webnovel

Yang Tak Pernah Tersenyum

Lembu yang boleh bekerja untuk membajak sawah adalah lembu yang sudah terbiasa dapat job. Jika belum terlatih maka jangan coba-coba langsung mengikut sertakannya upahan di sawah orang. Karena akan mengecewakan pemilik sawah.

Sawah tidak selesai dibajak, malah nambah masalah. Seperti saat membajak lembu malah lari-lari ke sawah orang lain yang baru tiga hari kemarin ditanami padi, lembu tidak beraturan, berantakan, ada yang mutar ke kanan, ada yang menyepak lembu yang lain dan saling berantam, saling menanduk dan ada pula lembu yang menutup mata saat berputar karena belum dibiasakan pemiliknya.

Maka caranya ialah penggembala harus memperaktikkannya di sawahnya sendiri terlebih dahulu, jangan langsung praktik di sawah orang, bisa runyam! Bagaimana dengan orang yang tak punya sawah seperti Epet dan Yok? Ya bisa membantu di sawah saudara dekat terlebih dulu.

Empat jam kemudian lembu kami sudah terlihat lelah.

"Ya sudah, lanjut minggu depan." kata pak penghulu. Kemudian lembu pun kami arahkan ke pinggir, di pinggir sawah pak penghulu ada tumpukan tanah yang lebih tinggi dari sawah dan banyak rumput. Jika kelamaan menunggu minggu depan, menunggu kami libur sekolah, maka penghulu atau pun lainnya akan meminta Ninik Wok Yan dan Aman Khek untuk ngobo di sawahnya, sebab dua orang inilah yang tak seumuran anak sekolah lagi.

Lembu kami istirahat sambilan makan berdiri, ada pula lembu yang langsung baringan. Pak penghulu menjaga lembu kami untuk sementara, aku dan Piyah makan pagi di gubuk kecil yang berdiri di tengah sawah pak penghulu.

Dua puluh menit yang lalu anak gadisnya membawakan nasi dan lauknya. Anak gadisnya ini juga teman kami mengaji, dia lebih tua dariku bahkan lebih tua dua atau tiga tahun dari Piyah. Kakak ini sering kali mengejekku sewaktu pulang mengaji malam di balai Pengajian Pak Bahri. Katanya, "Daud berkulit gelap!" dengan bahasa daerah kami tentunya.

Kenapa kami dapat makan? Karena memang seperti itu adatnya. Jika ada penggembala yang bekerja di sawah orang lain, selain membayar dua puluh atau dua puluh lima ribu, pemilik sawah juga menyiapkan makan untuk pemilik lembu yang sudah payah bekerja.

Aku dan Piyah sudah mandi keringat. Tapi begitu telah duduk dan makan di atas gubuk, hum, luar biasa nikmatnya! Kenikmatan setelah keletihan. Kami memang sengaja tidak makan pagi, sebab sudah pasti dapat makan nantinya dan lauknya enak-enak semua. Kadangkala kami senang dan tidak senang hari minggu, lembu juga begitu. Lembu juga suka dan tidak suka pada hari minggu.

Senangnya kami adalah diajak membajak sawah dan dapat upah, dan tidak senangnya ialah karena hanya pada hari minggu dan pada musim bersawahlah lembu bisa makan sejak jam sepuluh pagi. Karena rata-rata selesai bekerja jam sepuluh dan lembu bisa makan sepuasnya hingga waktu mengangon sampai sore. Di lain hari itu, lembu bakal makan setelah aku pulang sekolah, yaitu pukul dua belas siang.

Kalau hari bekerja, sampai di tempat mengangon kadang lembu tidak banyak makan. Ada yang malah tidur-tiduran, sebab sudah makan sejak jam sepuluh tadi pagi, dan juga memang karena lelah bekerja paginya dan beristirahat di siangnya. Ya, lembu juga punya waktu utuk tidur siang. Ketika lembu tidur ia akan rebahan ke kanan atau kekiri, melentangkan leher, matanya ditutupi kedua telinganya, kalau telinganya pendek susah ia mengusir lalat yang minum di pelopak matanya. Lalat suka sekali menjilat mata-mata lembu yang basah.

Sudah satu jam lebih istirahat di gubuk pak penghulu, kami pun membangunkan lembu yang sedang baringan lalu pulang dan masuk kandang. Sampai di rumah kami mandi dan istirhat. Satu jam kemudian waktunya mengangon. Karena tadi malam hujan lebat dan ini adalah bulan musim hujan, kami sepakat hari ini kami menggembala di gunung.

