webnovel

Sumpit

"Subuh nale, buet-buet, go tekhang me wakhi no!" Subuh, bangun-bangun, hari sudah terang! Suara ayahku membangunkan kami untuk kesekian kalinya. Padalah sejak subuh tadi beliau sudan membangunkan kami.

Beliau shalat subuh sendiri dengan mengeraskan suara, berharap kami jadi makmumnya dan mengaminkan dari belakrang. Beliau tidak shalat jama'ah di masjid sebab di kampung kami belum ada masjid, jangankan masjid, mushalla saja belum punya.

Hingga rakaat kedua tidak ada yang menjawab "aamiin" saat ayah sampai pada ayat, "Waladdhaalliin" begitu pun waktu doa qunut. Ayah belum putus asa, tetap mengeraskan suaranya, lagi-lagi tidak seorang pun yang mengaminkan dari belakang. Hinga sampai duduk tahyat akhir dan salam.

Beliau melihat kebelakang, memang benar belum satu pun yang bangun. Itulah sebabnya ayah marah. Masjid di Alur Langsat belum ada, jadi ayah selalu shalat di rumah, kadang jamaah dengan kami tapi beliau lebih sering jamaah dengan ibu dan sendirian. Adik-adikku yang perempuan masih kecil, belum masuk SD, belum wajib shalat.

Piyah sudah bangun duluan dan aku pun sadar dia telah membangunkanku, lalu ibuku datang dengan mengeraskan suara.

"Bangun lah, Nakku. Nanti ayahmu marah!" mendengar kata marah aku jadi ingat waktu dipukul ayah dulunya, aku takut dipukul, aku pun bangun dengan terpaksa lalu wudhu dan shalat subuh.

Selesai sarapan pagi, aku pun berangkat ke sekolah. Ayah memberiku jajan lima ratus rupiah untuk beli permen atau dua pisang goreng di sekolah nanti. Tetapi aku tidak membelikannya di sekolah, sebab memang aku jarang sekali dikasih uang sehingga tidak terbiasa jajan di sekolah.

Biasanya aku menjajankannya saat di rumah tidak ada lauk, karena ayah dan ibu masih bekerja di gunung menderus pohon karet untuk didapatkan getahnya. Ayah pergi ke gunung dengan ibu sesuai jam berangkatnya anak sekolah.

Hari ini aku sudah kelas empat SD Negeri Salim Pinim dan abangku Piyah sudah kelas dua MTSN. Dulu waktu aku masih kelas satu sampai kelas tiga SD, tidak ada yang berani menggangguku. Sebab abangku Piyah dan abang-abang sepupuku masih ada di SD-ku.

Seperti abangku, Edi, dia anak bambkhu. Dia sering pergi berjalan berdua denganku saat ke sekolah. Begitu pun dengan anak Pak Ngah-ku, Aku memanggilnya di sini, Am.

Dia juga ditakuti karena badannya berisi. Kata mereka semua padaku: lapor saja kalau ada yang berani mengganggmu, Daud! Dan begitu mereka tamat, aku tidak punya pertolongan hingga ada saja senior yang jahat membuatku menangis gara-gara dipaksa disuruh nyanyi ke depan saat guru tidak ada.

Tentu aku malu sebab aku belum pernah maju ke depan dan bernyanyi di depan teman-teman, padahal lagu daerahku banyak sekali yang aku hafal. Seperti yang liriknya: Si bulan sabit, hoye pukhname, ateku sakit gagal mencinte, itu. Hafal betul aku!

Jujur aku belum ada mental, karenan semua temanku masih kuanggap orang asing. Karena mereka baru setahun aku kenal. Teman-temanku yang sudah kukenal dua tahun belakangan sudah meninggalkanku, mereka sudah kelas empat. Susah aku beradaptasi dengan teman baru. Setelah kusadari, ternyata bukan karena tidak berani, tapi karena rasa maluku lebih tinggi dibanding mentalku.

