webnovel

1

CHAPTER 1 – BIRTHDAY TRAGEDY

October 13th, 1999

Daegu, South Korea

Seragam sekolah yang bernuansa putih biru milik Kyuhak Highschool seakan menjadi gambaran jelas mengenai cuaca di musim gugur hari ini. Cerah dan sejuk. Tertanggal, 13 Oktober 1999. Hari ini adalah hari besar bagi Heesun dan kakaknya, Jimin. Mereka berada di ruang tamu rumah yang sederhana. Tak lama kemudian, kedua orangtua mereka turun dari tangga dengan wajah berseri.

"Selamat ulang tahun, Jimin," ujar sang ayah kemudian memeluknya. Demikian juga sang ibu, setelah sang ayah, giliran sang ibu yang memeluknya."

"Terima kasih, ayah, ibu." Jimin mengulas senyum simpul, dan kini ia beralih tatapan ke sang adik di hadapannya.

"Selamat ulang tahun, oppa," ujar Heesun sembari menyerahkan tangannya, bermaksud menjabat tangan kakaknya itu.

Jimin tidak bereaksi banyak selain tersenyum dan memeluk adiknya yang menggemaskan itu. "Seharusnya, kau memberiku pelukan, karena aku tidak suka bila harus bergerak setengah-setengah." Heesun hanya tertawa.

Mereka kemudian pergi ke sekolah dengan sepeda setelah berpamitan, karena pada tahun tersebut, sepeda adalah sebuah kebanggaan besar bagi pemiliknya. Lincah, dan mampu membawa pengendaranya ke mana-mana tanpa menunggu lama.

Heesun mengikuti kakaknya, melewati ladang gersang yang silih berganti menjadi taman bunga dalam beberapa kilometer. Mereka belum tiba di sekolah, namun, Jimin sepertinya enggan bersekolah hari ini. Jimin memilih berhenti di tengah jalan antara dua taman bunga yang sepi. Heesun pun berhenti dan bertanya dengan penuh kebingungan.

"Oppa, kenapa berhenti? Kita 'kan mau sekolah."

Jimin yang menghadap taman bunga itu menoleh tanpa membalikkan sedikit pun tubuhnya, kemudian tersenyum. "Aku berulang tahun, jadi tidak akan ada sekolah hari ini."

Jimin meninggalkan sepedanya dan berlari ke tengah taman. "Aku sudah berumur tujuh belas tahun! Wohoooo!!!" Teriakan bahagia Jimin membuat Heesun tersenyum. Sebahagia itu.

"Oppa, apa yang bisa kita lakukan saat kita mencapai umur tujuh belas, memangnya?"

Jimin yang sudah agak jauh dari Heesun di tengah taman itu membalikkan tubuhnya, berjalan mundur. Sementara Heesun berjalan maju. Wajah mereka saling bertemu.

"Banyak!" serunya sedikit berteriak.

"Berikan tiga alasan, oppa!"

"Hmm ... apa, ya?" Jimin berhenti. Ia tampak berpikir keras. "Usia tujuh belas tahun itu menyenangkan, pokoknya. Kau boleh meminum apapun yang kau mau, kau boleh menyetir, kau boleh berpacaran, kau boleh ... semuanya!" Jimin merentangkan tangannya dan berbalik berjalan ke tengah taman.

Surai Heesun diterpa angin, mengakibatkan pengelihatannya dipenuhi dengan sekelibat bayangan garis-garis yang menutup pemandangan kakaknya yang sedang berputar-putar di tengah sana. Jika dipikir ulang, Jiminlah yang cukup kekanak-kanakan di sini, sedangkan Heesun sangat tenang dan cukup dewasa.

"Heesun-ah! Kemarilah!" Heesun tersenyum sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia disambut dengan pelukan sang kakak di tengah sana. "Aku menyayangimu, dongsaeng-ah," ujarnya.

"Aku juga menyayangimu, Jimin oppa."

Setelah puas duduk-duduk di lantai alam, mereka memutuskan untuk pergi ke sebuah tempat yang lebih sering mereka kunjungi daripada taman bunga. Surai Heesun dan Jimin tersisir ke belakang oleh angin, netra mereka menyipit karena gesekan udara dengan bola mata.

Tibalah mereka di tepi pantai Haeundae. Perjalanan yang panjang ditebus dengan indahnya mentari pagi yang menyorot langsung ke atas tubuh mereka. Keduanya kini melepas alas kaki, menyisakan kaki yang telanjang.

"Hangat, ya?" tukas Heesun. "Pasirnya hangat, tapi udaranya sejuk."

Jimin terkekeh sembari lanjut berjalan di sepanjang bibir pantai, beriringan dengan Heesun. "Entah kenapa, ya, dongsaeng-ah. Perasaanku tidak enak."

"Kenapa?"

"Ayah dan ibu. Aku khawatir sekali karena mereka sering bertengkar."

Heesun tersenyum, perlahan mengambil alas kaki Jimin dan membawanya dengan tangan kanan yang menganggur. "Urusan orangtua, biar mereka saja yang urus. Kita hanya perlu bersekolah dan mengembalikan apa yang mereka berikan."

