hatinya terbahak-bahak. "Tapi, belinya dua aja! Ibu lagi bokek, belum gajian." Dhena menarik keluar tangannya dari kantong celana.

"Alhamdulillah, terima kasih guruku yang baik hati dan super cantik. Ibu tak pernah mengecewakan kami. Sejak kami masih siswa hingga kini jadi alumni, You are the real most wanted teacher." Yoga membungkuk ala orang Jepang yang menghormat. Kedua tangannya sigap menyambar tangan Dhena yang memegang dua lembar uang kertas warna merah.

Sontak semua petugas bertepuk tangan dan tertawa riang. Mereke berebut menciumi tangan gurunya seraya mengucapkan terima kasih. Moments kecil yang sangat indah dan membahagiakan seperti ini, belum tentu bisa diperoleh di tempat lain.

Walau mereka telah berstatus alumni, namun kedekatan dan keakraban dengan semua guru-guru STM BM tak pernah pudar. Semua alumni STM BM, terkenal kompak dan tetap menjaga persatuannya. Mereka tergabung dalam wadah ikatan alumni.

Keakraban Dhena dengan siswa aktif maupun para alumni, tidak membuat siapapun kurang ajar. Dhena menempatkan diri sebagai guru, sahabat juga orang tua bagi siswa dan para alumni. Mereka saling menghormati dan menyayangi dengan tulus ikhlas.

Setelah membaca laporan kegiatan tadi siang, dan memeriksa semua wardrobe dan property pameran, Dhena pun meminta diri pada Yoga untuk melihat-lihat stand lain dan kegiatan lomba marawis antar kecamatan, di panggung utama.

Dhena berdiri cukup jauh dari panggung utama. Halaman salah satu kantor dinas. Tempat terbuka, lengang dan cukup terang, namun bisa melihat panggung utama dengan jelas.

Sengaja Dhena mengambil space yang agak jauh. Malas berdesakan hanya untuk mengambil beberapa gambar kegiatan di panggung unutk melengkapi laporan harian pada pihak sekolah.

"Assalamualaikum." Salam seseorang dari arah belakang, mengejutkan Dhena. Segera ia membalikan badan seraya mundur satu langkah.

"Waalaikumsalam," balasnya sambil mengernyitkan dahi.

Pandangan Dhena tertuju pada lelaki yang rambut dan dahinya tertutup topi. Sementara hoodie hitam dan celana cokelat selutut membungkus tubuhnya. Sneaker abu-abu pun melengkapi penampilan remaja yang berusia kira-kira 22 tahuan itu. Dia tampak sangat rendy dan kekinian.

Pemuda itu tersenyum manis sambil membalas tatapan Dhena. Sementara otak Dhena bekerja keras mengumpulkan potongan-potongan wajah banyak siswa yang tersimpan di memorinya.

Membaca dan mengingat-ingat siapa gerangan makhluk gagah dan tampan yang sedang berdiri di depannya. Dia merasa pernah bertemu, namun kapan dan dimana.

"Gimana kabarnya, Bu?" Pemuda ganteng itu sedikit membuyarkan penelaahan Dhena.

Ia membungkuk lalu meraih tangan kanan Dhena dan menciumnya dengan tulus.

Deg! Jantung Dhena berdegup kencang. Remaja yang aroma tubuhnya sangat harum itu mencium tangannya, berarti dia salah seorang alumni SMKN 89 atau STM BM.

Dhena tertegun beberapa saat.

Setelah mencium tangan. Pemuda itu menatap sendu.

"Ibu masih kenal saya?" tanyanya dengan sedikit memiringkan kepalanya yang bertopi. Bibirnya sedikit tersungging.

"Hmmm siapa ya? Maaf, alumni BM atau SMKN?" tanya Dhena.

Kening Dhena kembali mengkerut. Dua bola matanya menyapu sekujur tubuh lelaki di depannya yang sejak tadi hanya tersenyum senyum.

Cukup banyak siswa yang akrab dengan Dhena. Namun sering dia dan guru pada umumnya, sering lupa jika sudah lulus atau lama tak bertemu. Apalagi jika ada perubahan fisik dan penampilan yang signifikan.

"Saya alumni STM BM," jawab pemuda itu kalem.

"Ibu masih ingat toilet gate Anyer?" lanjut alumni BM itu seraya menutup mulutnya dengan tangan kiri sepertinya dia menyesali ucapannya. Raut wajahnya meringis dan malu-malu.

"Afrizal?" Seru Dhena dengan mata terbelalak.

"Ya, saya Afrizal Putra Pratama." Balasnya seraya melepaskan topi yang menutup sebagian kepalanya.

Deg! Jantung Dhena hampir copot. Darah di wajahnya berdesir panas. "Rizal bukan?" tanyanya masih tak percaya.

Tatapannya kembali menyapu sekujur tubuh jangkung.

"Betul. Ternyata ibu masih ingat saya, hehehe," jawab Rizal seraya tersenyum lebar, bola matanya berbinar cerah.

"Rizal! Masya Allah!" seru Dhena tertahan, "ini bener Rizal? kok beda amat, sih?" Dhena kembali berseru seraya memegangi lengan Rizal.

Hampir saja Dhena melompat dan memeluknya. Namun otak warasnya masih sadar. Banyak orang yang sedang duduk dan melintas di sekitar situ.

"Afrizal Putra Pratama, hehehe." Rizal kembali memperjelas namnya. Matanya tak lepas menatap bola mata Dhena yang bersinar indah.

"Kamu ganteng amat, Zal?" Tak sadar bibir Dhena berucap.

"Ibu juga sangat beda. Saya aja rati ragu-ragu mau negur ibu. Takut salah orang." Rizal terdiam. Lalu mendekatkan wajahnya ke telinga Dhena. "Ibu makin cantik dan menggemaskan," bisiknya.