webnovel

Tokeh Dan Garam

Di tengah jalan, aku dan Piyah sempat heran. Sebab semua lembu kami berlarian mengejar mobil pick-up yang berjalan lambat di depan. Kami pun ikut lari sekencangnya. Kami bingung apa yang tengah terjadi? Setelah kami sudah dekat dengan mobil pick-up itu, ternyata tokeh datang menjenguk. Pantasan saja lembu kami lari mengejar tokeh.

Semua pengangon adalah punya tokeh atau pemilik asli dari lembu-lembu yang digembalanya. Kecuali Obol yang jumlah lembunya tidak sampai sepuluh, lembunya punya orang tuanya sendiri yang ia gembala.

Semua lembu Obol berbulu kuning hampir kemerahan. Maka terkadang kalau mengangon dengan Obol dan adiknya Ori, bisa bikin iri. Lembunya baik-baik, tidak neko-neko seperti lembu Cimun kami. Aku yang sudah lebih sepuluh kali bolak-balik melarang Cimun yang hendak memakan tanaman orang, Obol malah belum sekali pun, lembunya santui makan di tengah padang rumput.

Nama panggilan tokeh atau pemilik asli lembu kami ialah Bus, tentu bukan bus sekolah. Aku tidak tahu nama aslinya di catatan resmi penduduk. Ayah menyuruh kami memanggilnya abang,. Begitulah kebiasan orang Kuta Cane, yang tak dikenal sama sekali sebelumnya pun bisa jadi akrab dan bersaudara dekat seakan satu datuk keturunan.

Belum lagi semakin digali dan dibacakan cerita silsilah kebelakang, bisa jadi jika menabarak anak orang di kampung lain, akan saling memanggil; besan, kawan, dan lainnya. Intinya bisa jadi bersaudara. Begitulah cara berdamai dan bersaudara ala Kuta Cane.

"Oh kendin kin Silih, Mame, Koli, Imbang, Bambkhu, Nik, Bibik, kugan ise ge." Begitu kata-kata yang digunakan, yang tadinya marah malah dapat surprise bahagia, karena telah menelusuri kerabatnya. Hingga-hingga menyesal tadi sudah main hakim sendiri. Tetapi memang ada waktunya tumpu, mau disilsilahkan sampai nenek moyang pun tidak ketemu, jadilah kena hutang berjuta-juta walaupun di akhinya damai dengan adat yang dianut.

Kami memang sudah kenal lama dengan lembu yang kami pelihara, namun sebelum kami memlihara lembu-lembu kami ini adalah milik tokeh dan dialah yang sudah dikenal lembu kami duluan. Tentu saja suaranya masih diingat dan tidak asing lagi di telinga lembu kami. Tokeh dikejar lembu kami, bagaikan telah lama dirindukan lembu.

Tokeh datang tidak menentu, kapan ia mau saja. Kadang sebulan sekali, kadang tiga bulan sekali kadang setahun hanya dua kali. Dan dia tidak banyak komentar kalau dia datang, dia tidak protes apa pun tentang lembu kenapa ini kurus dan itu gemuk, tidak pernah. Kami malah senang kalau dia menjenguk. Kebiasaan tokeh datang adalah memanjakan lembu-lembunya dengan garam. Seperti hari ini, ia membawa garam dan menyuapkannya pada mulu-mulut semua lembu. Tangan tokeh dijilati lembu tapi tidak sampai digigit. Aku pun sudah berpengalaman melakukan itu. Tangan terasa geli saat dijilat lidah lembu, karean lidahnya tidaklah halus.

Allah menciptakan lidah lembu kasar karena makanannya juga rumput yang keras. Dan lembu tidak punya taring sehingga ia bukan termasuk bintang buas.

"Nene-nen-nene-ne." kata tokeh, dia berdiri di bak belakang mobil pick-up-nya. Nene-nen-nene-ne adalah kode umum untuk semua lembu. Lembu siapa saja. Kalau lembu di kampung kami Alur Langsat mendengar kalimat itu, berarti penjaganya hendak meberinya garam. Garam bagi lembu adalah ibarat ayam bagi manusia.

Tapi efek samping garam membuat lembu tidak bisa gemuk, maka dari itu kami tidak sering memanjakannya dengan garam. Lembu kami terus mengejar mobil tokeh tanpa henti. Mobil yang kecepatannya dua puluh kilo meter perjam, karena lelah, aku dan Piyah jalan santai. Membiarkan lembu lari duluan. Karena kami pun yakin lembu kami tidak akan makan tanaman orang di pinggir jalan kalau sudah mendengar suara tokeh, dan tentu saja tidak pernah menabrak kendaraan meskipun mereka lari kegiranganya.

Semuanya akan mengejar tanpa henti. Kenapa bisa demikian? Karena tokeh sudah mebiasakannya. Yang tadinya harus ditempuh tiga puluh menit, kini hanya lima belas menit saja. Kulihat penduduk yang rumahnya di pinggir jalan aspal menepi untuk menyaksikan lembu kami yang sedang lomba lari. Sehingga ada dalam tebakan: naik bendera jatuhlah bom, apakah itu? Tebak-tebakan itu tentu kamu sudah tahu, kalu belum tahu ini aku beritahu.

Maksudnya hewan yang model lembu dan kerbau. Kalau mereke buang kotoran, ekornya pasti dinaikkan.

Sampai di rumah, kami lihat lembu-lembu kami masih mengeliligi tokeh. Tokeh pun sudah mulai akrab dengan nama-nama lembu yang kami berikan. Dan ia mengingat dan mengenali lembu mana yang namanya Gula. Awalnya tokeh juga tertawa saat mendengar nama tersebut. Karena sebelum kami yang memelihara, orang yang dulu pertama kali memelihara lembu itu memberi nama yang beda.

Jadi jika nanti lembu yang sedang kami perihala ini beralih kepada orang lain karena kami sudah tidak sanggup menjaganya, maka itu terserah penggembalanya setelah kami merubah namanya dan tokeh tidak melarang akan hal itu, malah ikut senang mendengarnya.

Dulunya dua bulan abangku mengangon dan saat tokeh menjeguk, abangku langsung mengenalkan pada tokeh nama-nama baru lembunya.

Aku dan Piyah segera mandi dan makan malam. Sepuluh menit kemudian, karena sudah lepas kangen, kami pun memasukkan lembu kami ke dalam kandang. Kulihat Khonjang dari tadi mendekati tokeh, dia tidak mau aku kandangkan. Khonjang melapor ke tokeh bahwa tadi aku memarahinya. Disuruh tokeh masuk kandang, barulah Khonjang mau.

"Ini jajanmu, Daud." Kata tokeh memberiku uang sebesar dua puluh ribu. Hal inilah yang kusuka, waktu beginilah yang kutunggu. Dua puluh ribu sudah cukup banyak sekali bagiku! Dan tokeh juga memberi abangku dua puluh ribu. Tokeh selalu bawa oleh-oleh dan memberi jajan padaku dan Piyah kalau waktu menjenguk lembunya.

Jam sembilan malam, tokeh pun pulang. Kami libur mengaji kalau tokeh datang, sebab ia adalah tamu dan ayahku mengayomi tamunya dengan bercerita. Malam makin larut, aku pun tidur, senmoga esok diberi umur panjang. Kuharap sering-seringlah tokeh datang menjenguk.