webnovel

2

CHAPTER 2 – HEESUN’S CUSTODY

October 14th, 1999

Daegu, South Korea

Park Heesun sama sekali tidak tahu, bahwa di balik popularitasnya sebagai siswi cantik dan berprestasi, ada satu siswi yang sangat berharap bahwa suatu saat, Heesun akan jatuh sepertinya. Sebaliknya. Di balik kebencian siswi tersebut, ia tak tahu apa yang telah dilalui Heesun, sama sekali tidak sebanding dengan apa yang ia lalui.

Pagi ini, pelajaran pertama adalah olahraga. Jadilah semua murid mengenakan kaos biru dan celana training abu-abu, mereka berada di lapangan sekarang. Semua murid terlihat riang dan saling bertukar senyuman sembari melempar bola tangan. Wajah Heesun sangat berseri, tidak dengan siswi yang memusuhinya tersebut.

"Min Yoonseo! Lempar bola yang benar, dong!" seru salah satu siswi.

Min Yoonseo. Yang membenci Heesun, dan segala kesempurnaan yang gadis itu miliki. Ia diam-diam menggerutu. Yoonseo menilik sekilas, Heesun tertawa bersama gengnya. Yoonseo mengangkat bola tangan ke udara, bermaksud melemparkannya ke pada Heesun.

Syut!

Sontak, pasangan lempar bola Yoonseo menyadari apa yang dilakukannya. Ia berteriak, "Heesun-ah! Awas!"

Heesun yang tidak terlalu fokus itu terkena bola cukup keras. Duak! Sontak, gadis itu pun tersungkur di rerumputan basah, dan yang dapat ia lihat sekarang hanyalah beberapa orang mengelilinginya. Ia ingin, agar Jimin di sini segera. Karena, ketika ia bersama dengannya, ia merasa aman.

"Heesun-ah! Jongshin jaryeo!" (Sadarlah!)

Berita ini sampai di sebuah kelas di lantai paling atas. Paling pojok di akhir koridor, adalah di mana berita tentang Heesun sampai membuat si ketua kelas marah.

"Jim, adikmu terluka karena bola tangan," ujar Namjoon.

Jimin berdiri dengan kasar, memukul meja hingga tak ada satupun murid yang berani berkutik. "SIAPA?! SIAPA YANG BERANI MELUKAI URI HEESUN?!" Untung saja saat ia berteriak seperti itu, guru yang mengajar saat itu sedang pergi ke toilet.

"Sampaikan ijinku ke Bu Oh. Aku akan ke UKS sekarang."

"Tapi Jimㅡ"

Brak!!

Jimin menatap Namjoon, sang wakil ketua kelas dengan tajam dan mampu mengiritasi pikiran. "Neon. Nae mareun andeunda?!" katanya dengan aksen Gyeongsang. (Kau. Tidak dengar apa kataku?!)

Namjoon hanya diam, tidak ingin memperpanjang urusan ini dengan sisi pemarah Jimin. Namjoon menggeser posisinya sehingga Jimin menemukan jalannya untuk keluar dari kelas.

***

Saatnya pulang. Yoonseo berjalan sendirian setelah bel pelajaran terakhir berbunyi. Ia bercengkerama dengan beberapa orang murid tadinya, namun tak bertahan lama karena murid-murid tersebut justru memberi saran yang Minseo tidak suka. Gadis yang tertinggi di sekolah itu berhenti kala ada yang menghentikan langkahnya. Tepat di depan gadis itu, Jimin berdiri dengan rahang yang mengeras.

"Kau apakan adikku?"

Yoonseo menautkan kedua alisnya. "Mwol haneunji? Kau seharusnya bertanya pada adikmu tersayang itu." (Apa yang kulakukan?)

"Cih. Kau gila, ya?"

Jimin maju selangkah hingga wajahnya tinggal satu inci dari wajah gadis itu. Tangan Jimin di pinggang, kemudian ia mulai menasihati Yoonseo dengan kesabaran di ambang batas.

"Mau kuberi saran? Jauhi adikku, atau kau akan hancur oleh kawan-kawanku."

Jimin langsung berlari masuk lagi ke dalam gedung sekolah, menuju UKS. Rasanya, di sini agak pengap karena sirkulasi udara tidak begitu baik. Memang ada banyak keluhan mengenai ventilasi UKS.

Di sana ia melihat Heesun terbaring dengan selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. Jimin berjalan pelan agar adiknya tidak terbangun. Ia duduk di sebelah ranjang, memperhatikan wajah Heesun sembari salah satu tangannya mengusap pipinya.

"Andai saja aku bisa menjagamu 24 jam per 7 hari, kau takkan terluka seperti ini, dan Yoonseo ... dia akan musnah begitu aku menemukan bukti-bukti ia menjahatimu."

Heesun terlihat damai, tertidur pulas. Jimin berulang kali mengulang sebuah kata penyesalan yang berujung pada sebuah kata. "Maafkan aku." Lelaki itu menunduk sehingga pandangannya sejajar dengan lengan Heesun.

"Kau dimaafkan."

Jimin sontak melihat ke arah wajah Heesun. Wajahnya kembali berseri, bibirnya mengukir senyuman. Tidak mungkin. Heesun 'kan tidak sadarkan diri, batinnya. Tampaknya, ia sudah merencanakan ini sejak kehadiran kakaknya di UKS.

"Apa-apaan?" ujar Jimin terkekeh beberapa saat kemudian. "Kukira kau belum sadarkan diri, nappeun gashina." (Gadis nakal.)