"Jadi kan kita ke gunung, Nik?" tanyaku pada Ninik Wok Yan yang sudah lewat depan rumah kami. Beliau adalah senior, kadang beliualah penentu di mana kami mengangon. Kami hanya mengikut kemana dan di mana beliau menggembala.

"Ya ayo cepatlah buka kandang!" Ajakmya sambil mengarakkan lembu-lembunya.

"Piyah, ayo, Ninik sudah lewat itu!" ajakku membangunkan Piyah yang masih tidur. Aku sudah siap-siap. Piyah segera bangun dan mencuci mukanya.

"Aku duluan buka kandang ya? Nanti jangan telat nyusul!" kataku.

"Ya, duluanlah." sahutnya. Aku keluar rumah dan membuka kandang lembu. Lembu Getuk-ku sangat lelap tidurnya hingga susah aku mebangunkannya, sepertinya Getuk mimpi indah gara-gara bekerja tadi pagi.

"Bangun, Getuk!" kataku sembari memukul paha belakangnya bagian kanan, barulah ia sadar dari mimpinya. Tidak berapa lama Piyah pun datang dan kami pun menyusul teman yang lain dari belakang. Waktu berpergian hendak ke tempat menggembala seperti inilah lembu-lembu membuat kotoran di atas aspal.

Ada lembu yang sambil jalan sambil keluarkan kotoran, ada juga lembu yang sudah terbiasa buang kotoran di kandang dan tempat gembala, dan lembu yang nakal buang kotoran dengan berhenti di tempat sehingga ia tertinggal jauh dari teman-temannya, kami sebagai pemilik mesti salah satu dari kami menunggunya selesai buang kotoran.

Kalau tidak ia akan makan tanaman orang sebab ditinggalkan sendirian di belakang. Itulah salah satu gunanya kalau menggembala itu mesti dua orang, kalau seorang saja maka saat menunggu satu lembu nakal selesai buang kotoran, kelompok lembu di depan bisa bubar barisan. Tapi ada tipikal lembu yang kalau buang kotoran bisa sambil jalan, ia tak perlu berhenti sehingga kotorannya berjajar memanjang di atas aspal. Dan ada juga lembu yang baik, saat buat kotoran ia berhentik namun setelah itu ia jalan lagi dan tidak memakan tanaman orang di pinggir jalan umum.

Untung saja pemerintah daerah tidak mempersalahkan kotoran lembu di atas jalan raya. Mungkin pemerintah sudah tahu bahwa kecamatan Lawe Alas, Tanoh Alas, Babul Makmur adalah penduduk yang banyak memelihara lembu, atau memang mereka tidak peduli ya? Sering kali Pak Camat Lawe Alas lewat dengan mobil birunya, berpas-pasan dengan kami. Kalau lah dipermasalahkan, kami juga kerpotan harus membersihkan kotoran lembu yang segitu banyak di atas aspal.

Tak pandang bulu, mobil siapa saja yang lewat, kami bakal menyuruh lembu-lembu kami menyamping. Karena telah terbiasa tiap lima hingga sepuluh menit sekali mobil lewat, lembu-lembu kami juga mengerti mereka harus minggir. Namun lebih sering harus kami suruh dulu. Mungkin karena lembu kami merasa dialah pemilik jalan, mereka malas menggeser ke kiri.

Tidak sepenuhnya begitu, karena memang jumlah lembu kami banyak sehingga jalan aspal itu penuh bahkan ada lembu yang jalannya menapak di atas rumput, keluar dari aspal sebab tidak dapat tempat. Tapi ada juga lembu kami yang memang tidak suka dengan aspal, seperti Gula dan Getuk.

Kalau Getuk okelah mungkin karena dia telah lansia, sepatunya sudah menipis, ia merasa sakit menginjak aspal dan kerikil, namun si Gula yang cantik manis, sexy dan masih muda itu? Dia masih seumuran emak dua anak, telapak kakinya masih kuat, tapi ia memilih mengalah dan jalan di atas aspal. Memanglah Gula itu Cileh Pekhasat, bagus sifatnya.

Kami naik gunug dari desa Pedesi atau nama desa yang tertulis di atas kertas dan pamplek dan catatan resmi kabupaten adalah Rambah Sayang. Lewat desa inilah kami naik gunug. Karena jalan yang lebih dekat adalah dari desa ini.

Di Alur Langsat belum ada jalan seluas jalan mobil untuk naik gunug, hanya jalan setapak saja dan masih berupa tanah yang ditimbun menjadi jalan bukan aspal atau pun kerikil. Tentu lembu tidak bisa melintas, bisa-bisa hancur, berat badan mereka yang berpuluh-puluh kilo gram.