Pulang sekolah aku segera lemparkan sumpit tempat bukuku. Zaman kami jarang sekali ada yang memakai tas. Yang mempunyai seragam lengkap ialah anak orang kaya di mata kami. Yang punya sepatu, punya tas dan seragam berganti-ganti dua hari satu seragam, berarti dia anak orang kaya.

Di dalam kelasku hanya lima orang yang memakai tas ke sekolah. Dua dari mereka anak pegawai. Satu perempuan abangnya polisi. Satu laki-laki anak pedagang dan satu perempuan lagi anak guru. Sumpit selali aku bawa pergi dan pulang sekolah. Kasang aku pegang dengan tangan kanan kadang dengan tangan kiri, kadang juga aku letak di atas kepala karena trik matahari. Hari sudah jam sebelah lewat lima belas kami pun pulang sekolah.

Setelah makan siang aku duduk di depan rumah, menunggu teman penggembala yang dari kampung sebelah melewati rumahku. Aku menunggu Ninik Wok Yan, Aman Khek, Ucuf dan An.

Sesekali aku menepi ke jalan aspal dan memandang ke arah kampung mereka apakah sudah muncul atau belum? Kalau sudah muncul maka aku akan segera siap-siap dan mengeluarkan lembuku dari kandang dan berangkat. Karena memang kami juga saling menunggu agar berangkat ke padang rumput bersama-sama agar terlihat ramai dan kompak. Selain daripada itu ialah agar tidak berpisah dengan yang lainnya saat menggembala.

Bila cara ini tidak berhasil, maka kemarin hari kami mesti sudah buat kesepakatan bahwa hari ini mengangon di Alur Nangka, Tebing atau Pantai Dona. Tapi kemarin waktu mengangon memang tidak ada kesepakatan apa pun, tidak sempat membuat kesepakatan sehingga kutanya temanku San yang sedang duduk di depan rumahnya. San sudah lama pulang sekolah, dia SD-nya di SD swasta di belakang rumahku, dia anak Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) Alur Langsat.

"Gimana San? Kita tunggu mereka atau kita berangkat duluan saja?"

"Tunggu bentar lagi aja, Daud." Aku menurut dan menunggu. Lima menit menunggu, terdengarlah suara lembu-lembu teriak-teriak dari kejauhan. Nah itu tandanya mereka sudah mau muncul.

Aku segera menuju kandang, aku sudah mengenakan baju untuk menggembala. Hari ini aku memakai celana jeans panjang, dan memakai kaus lengan panjang dan tidak pakai topi. Aku tidak begitu suka memakai topi karena rambutku bisa rontok karena terik matahari. Mereka sudah melewati rumahku dan rumah San.

Aku pun membuka kandang, kemudian disusul San. Kandang lembu San di samping rumahnya. Semua lembu berjalan dengan kelompoknya sendiri. Maka salah satu hal yang membuat pengendara motor, mobil dan becak sebal adalah melewati kelompok-kelompok lembu-lembu kami yang panjang. Bisa lima belas menit lamanya barulah mereka bisa lewat. Apalagi kalau ada cewek yang membawa motor, mestilah semua lembu disuruh minggir dulu barulah tuan putri pengendara motor berani lewat.

Hal ini kami sengaja tidak untuk tujuan membuat jalan macet. Tapi memang untuk kebersamaan kami saja, kami suka pergi sama-sama. Karena kami sudah mulai beranjak besar, sudah tau malu. Kami tidak jarang diejek orang-orang seperti ini," ngikut pantat lembu, bau!" Maka kalau ramai-ramai tidak lah terlalu malu. Yang kadang tidak percaya diri adalah saat-saat anak sekolah lewat dengan angkot yang penumpangnya penuh sesak, agak malu hanya sendirian mengarak lembu di jalan raya. Padahal masih kelas empat SD tapi sudah malu sekali ketika itu.

Itulah gunanya kami bersama. Supaya mereka enggan mengejeknya. Karena memang temanku Yok, dia kalau diejek anak-anak sekolah, ia tak segan-segan melempar mereka dengan kotoran lembu yang masih hangat. Kami sedang berjalan di aspal dengan membawa kelompok lembunya masing-masing. Kami ada lima kelompok.

