webnovel

Pante Dona

Bangun pagi, aku segera mandi. Tidak lupa makan pagi dan berangkat sekolah. Aku sudah kelas empat SD, abangku Piyah sudah masuk kelas satu MTSN Lawe Alas. Aku dan teman-teman SD-ku berjalan kaki dari rumah ke sekolah sekitar tiga puluh menit. Tidak pakai alas kaki. Kaki ayam istilahnya. Jarang sekali yang punya alas kaki, sudah terbiasa kaki ayam. Kadang saja pakai sepatu.

Nama sekolah kami SD Negeri Salim Pinim. Sebelum masuk kelas, kami wajib senam pagi selama lima belas menit. Kemudian tepat pada pukul delapan barulah masuk kelas dan belajar. Kelas empat SD adalah mulai aku serius dan rajinnya sekolah.

Tidak seperti sebelumnya yang kadang bolos dan kabur saat jam sekolah berlangsung. Aku mulai rajin sekolah karena aku mulai lancar membaca.

Segala tulisan bahasa indonesia yang tertulis di buku tulis, buku pelajaran sekolah, modul, tulisan di bungkus snack plastik, bungkus rokok yang tercecer di jalan, tulisan di kab belakang mobil kodisel dan bak becak dan bahkan buku pelajaran bahasa inggris abangku yang sudah masuk smp waktu itu juga kubaca, tapi aku tidak tau cara membacanya, aku membaca seperti bacaan indonesia. Tentulah abangku tertawa mendengarnya dan aku pun diajari sedikit demi sedikit. Kelas empat SD aku sudah mengenal bahasa inggris karena abang-abangku belajar bareng dengan teman seumurannya di kamar kami. Jam dua belas siang kami pun pulang sekolah.

Cukup sering kami ditakuti dengan datangnya tenaga kesehatan pemerintah ke sekolah, takut disuntik. Cacakh istilah kami. Karena beritanya dilebih-lebihkan. Tiap siswa wajib suntik agar tidak kena tetanus. Tapi begitu dengar ada berita bakal ada tukang Cacakh yang datang, setengah siswa mulai dari kelas tiga hingga kelas enam sudah kabur, lari melewati sawah-sawah orang. Aku pun pernah ikutan. Sehingga selalu saja gagal disuntik murid SD kami.

Kadang kala beritanya tidak benar, ada tukang Cacakh datang hari ini, padahal tidak ada satu pun dari dokter utusan pemerintah yang datang, kami keburu kabur duluan.

Tibalah di kelas lima. Suatu hari tidak ada berita dan isu-isu bakal ada tukan Cacakh datang hari ini. Tau-tau pintu kelas dikunci dari luar, jendela tertutup rapat, Pak Jamrin mengintip dari jendela, mengawasi dan me-Wanti-wanti yang bakal kabur.

Tukang Cacakh sudah masuk di dalam kelas kami. Semuanya sudah was-was, tegang, bahkan ada yang gemetaran, hampir menangis ketakutan! Jarum suntik dikeluarkan. Nama dipanggil menurut absen. Tibalah orang pertama. Semua mata melongo ke depan, tak berkedip!

Setelah satu orang selesai, semua ingin bertanya pada yang telah berpengalaman barusan, "Sakit nggak?"

"Ngggak!" jawabnya. Tapi kami belum percaya. Masih was-was. inilah yang ditakuti selama ini, hari ini sudah di depan mata, tidak bisa kemana-mana. Sudah sejak kelas tiga dihindari, akhirnya dapat giliran juga di kelas lima. Tibalah giliranku maju ke depan. Lengan kemejaku dinaikkan, aku dioleskan semacam penyejuk kulit, sepettinya alkohol, tak tahu waktu itu namanya. Lalu disuntik. Memang betul tidak sesakit yang dibayangkan, lebih sakit digigit semut dari pada suntik!

Kelas empat SD, ibu guru kami adalah Bu Kristina, agamanya kristen. Kami menamai beliau Bu Tebe, cara bacanya pada huruf 'e' seperti bilang 'pergi' Beliau adalah guru tetap di kelas empat SD. Dari dulu SD kami begitu, di kelas satu ada guru tetapnya, nama beliau Pak Samsul, kelas dua Pak Doyok, kelas tiga Bu Inong, kelas empat Bu Tebe, kelas lima pak Jamrin, kelas enam pak Jamrin lagi, kadang kepala sekolah, seperti senior kami sebelumnya. Guru tetap jugalah sebagai wali kelas.

