webnovel

Khonjang

Piyah datang dan langsung memakan ubi yang sudah kami bakar dan duduk di bawah pohon. Yok, Obol, An, San, Ori dan aku makan sambil merendam diri dalam sungai. Aman Khek, Ninik, Piyah, Epet, Ucuf dan Dekh tetap diam di tempat.

Setelah makan, ada yang sudah tidur dan minta gantian dibangunkan. Ada yang masih mandi, aku sendiri sudah manjat ke atas pohon. Kulit pohon itu sudah kami lukai dengan batu-batu tajam yang di dahan-dahannya sudah kami tulis macam tulisan, aku sendiri menuliskan namaku.

Ada pula yang menuliskan, entah siapa kami tidak tahu dan tidak ada yang mengaku. Begini bunyi tulisannya: Dekh khamah ne Sunggi. Artinya; Dekh pacarnya Sunggi. Sunghi adalah nama lembu. Yang lembunya bernama Gula tak hanya lembuku dan lembunya Dekh, yang lain juga punya nama lembu demikian. Kenapa kami beri nama lembu kami Sunggi? Karena bulunya agak kehiyaman. Lingkaran alis matanya tidak terlalu lebar, rambut badannya halus dan rapi, rambut di sekitar kepalanya tipis dan ada merah paduan hitamnya, pokoknya Sunggi adalah lembu yang banyak tak samanya dengan lembu lainnya.

Dari sekian banyak lembu, lebih tujuh puluh ekor, hanya ada dua lembu yang bernama Gula, yaitu dari kelompok lembunya Dekh atau adiknya San, dan lembunya Piyah atau Daud. Aku juga setuju dengan Piyah dia memberi nama lembu kami Gula, karena memang cocok. Lembu Gulaz tersenyum atau tidak, ia selalu manis.

Dari sekian banyak lembu, semuanya mempunyai nama dan hanya Gula dan Induk lah nama lembu kami yang diambil dari bahasa indonesia, selebihnya istilah pengangon lokal khusunya kelompok kami. Memakai bahasa dan istilah daerah kami, Kuta Cane Aceh Tenggara. Sampai hari ini tulisan di pohon itu belum tau siapa yang menuliskannya? Kami tertawa dan Dekh marah membacanya!

Kenapa lembu-lembu mesti diberi nama? Karena hal itu besar pengaruhnya. Dengan pembisaaan, lembu juga akan mengerti. Contohnya seperti lembuku Khonjang, jika dia sedang melakukan kesalahan, cukup kusebut namanya maka ia akan berhenti melakukannya. Karena aku dan abangku Piyah sudah membiasakan memanggilnya begitu dan Khonjang juga sudah terbiasa mendengarnya.

Kebalikannya, jika Khonjang hendak makan jagung ataupun padi orang, jika aku salah sebut nama, misalnya kubilang Gula, meskipun kusebutkan nama Gula berkali-kali Khonjang tidak akan menoleh sedikit pun. Khonjang akan masa bodoh dan terus melangkah dan membabat tanaman orang. Yang paling aneh memberi nama lembu adalah Dekh dan Aman Khek. Ada nama-nama lembu kami yang kembar dan ada juga yang beda dengan yang lain. Nama lembu yang kembar adalah seperti nama: Khonjang, Getuk, Mbulan, Sunggi, Boguh, Gula, Induk, Dakhe dan yang anak tidak punya nama, hanya dibilang anak lembu.

Masing-masing penggembala pasti punya nama lembu seperti itu di kampung kami. Tapi ada juga yang sama sekali berbeda. Seperti lembu Dekh, dia paling aneh kalau memberi nama lembunya. Sering kudengar ia menanggil lembunya dengan nama; Lebo, yang arti bahasa indonesianya adalah Penyu. Ada juga: Lobakh yang artinya Biawak. Kenapa dia panggil begitu? Karena ia sebal sama lembunya sendiri yang nakal. Diberi nama Lebo sebab jalannya lambat macam penyu. Adapun lobakh, ini bisa dimaknai seperti rakus, yaitu lembu yang tak pernah kenyang. Selalu saja merasa lapar.

Lembu yang bandel ia beri nama-nama yang aneh dan berbeda. Masing-masing penggembala tahu dan hafal nama dan rupa lembunya sendiri dan juga lembu teman.

Ninik Wok Yan, Aman Khek, Epet, Dekh, Ucuf, Piyah, Obol, An, Yok, San, Ori dan aku, semuanya tahu. Kalau ada lembu Epet yang nakal dan kedapatan oleh An, maka segera ia kasih tahu ke Epet bahwa lembunya yang bernama Sunggi sedang makan daun kacang pemilik kebun. Dan siapa saja boleh memarahi dan memukul lembu teman kalau dia yang mendapatkan, tapi tidak boleh menggunakan kekerasan seperti melempar kepala lembu dengan batu agar peningan agar tidak mau mengulanginya lagi. Karena memang ada juga lembu yang terlanjur bandel, sudah belasan kali diingatkan tetap diulangi. Lembu seperti ini mesti dilempar dulu batu ke kepalanya baru ia jera dan yang melemparnya adalah pemiliknya.

