webnovel

Ngobo

Ini hari minggu, hari libur. Minggu adalah hari istirahatnya bagi anak sekolah. Hari yang ditunggu dan disukai karena bisa digunakan untuk bermain. Aku juga bahagia dan suka pada hari minggu dan hari jumaat, karena hari jum'at cepat pulang sekolah, jam sebelas sudah pulang. Kalau tidak bekerja, biasanya aku bermain kelereng, kadang buatan pabrik dan kadang juga buah kemiri. Kadang kalau lagi menang banyak sekali kelereng yang kudapat meskipun sebagian sudah bintik-bintik dan pecah.

Ada pun kemiri, kami mencari di di bawah pohon kemiri yang tumuh sekitar makam keluarga kakek kami. Kakek dan nenek dari ayah kami dimamkan di belakang rumahku. Ada tiga pohon kemiri yang tumbuh. Kadang dipanjak keponakan dan sebagian jaga di bawah sebagai pemulung buah yang berserakkan. Kemudian dikupas dan bijinya itulah dijual. Satu ukuran bambu dengan harga lima ratus rupiah, lalu naik jadi seribu, kemudian naik jadi seribu lima ratus, naik lagi jadi dua ribu. Mentok di situ, masa SD sudah lulus dan aku tidak pernah update lagi soal harga kemiri.

Kalau main kelereng, ada yang memakai jari tengah, ada pula jari manis Aku sendiri pakai jari manis. Yang jago main, kami menyebutnya dengan istilah, "jetakh" pada huruf "e" dibaca macam menyebut kata, "mereka" di huruf 'e' kedua.

"Piyah, Daud, bongi ge khoh pengulu. Wakhi nde ngobo nine ni jume ne. Sikel kusebut bongi ge bendin da, tapi se kendin go medem. Pepagi e lah kusebut ningku." Piyah, Daud, tadi malam datang penghulu. Katanya hari ini membajak di sawahnya. Mau ayah sampaikan ke kalian tadi malam, tetapi kalian sudah tidur. Besok pagilah kusampaikan kataku ke penghulu.

Setelah ayah berkata begitu, aku dan abangku bahagia dan tidak bahagia. Kenapa? Karena mestinya hari libur sekolah adalah waktu kami istirahat mulai dari bangun pagi sampai pukul dua belas siang, sampai waktunya mengangon tiba. Tapi kalau tidak bekerja di sawah orang, pasti bekerja di sawah kami juga.

Gara-gara ada dapat job dari pak penghulu terpaksa pagi ini kami tidak bisa bersantai-santai di rumah. Jarang sekali bisa bersantai, biasanya ada saja kerjaan. Lagipula ayah juga sedang masa-masa menggarap sawah untuk ditanami padi, berarti kalaupun kami tidak dapat job dari pak penghulu sudah pasti kami membajak untuk sawah kami sendiri, memang tidak ada waktu istirahat pagi ini.

Ayah merelakan kami hari ini pergi Ngobo di sawah pak penghulu. Ngobo adalah istilah yang digunakan orang Aceh Tenggara, yang artinya membajak sawah dengan lembu atau kerbau.

"Supaya ada uang jajan kalian." kata ayah. Ya senangnya adalah kami dapat job tentu kami dapat upah. Tiga hingga empat jam membajak sawah dibayar dua puluh ribu. Jadi kami bagi dua. Piyah dapat sepuluh dan aku dapat sepuluh. Sepuluh ribu sudah bisa buat jajan dua puluh hari.

Dua puluh sudah cukup banyak hari ini, jajan dua minggu tidak habis. Aku dan Piyah bagi dua. Jadi yang dikeluarkan dari kandang adalah semua lembu untuk dibawa ke sawah yang mau dibajak. Tetapi tidak semua lembu kami pekerjakan, yang tidak bekerja adalah anak lembu saja dan selebihnya semua ikut membajak.

Aku berdua dengan abangku, kami mengarak lembu dari kandang menuju sawah pak penghulu yang tidak jauh dari rumah, hanya empat menit saja, sawah beliau berda di depan rumah beliau di seberang jalan. Sejajr juga dengan sawah kami di bagian utara. Kebetulan minggu ini tidak jauh. Karena memang ada juga pemberi job dari tiga dan lima kampung jaraknya dari Alur Langsat.

Sampai di sawah pak penghulu kami pun langsung bekerja. Cara bekerjanya mengarak atau mengarahkan lembu untuk mengelilingi sawah petak-perpetak. Cara berputarnya mulai dari sudut kanan dan memutar ke sudut kiri. Hingga lunak dam berbentuk mengerucut.

Lembu tidak membawa apa-apa. Hanya menggunakan sepatu alaminya. Lembu tidak kami beri besi alat pembajak untuk ia tarik, tidak. Melainkan hanya sepatu yang sudah dikenakannya sejak dari dalam perut induknya. Berputar-putar, sampai tanah yang diijak benar-benar hancur sehinggi bisa ditanam padi yang sudah disemaikan setinggi lima inci. Bahkan sampai seratus kali putaran untuk menyelesaikan satu batas sawah, memakan waktu satu jam lebih. Berarti selama tiga dan empat jam, lembu bisa mengerjakan empat batas/petak sawah.