Jimin tertawa. "Kau dewasa sekali, dongsaeng-ah. Sudahlah, ayo kita duduk di mana pun."

***

Rumah yang tadinya damai, berubah mencekam. Jika disusuri perlahan mulai dari lorong lantai dua, tada jejak titisan air di atas lantai marmer. Namun, ada setitik darah di depan pintu kamar mandi. Terlihat seorang wanita paruh baya yang menahan sakitnya akibat mengiris tangannya sendiri. Sementara seorang lelaki paruh baya hanya duduk diam di sofa ruang tamu, menenangkan diri.

Sungguh bukan pemandangan yang indah di antara suami dan istri. Mereka memang dipaksa untuk menikah, dulunya, memendam semua rasa bersalah dan kesedihan. Sehingga, inilah waktu yang tepat untuk itu semua mencuat ke permukaan.

Memang sudah saatnya.

Perlahan-lahan, mentari mulai terbenam dengan anggunnya. Perasaan bahagia yang dibawa kedua anak pasangan Park Yonghwa dan Lee Ilhwa itu tidak bertahan hingga satu jam ke depan. Setelah mereka masuk ke rumah dan mendapati rumah yang berantakan dan aura yang mencekam, mereka langsung memikirkan ibu mereka.

"Oppa! Ibu!"

Jimin sontak berlari tanpa memedulikan bahwa sang ayah hanya duduk menonton televisi di ruang tamu. Heesun yang melihat itu sangat sakit, seakan hatinya digores tapi tidak berdarah.

"Ayah? Apakah ayah tahu, apa yang terjadi pada ibu?"

Ayahnya diam tak bereaksi apapun. Ini membuat Heesun semakin kesal dan memutuskan untuk diam, daripada ia dicap sebagai anak durhaka yang berani membela salah seorang dari orangtuanya. Heesun takut jika ia dianggap tidak suportif terhadap ayahnya, dan memilih ibunya.

"Heesun! Heesun! Panggil ambulans!"

***

Ruangan bernuansa putih itu tampak tidak asing. Kala Nyonya Park membuka netranya, yang ia tangkap pertama adalah wajah kedua anaknya yang tampak sangat khawatir. Nyonya Park tersenyum lemah, mengangkat tangannya yang tadi diiris, mengelus pipi Jimin yang basah.

"Sudah pulang, Nak?" Jimin mengangguk lemah. Barusaja tadi di pantai, ia dan Heesun membicarakan pertengkaran ayah dan ibunya. Ternyata, terjadi lagi di hari bahagianya.

"Ibu baik-baik saja. Hanya kekurangan darah," ujar beliau lemah. "Nak, jangan benci ayahmu, ya? Ibu yang salah."

"Apanya?" tanya Heesun terdengar sedikit emosi. Kemudian, gadis itu menghela napasnya untuk menahan emosi. "Ibu. Ini tidak bisa dibiarkan. Lihat tangan ibu. Hampir tidak ada tempat bagi ibu untuk mengiris kulit yang masih bagus. Semua penuh bekas. Tidak lelah, apa?"

"Heesun! Kau tidak boleh seperti itu pada orang sakit!" Jimin membentak adiknya yang ada di sampingnya.

"Maafkan ibu, ya, Jimin? Ibu mengacaukan kebahagiaanmu hari ini."

Jimin mengernyit, menyentuh punggung tangan ibunya yang satu. "Kenapa minta maaf?"

"Ibu tahu. Kau membolos hari ini. Tadi, Kim ssaem menelpon rumah, dan ayahmu mengangkatnya."

Heesun merasa tidak akan kuat jika ibunya harus menyebut ayahnya. Heesun keluar dari kamar rawat inap, kemudian duduk di bangku yang tersedia di depan kamar. Ternyata, Jimin menyusulnya.

"Dongsaeng-ah...."

Gadis itu mendongak, mendapati wajah kakaknya yang kusut. Ia tersenyum sedikit dan bertanya, "Oppa. Katamu, di usia tujuh belas ... kau bebas melakukan semuanya?"

Jimin mendekat dan berjongkok di depan Heesun. "Hmm ... tidak semua, sih. Memangnya kenapa?"

"Aku ingin sekali ibu berpisah dengan ayah. Adakah cara untuk membuat ibu membenci ayah?"

Jimin melongo untuk sesaat, kemudian ia tertawa dengan sedikit sarkasme. "Katamu barusaja ... urusan orangtua, kita tidak boleh mengurus. Biarkan saja mereka, dan kita hanya harus menyelesaikan urusan kita sebagai anak dan sebagai saudara."

Heesun mengangguk, kemudian bangkit bersama dengan Jimin. Mereka berniat pulang dan membereskan kekacauan rumah. Namun, langkah mereka harus terhenti oleh kehadiran seseorang yang membuat sebuah chaos hari ini. Lelaki paruh baya itu berjalan semakin dekat ke arah mereka dengan amplop cokelat besar di tangannya.

"Ayah?"