Dakhe artinya perawan atau lembu yang berumur ABG. Ini adalah nama untuk lembu yang sudah seumuran remaja. Lembu Dakhe adalah masa-masanya dikejar Boguh. Kapan ia diberi nama Dakhe? Ya saat ia terlihat sudah besar dan saat Boguh mulai mendekat, merayu, mengejar dan mengawininya.

Siapa yang punya lembu Dakhe, maka bersenanglah ia sebab sebentar lagi lembu Dakhe-nya akan ngidam dan beranak. Tapi yang punya lembu Induk juga jangan berkecil hati, sebab Boguh tidak pandang bulu, dia juga mengawini lembu induk yang sudah tergolong tua. Bahkan lembu Khonjang pun akan dikawini Boguh kalau sudah waktunya. Meskipun Khonjang wajahnya sanger dan menakutkan. Khonjang sebenarnya lembu yang cantik rupawan, namun karena ia adalah raja betina, sehingga disegani, kecantikannya sedikit sirna sebab lembu yang lain menyeganinya. Ada masa-masa tertentu Khonjang juga tidak bisa marah. Mungkin saat ia sudah siap untuk dikawini Bogoh.

Butuh waktu lama untuk dapat satu anak lembu lahir. Sejak abang-abangku dan hingga selesai juga giliranku, kurang lebih enam tahun lamanya menggembala, tidak sampai dua puluh ekor kami dapat setelah dibagi dua dengan Tauke. Padahal induk lembu kami hampir sepuluh.

Sunggi artinya hitam. Kenapa dianamakan Sunggi? Karena badannya berbulu hitam.

Getuk adalah nama untuk lembu yang membawa lonceng yang diikatkan di lehernya. Jika lembu hilang di tengah hutan, maka kita bisa segera menemukannya dengan lonceng yang dibawa lembu Getuk. Mbulan artinya putih, karena memang badannya berbulu putih seperti bulan. Adapun Gitul adalah sebutan untuk lembu yang ekornya sudah putus akibat berawal dari luka bakar karena tidurnya lasak di kandang dan terkena api kandang. Induk, sebutan untuk induk lembu. Anak, sebutan untuk semua anak lembu.

Pukul enam sore pun tiba, mentari hendak tenggelam di ufuk barat. Sore adalah masa-masa santai dan tidak santainya antara lembu-lembu dan penggembala. Sebagian lembu petang begini adalah waktu terbaik dan sungguhnya untuk memanfaatkan lidahnya membabat rumput sebanyaknya lalu ia kumpulkan untuk ia kunyah saat di jalan dan di dalam kandang nantinya.

Lembu seperti ini adalah lembu dua jam yang lalu sudah tidur siang, sudah istirahat, sudah ngumpulin tenaga karena sudah kenyang. Karena lembu seperti ini begitu sampai di tempat mengangon ia pun serius dan cepat-cepat mencari makan kemudian ia bisa beristirahat dengan tenang dan tidur siang.

Lembu seperti inilah menyibukkan penjaganya di sore hari, yang mestinya penjaganya istirahat tapi ia malah sibuk cari makan karena ia mulai lapar dan mencari bekal untuk babak kedua. Ada juga tipe lembu yang berhenti sebentar lalu makan lagi, makan kemudian tidur lima belas menit lalu makan tidur satu jam.

Begitu sampai sore dan pulang, lembu seperti ini yang tidak sanggup lama berdiri karena badannya gemuk dan berat sebab sudah lanjut usia. Saat menyeberangi suangai pun, ia memprihatinkan, dia terhanyut jauh barulah ia bisa menepi. Dan tipe lembu yang terakhir adalah lembu yang mulai dikeluarkannya dari kandang sampai di tempat menggembala ia tidak istirahat, ia serius dan cepat-cepat mencari makan, lahap sekali, tidak berhenti kecuali matahari sudah mau terbenam.

Nah lembu yang seperti ini yang tidak menyibukkan penjaganya. Lembu seperti ini biasanya akan tidur pulas di samping api yang telah kami nyalakan, yang asapnya mengepul-ngepul. Lembu sangat suka sekali dengan asap yang banyak, maka lembu yang bertipe begini akan mengumpul mengelilingi api. Hingga-hingga ada yang beradu kekuatan untuk bisa mendekati api. Lembu suka mehangatkan badan.

Kini mentari pun sudah terbenam, dan kami pun sia-siap untuk pulang. Kami mengumpulkan satu demi satu masing-masing lembu dengan kelompoknya. Kami tidak akan pulang kalau lembu kami belum lengkap. Butuh sepuluh menit aku dan Piyah mengumpulkan kelompok lembu kami. Begitu sudah kumpul kami pun mengabsen.

"Induk." kata Piyah.