Cara berputarnya tidak boleh ke kanan, karena aku dan Piyah bisa pusing, sapi pun ikut pusing sebab belum terbiasa putar ke kanan. Berputar hingga membentuk kerucut di tengah sawah.

Kalaulah sawah yang dikerjakan lembu tanahnya masih keras sebab pemilik sawah belum merendam sawahnya satu minggu sebelum waktu dikerjakan, maka bisa dua jam untuk menyelesaikan satu batas sawah saja, satu batas di daerahku ialah segi empat sawah, luas dan panjangnya empat hingga lima meter persegi.

Kenapa petani lebih suka memakai lembu untuk membajak sawah? Karena kalau memakai mesin pembajak banyak mengeluarkan duit dan tidak mampu untuk mengisi minyak mesinnya saja, lain lagi upahnya. Kedua karena petani lebih menyakini bahwa sawah yang dibajak lembu padinya lebih subur dan sehat. Karena memang saat membajak itu tak jarang lembu mengeluarkan kotorannya dan kotoran itulah sekaligus jadi pupuknya.

Lembu paling kuat bekerja dua jam. Jam ketiga terakhir lembu sudah malas-malasan. Ada lembu yang keluar dari lingkaran, ada yang tidak mau jalan karena sudah lelah, ada pula lembu yang baringan di sawah yang sedang dibajak sangkinkan pegelnya bahkan malas gerak dan berhenti meskipun dipukul.

Ada induk lembu yang sengaja mendekat ke anaknya untuk menyusui anaknya. Padahal anaknya sedang tidur dan baringan di pinggir sawah, padahal anaknya sedang tidak mau menyusu, padahal anaknya sudah mulai besar dan tidak mau lagi menyusu.

Kalau sudah seperti ini, kami pun mengerti, memang sudah waktunya istirahat. Tetapi kami segan kalau pemilik sawah belum menyuruh berhenti. Sebab memang ada pemilik sawah yang tidak mengerti perasaan lembu, hingga-hingga pernah lembu Khonjang kami mengejar pemilik sawah gara-gara lama bekerja tidak ada istirahatnya.

Entah memang karena itu atau memang karena pemilik sawahnya sedang memakai kaus merah ke sawah, aku tidak tahu pasti. Aku marahi barulah Khonjang tidak mengejar pemilik sawah.

Esoknya, yang mestinya masih ada kesempatan bekerja lagi, dibatalkannya karena jera dikejar Khonjang. Pemilik sawah beralih pada penggembala lain. Ya hari minggu hampir semua penggembala dapat job kalau musim menanam padi, dan rata-rata harga yang kami sepakati antar penggembala adalah dua puluh ribu.

Jika ada salah satu penggembala yang menurunkan harga jadi lima belas ribu, maka saaat mengangon di padang pasir nanti dia akan jadi omongan antar pengangon lainnya, bahkan yang senior seperti Ninik Wok Yan tidak segan-segan memarahinya. Seperti Epet, dia sengaja mau menerima tawaran job dengan harga lima belas ribu, pastinya dia akan dicari-cari pemilik sawah sebab dia lebih murah dan kami yang lainnya kurang job. Maka orang seperti ini memang tidak pakai kata sindirin lagi, senior mesti turun tangan.

Tetapi jika ada pengangon yang menaikkan harga pada musim bersawah, musim menanam padi pada tahun berikutnya, kami malah ikut senang karena kami akan kompak untuk menaikkan harga juga.

Lalu minggu berikutnya, karena ayahku sedang menggarap sawah untuk ditanami padi juga, memang lagi musim menanam padi. Kami ngobo di sawah kami di hari Minggu pagi tahun 2004, di samping sawah kami lembunya Obol juga sedang dipekerjakan orang lain.

Belum ada satu jam kami Ngobo, tiba-tiba saja gempa keras! Lembu ketakutan, kami pun berucap, "Laa ilaha illallah" berkai-kali, Ngobo kami berhentikan sementara. Lalu gempa susulan. Beberapa lembu kami ada yang lari ketakutan. Semua yang bekerja di sawah berhenti.

Lalu beberapa jam setelah bekerja, kami mendengar berita Tsunami di Banda Aceh Sana. Laa hawla walaa quwata illa billah.

Sejak kejadian itu, tiap kali ada gempa atau hujan lebat atau berita apa pun mengenai Tsunami bakal datang kami juga bersiap-siap meninggalkan rumah.

Pernah suatu malam pukul sepuluh. Orang-orang naik angkot lewat memberitakan Tsunami bakal datang dan disruh siap-siap meninggalkan rumah. Semua penduduk dibangunkan, kami bergegas pergi ke gunung yang jaraknya lima belas menit jalan kaki dari perkampungan. Tiba di sana, kami lihat dari atas gunug ke kampung, gelap, walaupun listrik tidak mati. Lebih satu jam kami menunggu kabar susulan, ternyata tidak terjadi apa-apa, padahal satu kampung sudah naik Gunung! Mana mungkin ada orang usil di situasi begini?

Sungguh kami benar-benar waspada dan trauma dengan berita Tsunami.