Semuanya berdua kecuali aku karena abangku Piyah belum pulang sekolah, Ninik Wok Yan dan Aman Khek juga sendiri. Setengah jam perjalanan kami sampai di Pante Dona.

Sesampainya di tempat menggembala, lembu-lembu pun mulai bergabung. Ada yang langsung minum air sungai Alas. Ada lembu yang lekas makan karena perut sudah lama kosong, yang jantan malah asik mengejar betina, anak-anak lembu mulai menyusu, dan ada juga sapi yang tidak makan tapi malah baringan karena kelelahan berjalan, biasanya adalah sapi yang sudah lanjut usia, sakit encok.

Kami pun hari ini tidak berpencar seperti biasanya harus pisah antara senior dan junior. Hari ini kami bergabung. Kami membakar ubi kayu yang tumbuh di pinggir sungai. Ubi kayu yang dibawa air saat banjir dari hulu, lalu tumbuh rindang dan berbuah. Kami tahu ubi kayu itu sudah lama dibawa air dan mendarat lalu tumbuh subur dan berbuah besar, sehingga kami berani mengambilnya.

Lembu kami semuanya sedang nikmatnya membabat rumput-rumput setinggi empat inci dengan gigi dan lidahnya, tuan-tuannya pun makan ubi. Kalaulah tidak ditemukan ubi geratis, kadang minta kalau punya kebun sedang bekerja, kalau tidak ada pemiliknya, kadang kami nekat mengambilnya. Maaf bila hal ini tidak baik untuk dibaca, kuharap jangan ada adik-adik generasi zaman now mencontohnya. Karena memang demikian adanya masa lalu kami, masa di mana banyak sekali ubi kayu yang tumbuh di padang rumput untuk kami bakar.

Mengangon lembu bukanlah hal mudah. Mengangon lembu sebanyak belasan ekor untuk dua orang tidaklah gampang, apalagi sendirian. Mengangon lembu tidak seperti mengangon kerbau yang diikat dengan tali dan kerbaunya tidak banyak nakalnya, apalagi seperti mengangon kambing.

Lembu yang belasan dan puluhan ekor tidaklah diikat, oleh karena itu mereka liar dan nakal. Pergi kesana-kemari mengintip dan mencomot tanaman orang lain sekehendak maunya sendiri jika tidak dijaga.

Kalau saja tidak diawasi, maka jagung setinggi lutut yang tiga hektar akan jadi rata dalam satu jam. Bakar-bakar di pinggir sungai Pante Dona sembari mengangon dan menikmati angin sepoi-sepoi di petang hari adalah sebuah kebahagiaan bagi para pengangon. Bakar-bakar semacam hiburan. Tiga puluh menit kemudian ubi matang, tiba-tiba ada yang datang dari kejauhan.

"Itu Piyah datang." kata San. Biasanya memang Piyah datang setelah ia pulang sekolah. Pernah sebelumnya ia tidak datang, aku pun tembohen/merjauk dan bilang ke ayah aku tidak akan mau lagi menggembala esok harinya, itu karena sangkinkan lelahnya menggembala sendirian. Karena ada waktu-waktu tertentu kita harus siap siaga.

Tidak selamanya lembu berada di tengah pulau yang dilingkari sungai Alas itu. Saat sore harinya mereka mesti dikeluarkan dari sana agar bisa menikmati rumput di sekitar kebun orang di seberang barat Pante Dona. Biasanya kalau hari sudah pukul empat sore barulah lembu memberi tanda-tanda mereka bosan dan minta segera dipindahkan.

Seperti ada saja lima sampai sepeuluh ekor lembu berdiri kompak di tepian dan teriak: mouhh-mouhh, di pinggir sungai. Kami pun sadar dengan hal itu.

Agar perut tak lapar, maka perlu mebawa bekal di dalam Sumpit. Yang terbuat dari batang bengkuang. Dianyam oleh ibuku.