"Ada." jawabku. Mbulan, Gula, Sunggi ada, Dakhe ada lima ekornya. Anak, Gitul, Getuk, Cimun juga ada, adapun Boguh sedang pacaran dengan lembunya Obol.

"Sepertinya sudah lengkap." kataku. Tapi Piyah terus memperhatikan dan menghitung.

"Ada yang kurang, Daud. Ada yang belum hadir di sini."

"Siapa lagi?" tanyaku penasaran.

"Khonjang!" sahut Piyah. Aku disuruh Piyah menjaga kelompok lembu yang sudah hadir ini agar jangan dulu pulang sendiri ikut dengan kelompok lembu yang lain. Karena kalau sudah diabsen seperti ini, lembu juga mau pulang sendiri tanpa disuruh, apalagi melihat kelompok lembu yang lain sudah pulang duluan.

Ada pun Boguh dia sudah duluan pulang ikut dengan kelompok lembunya Obol. Tapi dia nanti tidak akan diperbolehkan Obol masuk kandang, dan memang akan dimarahi geng betinanya lembu Obol kalau lembu Boguh-ku dengan lancang masuk kandang kekasihnya. Biasanya Boguh akan menunggu temannya di depan kandang lembu Obol.

Boguh ingin sekali masuk kandang pacarnya dan sesekali mengelilingi kandang pacar barunya. Sudah lima menit Piyah mencari Khonjag, tapi belum ketemu. Kulihat Piyah datang dengan wajah lesu.

"Coba kau yang cari, Daud." Perintahnya. Aku pun pergi mencari. Aku masuk ke semak-semak yang rimbun yang dapat menengelamkan ketinggian lembu.

"Khonjang, nene-ne-nene-ne." kataku memangil. Tapi jangankan bilang; mouhh, mendengkur saja ia tidak. Karena biasanya kalau dia hilang aku cukup memanggil namanya dan ia akan menyahut dengan bilang: mouhh atau berdehem dengan; khummrrr.

Sudah lima menit aku keliling dan masuk ke semak-semak, Khonjang tidak kutemukan. Kulihat tanah becek, juga tidak ada bekas telapak kaki lembu. Berkali-kali kupanggil, juga tidak menyahut. Aku mulai lemas, keringatku bermunculan, rasa takutku pun menghampiri, perasan tidak enakku hadir, aku berprasangka buruk.

Jangan-jangan Khonjang dicuri orang?! Aku takut ayahku marah, karena kalau Khonjag hilang, maka jika nanti ada dua lembu yang melahirkan, kami tidak dapat bagian dan anak lembu itulah sebagai pengganti Khonjang. Aku takut ayahku marah karena kami lalai, tidak bisa menjaga Khonjang. Aku takut nanti tidak bisa dapat anak lembu yang sedang ndekhas atau hamil. Karena mesti setahun menunggu untuk mendapatkannya, bukan main lamanya menunggu dan susahnya menggembala! Aku pun menyerah dan air mataku membasahi pipiku.

"Tidak ketemu." laporku pada Piyah. Piyah dan aku menunggu magrib, kami belum berani pulang kalau tidak ada Khonjang. Kulihat Piyah termenung, nampak sedih wajahnya. Induk, Sunggi, Gula, Getuk, dan Mbulan sudah baringan karena lelah menunggu. Pengangon yang lain sudah pulang semua, hari mau gelap. Kecuali Cimun yang masih berdiri dan memakan rerumputan di sekitar perkumpulan temannya.

Tiba-tiba dari semak itu kulihat Khonjang muncul sambil mengunyah, ia pun datang mendekat tanpa dosa. Lagak jalannya santai berwibawa, perutnya kembung karena sudah kenyang, jatah makannya lebih banyak. Ingin kupukuli Khonjang, aku bangkit dan menunjukkan kayu, Khonjang mengelak dan masuk ke dalam kelompok temannya. Kukejar dan ingin kupukul.

"Jangan!" kata Piyah.

"Biar dia tiadak sembunyi lagi besok-besok!" kataku. Tapi Piyah tidak membolehkan. Abangku Piyah sayang pada Khonjang. Kemudian kami membangunkan lembu kami yang sudah rebahan dan kami pun pulang.

Baru dua menit berjalan, Piyah mulai menasihati Khonjang, ia berdiri sambil mengelus-elus pundak Khonjang.

"Lain kali kalau dipanggil menyahut kau Khonjang. Jangan sembunyi lagi. Kalu sudah mentari tenggelam, waktunya pulang. Jangan bikin kami cemas. Kau dengar itu Khonjang?" begitu nasihat Piyah. Aku sudah tidak heran degan sikap abangku itu. Dia seakan sudah bersahabat dengan lembu, dia sayang sekali dengan lembu-lembu kami.

Mungkin karena ia sudah lama menggembala sehingga ia tahu bagaimana bersikap pada binatang ternak, tidak dengan kekerasan, aku sadar Piyah adalah lebih baik dari aku. "Kalau pun Khonjang tidak mengerti, setidaknya ia mendengar, Daud." begitu kata Piyah coba memahamkanku.