Bu Tebe adalah guru Mate-Matika. Aku sering berdiri di depan gara-gara tidak hafal Mate-Matika, beliau juga mengajar pelajaran yang lain. Kadang kami dijemur di depan kelas. Kadang aku hafal sampai kali-kali lima, kali enam ke atas aku susah betul menghafalnya. Laki perempuan, Bu Tebe tak pilih kasih, beliau pukul kuat-kuat! Banyak sekali murid yang membenci beliau dari dulu, ditakuti dan tak disenangi. Tapi beliau tetap mengajar, rajin sekali datang, jarang absen.

Kalau bekiau absen, yang tak suka Mate-Matika sudah pasti senang. Aku juga benci beliau sebab aku sering dipukul, tapi gara-gara beliau pernah memujiku sendiri bahkan dijadikan contoh orang yang rajin di pelajaran beliau yang lain, aku jadi senang, bahagia, bangga sendiri. Jadilah aku senang pada beliau sejak itu juga!

Kalau musim naik kelas dan pembagian rapor. Bu Tebe pasti senang pemberian hadiah keterampilan dari kami. Yang membuat kerajinan tangan orang tua kami. Aku sering membawa sendok yang terbuat dari batok kelapa, gagangnya bambu dan disimpul dengan rotan. Diukir rapi oleh ayahku. Kadang juga aku membawa Ndikhu yang telah aku sebutkan di halaman sebelumnya. Sudah pasti nilai kami sembilan untuk bidang ini. Meskipun beliau tahu itu bukan buatan kami.

Macam-macam kerjinan tangan yang dibawa, semuanya bisa dipakai untuk kebutuhan dapur dan rumah. Kebanyakan memang orang tua kami pandai membuat kerajinan tangan. Yang ayahnya tak pandai, mereka bisa membelinya dengan varian harga mulai dari lima ribu rupiah hingga sepuluh ribu rupiah. Sekarang harganya mungkin sampai lima puluh ribu rupiah.

Tiba di hari pembagian rapor, kami sudah pasti ke Pante Dona, semua siswa membawa makanan dari rumah masing-masing. Tadi pagi bangun subuh semua ibu dari kelas satu SD hingga kelas enam pasti memasak masakan yang terbaik. Lauk paling dominan adalah telur dan indomie. Masakan khas irit biaya orang kampung.

Di kelas kami anak pegawai tidak lebih tiga orang dari total kami yang lebih tiga puluh orang. Saat masih ada Piyah, aku yang membawakan rantang itu, begitu adikku Diana telah masuk kelas satu SD, dia yang mulai aku suruh bawakan. Agenda di Pante Dona adalah kumpul bersama guru-guru dan wali kelas. Seluruh siswa SD wajib ikut pembagian rapor. Di Pante Dona tepi sungai. Awalnya kami datang dulu ke sekolah, baris seperti biasa dapat arahan, lalu jalan kaki dari SD ke Pante Dona yang tidak terlalu jauh, sama-sama di Salim Pinim.

Guru-guru juga bawa bekal, tapi tetap saja kami tawarkan bekal yang kami bawa. Seperti ibuku misalnya, meskipun kami cuma berdua, beliau pasti memasak empat hingga enam telur. Niatnya tak cuma untuk kami, nanti berikan juga buat bapak dan ibuk guru. Guru-guru kami juga tidak pilah-pilih lauk mana yang enak, siapa saja yang mau kasih beliau ambil. Tentu semua orang punya lauk lebih, memamg sengaja dilebihkan emak kami. Setelah bagi-bagi rapor bersama masing-masing wali kelas, barulah kami pergi mencari tempat masing-masing, berpencar untuk makan di atas Kekhonjong, pagar batu yang diikat dengan kawat. Makan bersama adik dan abangnya bagi yang punya, bagi yang tidak punya makan bersama yang tak punya juga, jika cuma sendirian tak punya abang dan adik, maka diajak bergabung bersama.

Belum pernah ada kejadian siswa yang hilang, setelah makan-makan semuanya pulang ke rumah masing-masing. Tak ada kesenjangan sosial, anak pegawai juga tak banyak di sekolah kami, jadi mereka tak begitu tampak, tak pula sombong.

Jalan di atas aspal. Kadang pakai sepatu kadang ke sekolah hanya kaki ayam. Tapi hari ini aku sudah pakai sepatu. Sampai di rumah aku pun makan siang, istirahat sepuluh menit. Kudengar lembu-lembuku sudah merengek-rengek minta makan.