Namun yang kami takuti lewat desa ini adalah rawannya. Di samping kiri kanan jalan adalah sawah. Kalau musim jagung ditanam jagung. Karena jalannya tidak ada pagar sehingga banyak lembu yang keluar dari kelompoknya dan meloncat masuk ke dalam sawah dan menginjak padi yang baru ditanam.

Kami senang dan leganya waktu pemilik padi sudah panen sehingga kami tidak perlu lagi takut dengannya. Karena pemilik sawah yang sebelah kananya sangatlah sangar, dia suka bawa parang, dia kadang menjaga sawahnya, kadang dilihatinya dari rumahnya yang tidak terlalu jauh itu, swahnya tepat di belakang rumahnya.

Dia suka bawa parang, kalau ada lembu kami yang berani masuk akan dia kejar dan dia tidak segan-segan membacok lembu. Kami pemilik lembu tidak berani cari gara-gara dengan orang yang satu ini. Tidaklah baik jika kusebutkan nama orangnya, dia adalah rahasia umum di kalangan pengangon.

Kata senior-senior sudah pernah ada lembu yang dibacok dan aku belum pernah melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Tetapi melihatnya marah saja aku bergetar, aku pernah satu dua kali diomelinya, dia lelaki yang bekata pedas saat mengomeli kami. Maka kami pun menggunakan cara yang lain, kami sama-sama menyeberangkan satu kelompok lembu untuk dikawal tujuh orang, tiga orang di samping kiri, tiga orang di samping kanan dan satu orang dari belakang.

Kalau sudah sebanyak ini yang menjaga sudah tidak ada lagi kesempatan lembu untuk melompat ke dalam sawah. Atau dengan cara yang kedua, boleh berdua saja asalkan lembunya diansur-ansur lima atau enam lembu.

Jangan sekaligus lewat satu kelompok, tapi cara ini juga sulit dilakukan sebab lembu tidak mau ketinggalan oleh kelompok pertama, ada saja lembu yang berusaha mengejar ke depan.

Setelah semua lembu kami lewat dari rintangan yang kejam itu, kami pun naik ke gunung. Saat hendak naik gunung, kami lewat dari desa Batu Seding. Kenapa nama desa ini dinamakan demikian? Dulu kata orang kampung ada batu besar yang miring, seding artinya miring.

Dulu masih banyak penduduk yang tinggal di bawah kaki gunung ini, penduduk Batu Seding masih lumayan banyak. Tetapi pindah ke depan, dekat jalan raya karena dulu sedang masa gawatnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Saat pulangnya kami lewat dari desa Pedesi, rutenya keliling.

Jalan dari desa Batu Seding ini tanjakkannya lumayan sulit untuk dinaiki. Tanjakan yang tinggi tidaklah mempan bagi lembu yang kurus dan masih kuat. Tetapi lembu yang gendut dan sudah tua, kasihan aku melihatnya. Seperti lembuku yang Induk, dia berjalan bagaikan bebek entok. Napasnya tersendat-sendat, air liurnya keluar, air matasnya menetes, tanjakkan bagaikan derita hidupnya.

Temannya sudah jauh, ia masih di tanjakan pertama. Mau bagaimana pun aku memaksa dengan pukulan, dia tidak akan mempan. Ia pasrah kalau aku sampai tega memukul pahanya bahkan ia tidak marah kalau aku meninggalkannya di belakang. Dia tida akan nakal dan makan tanaman orang meskipun ditinggal jauh, dia tahu hal itu dilarang tuannya, lembu Induk kami lembu baik hati, tak banyak bikin onar seperti Cimun titisan dari Khonjang itu. Dan Khonjang, lembuku yang paling gendut dan besar. Getuk memang sudah tua tapi ia tidak gemoy, dia kurus.

Memang Khonjang lah lembu yang paling ditakuti, tetapi dia jugalah termasuk yang lambat karena tidak sanggup bawa badannya. Apalagi waktu musim hujan begini, jalanan masih becek dan Khonjang tidak jarang terjatuh dan terpeleset tapi tidak sampai terguling-guling. Lembu Cimun-ku? Dia paling duluan daripada lembuku yang lainnya. Di aspal, di padang rumput, di gunung, Cimun memang lembu yang selalau terdepan, pemimpin pasukan.

Mengangon di gunung tidak sesulit mengangon di padang rumput. Di gunung masih luas tempat mengangon, tidak banyak tanaman penduduk. Tidak ada jagung dan padi. Kebanyakan menanam pohon sawit dan Pohon karet yang sudah agak besar, sehingga tidak perlu khawatir pohon karet itu patah karena ditanduk lembu, tidak perlu khawatir dahan sawit gugur gara-gara dicomot lembu. Tetapi kami naik gunung saat musim banjir saja, sudah tidak ada lagi padang rumput yang mau disantap seratus lembu lebih kurangnya, di padang rumput sedang tertutup oleh air dan tanah sebab banjir.