"Jika aku gadis nakal, itu akan membuatmu menjadi lelaki nakal juga, oppa." Heesun bangun dan bersandar pada headboard ranjang UKS dengan senyuman yang menunjukkan gigi rapinya.

"Kenapa begitu?" Jimin mengernyitkan dahi.

"Karena aku sekandung denganmu. Apa yang membuatmu baik, akan baik juga untukku, oppa," Heesun berujar sementara Jimin memainkan ujung selimut yang dikenakan sang adik.

Banyak yang iri dengan Heesun. Punya kekayaan, punya segalanya, punya kakak rasa pacar yang selalu diinginkan banyak adik perempuan, dan Heesun punya seorang lelaki yang merupakan dambaan semua gadis untuk menjadi pasangan mereka. Ya, hampir semua gadis di Kyuhak mengidolakan Park Jimin. Namun, masih kalah dengan Jeon Jungkook dari kelas 3-2ㅡJimin berada di 3-1.

"Pulang ke Rumah Sakit, atau ke rumah?" tanya Heesun.

"Kita jenguk ibu dulu, ya? Semoga ada kabar baik mengenai kondisinya."

Rumah Sakit Universitas Keimyung tidak seramai biasanya. Mungkin semesta sedang berbaik hati membuat orang-orang jauh dari sakit-penyakit untuk sementara waktu. Hey, ibu Heesun adalah perkecualian di sini. Ia sakit karena menahan sakit. Sudah jelas.

"Heesun-ah. Kau masuk duluan, aku akan membelikan makanan di kantin Rumah Sakit. Kita makan bersama ibu di dalam nanti, ya?" Jimin menepuk bahu Heesun sembari tersenyum.

"Arratdei!" jawab Heesun riang. (Aku mengerti!)

Jimin berbalik, figur atletisnya semakin kecil di mata Heesun. Sejenak, tubuhnya hilang dari pandangan. Heesun pun memutuskan untuk masuk. Ketika pintu baru dibuka sedikit, ia mendengar sebuah percakapan serius antara ibu dengan ayah. Masalah suami dan istri.

"Surat dari pengadilan sudah keluar. Saatnya kita membagi hak asuh kita, Ilhwa."

"Kau tidak bisa melakukan ini padaku, yeobo. Aku masih sakit dan kau tega sekali membicarakan ini...."

Suaranya kecil, namun artikulasinya jelas. Nyonya Park adalah seorang pianis sekaligus soprano dari sebuah grup paduan suara terkenal di sebuah gereja di Busan. Tidak heran artikulasi setiap kata yang diutarakannya sangat jelas.

Menikahi Park Yonghwaㅡpengusaha tekstil, membuatnya harus berpindah ke Daegu. Saat itu, menikahi seseorang tanpa cinta adalah hal terberat. Ralat. Park Yonghwa pernah mencinta, namun rusak kepercayaan itu karena seorang pelatih vokal yang dirasa menyelingkuhi Nyonya Park. Tidak heran, jika Nyonya Park melarang dirinya sendiri untuk bernyanyi, memendam suaranya.

Trauma, namun tidak seperti trauma.

"Aku tidak mau tahu. Aku sudah memutuskannya. Heesun akan ikut denganku. Jimin akan ikut denganmu, Ilhwa-ya."

"Andwe! Andwerago!!" (Tidak! Aku bilang tidak!!)

Apa jadinya jika Heesun ikut dengan ayahnya yang sangat emosional? Ia tak dapat membayangkan itu. Apakah ia akan bernasib sama seperti ibunya, memendam semua rasa jengkel yang tersebab oleh karena sang ayah?

Netranya menghangat. Setitis air mata jatuh dengan lambat, memeluk pipinya dengan lembut. Hatinya terasa tanah yang basah, yang ambles oleh beban berat. Heesun tak mau lagi mendengarkan perdebatan ini. Ia berbalik dan meninggalkan pintu ruangan terbuka begitu saja. Karena langkah kaki Heesun yang bergema, dua orang yang ada di dalam tersadar bahwa ada orang yang ingin masuk, menjadi tidak jadi karena orang itu tahu apa yang mereka bicarakan. Mereka yakin, antara Jimin atau Heesun.

***

Jalan menuju sebuah toko kelontong sederhana masih cukup jauh. Yoonseo harus melewati tanah berkerikil dan debu bercampur air akumulasu hujan sore ini. Tak masalah bagi Yoonseo, rintik hujan seakan tak terasa karena terbiasa.

Langkahnya semakin dekat dengan toko tersebut. Namun, hatinya tidak di sana. Di toko itulah ia dibesarkan dan tinggal, bersama seorang ibu yang ditinggal suaminya akibat kerusakan lambung. Ya, suaminya peminum dan menjadi gila karena kakak Yoonseo yang kabur, tak pernah kembali.

"APA YANG KAUKATAKAN TENTANG ANAKKU?! SSEURAEGI GATEUN NUMDEUL ... GEOJEORA!!" (Kalian orang-orang macam sampah ... pergilah jauh!!)

Langkahnya terhenti, hatinya semakin berat. Melihat ibunya berjuang untuk melindungi aibnya, ia merasa tidak tega. Namun, Yoonseo sendiri juga tidak dapat menahan rasa irinya pada kesempurnaan Heesun. Ia merasa, ia berhak mendapatkan yang sama dari ibunya.

Sekarang, ibunya hanya menatap sang anak gelisah, kemudian masuk ke dalam toko.