Di Gunung ada makanan yang gratis, seperti buah nangka, cempedak, rambutan dan buah mangga. Selebihnya tidak sembarang ambil, karena akan dituntut pemiliknya. Menggembala di gunung masih bisa berleha-leha, masih bisa tidur. Lembu tidak begitu bandel dan jalan ke sana-kemari. Lembu tidak masalah dengan terik matahari dan hujan, kalau mereka lapar mereka akan makan, kecuali anak-anak lembu yang masih kecil, mereka menggigil kalau hujan lebat, sering sekali mereka bersembunyi di bawah ketik mamaknya.

Di gunung lebih banyak rumput-rumput segar. Tetapi di gunung sepi, lebih ramai di pantai Dona yang selalu banyak orang dan padang rumpu yang luas. Di gunung dikelilingi pohon.

Orang Kuta Cane, seperti kampungku Alur langsat, masih menyakini mitos tentang larangannya menyebut nama Harimau di gunung. Alasannya karena harimau akan datang dan memangsa orang yang memanggil namanya.

Pamali menyebut namanya saat berada di gunung. Maka ada istilah atau sebutan lain untuk nama harimau. Kalau kami sedang berbincang tentangnya dilarang keras bersikap sembarang ucap dan tidak sopan, mesti dengan sebutan: Songkok Male, yang artinya kalau diterjemahkan secara bahasa adalah peci lapuk dan aku tidak tahu maksud selain daripada itu. Atau memakai sapaan; side, yang artinya sederajat dengan; beliau-dalam sapaan bahasa indonesia untuk orang yang lebih tua dan dihormati. Tidak boleh sembarang menyebut nama beliau di hutan. Bisa naas!

Jika misalnya ada seorang teman yang tanpa sengaja atau kecoplosan menyebut; khaimo atau harimau, maka teman yang lain akan segera marah dan menyuruhnya minta maaf pada harimau meskipun harimau entah di mana saat itu? Dan di kejauhan mana serta di balik gunung-gunung yang jauh sana.

Cara meminta maafnya sangat sederhana, cukup katakan: maaf ya, aku tak sengaja. Sekali lagi maaf seribu maaf.

Sehingga aku pun tidak heran bahwa pernah mendengar ada pawang harimau yang katanya orang tersebut kalau ia hendak bekerja atau menjenguk kebunnya di gunung, maka begitu langkah pertamanya sampai di kebunnya ia akan mengambil satu daun apa saja yang sudah gugur dan posisi daunnya tidak sedang tengkurap.

Kemudian ia baca mantra pada daun yang ada di tangannya itu lalu ia tengkurapkan. Hal seperti ini pula diyakini akan menutup atau mengunci taringnya haramau, atau bisa menjinakkan harimau. Meskipun sudah melakukan hal demikian, ia tetap tidak sembarang menyebut nama harimau. Lah apalagi yang tak punya mantra sama sekali? Benar-benar bocah tak tahu pantangan!

Namun sang pewang yang menganut keyakinan seperti ini tidaklah boleh lupa kalau sudah saatnya pulang dari kebun untuk membalikkan kembali daun yang tadi ia telungkupkan. Jika ia lupa dan sudah sampai di rumah, ia mesti balik lagi ke gunung dan membalikkan daun tersebut.

Kalau tidak, seperti rahasia umum yang sudah menyebar, harimau akan mati kelaparan sebab ia tidak bisa menangkap dan memakan mangsannya karena taringnya sudah dikunci oleh si pawang, sebab harimau sudah sejinak kucing. Jangankan babi hutan, sama kelinci pun harimau sudah tidak berdaya. Kenapa tidak biarkan saja daun itu tengkurap agar harimau itu mati kelaparan? Bisa jadi harimau yang lain marah jika kawannya di daerah itu mati karena si pawang, besok-besok pawang sudah pasti tidak berani lagi naik gunung karena merasa bersalah.

Begitulah mitos yang diyakini. Kalau sang pawang tahu aku menuliskan ini dan kukatakatan itu hanyalah semacam mitos, bisa jadi pawang harimau menaikkan kedua alisnya, matanya tajam menatapku kalau jumpa di jalan, dia pasti marah besar! Kau bilang mitos? Ha, nanti kalau kau naik gunug di musim Songkok Male muncul, jangan kau minta tolong sama aku, ya!?