"Mooauhh...mouah!" Laparrr! Lapar! Begitulah kira-kira artinya.

"Daud, segeralah buka kandang, pergilah mengangon, lembu sudah lapar."

"Teman-temanku tadi mengangon kemana, Mak?" tanyaku pada ibu.

"Ke Pantai Dona." jawab Mamak.

Teman-temanku sudah ada yang pergi duluan ke tempat menggembala. Karena abangku belum pulang sekolah, aku pun sendirian membawa lembuku ke Pantai Dona. Karena sejak abangku masuk MTSN dia selalu telat pulang.

Dia pulang pukul dua siang. Aku membuka kandang, segera lembu-lembuku keluar dan tanpa aku arahkan cepat sekali mereka membentuk kelompok dan berjalan di atas aspal dengan rapi. Aku belum terbiasa mengarak lembu sendirian. Karena lembuku belum kenal denganku, mereka pun buat ulah sesukanya.

Cimun dan dua temannya lari ke depan, sampai di depan ia minnggir ke kanan dan memakan jagung orang yang baru tumbuh lima belas inci. Aku kejar ke depan dan kularang dengan pukulan satu kali. Di belakang sana pula kelompok lembuku bubar barisan dan semua minggir ke tepian kemudian memakan jagung orang. Sepanjang jalan tiga puluh menit menuju Pantai Dona, aku mandi keringat, aku menangis, air mataku akhirnya keluar juga. Khingisen bahasa daerah Kuta Cane.

Aku pun mengerti kenapa lembuku berani berbuat salah di depanku, karena lembuku belum akrab denganku dan belum pernah melihatku marah. Sampai di Pantai Dona, kupukuli satu-satu sambil aku merepet.

"Humm, kalian belum tau aku marah ya? Rasakanlah ini!" Semuanya lari dengan kencang bahkan ada yang tidak sempat aku pukul karena telah lari ketakutan. Lalu kudekati lagi pelan-pelan, tapi lembuku itu tidak berani dekat denganku.

Begitu aku dekat satu meter lembuku jalan dengan cepat, takut sekali aku pukul. Kecuali Khonjang yang suka ngancam orang yang tak ia kenal selama ini, hari ini ia juga melawanku. Aku pun minta garam pada temanku San. Lalu kupanggil lembu-lembuku dengan menunjukkan garam dan memakai suara,

"Nene ne-nene-ne-ne." Semuanya lari mendekat dan mengelilingiku. Lembu kelompok mana saja sangat sensitif mendengar suara itu. Kulihat Cimun yang paling kuat aku pukul tadi menangis, air matanya mengalir di wajahnya. Entah karena dimasuki serangga atau karena aku pukul aku tak tahu. Aku pun menaburi rumput-rumput dengan garam. Kulihat mereka begitu lahapnya makan. Tak lupa kucapkan satu-dua patah kata dariku.

"Makanya lain kali jangan nakal kalian!"

Pantai Dona adalah tempat favorit kami untuk menggembala lembu. Karena tempatnya tidaklah teramat jauh dari rumah kami. Pantai Dona ada di desa Salim Pinim.

Kenapa dinamakan padang rumput yang di pinggir sungai Alas yang punya jembatan besar dan tinggi ini Pante Dona? Aku tidak tahu alasannya. Aku pun belum pernah tanyakan pada orang kampung Salim Pinim. Tetapi saat aku dengar dari teman-temanku, kata mereka karena dulu di pinggir pantai ini ada banyak orang jual donat dan ada pabrik donat.

Sebenarnya di daerah kami Kuta Cane tidaklah ada pantai. Oleh kerena itu masing-masing kampung di tempat tertentu pun membuat pantai atau taman wisata di pinggir sungai Alas. Sehingga di hari minggu banyak orang berdatanagan dengan pacaranya.

Kas Mekhamah, tempat orang pacaran. Karena memang tempatnya indah dan strategis. Ada banyak pohon besar yang tumbuh rindang di pinggir sungai Alas. Karena ada air maka disebutlah pantai.

Walaupun sebenarnya pantai adalah yang ada lautnya. Di Kuta Cane mana ada laut! Oleh karena itu jangan heran jika bermacam-macam nama pantai yang kamu dengar di Kuta Cane, dan kuyakin kamu akan penasaran dan ingin mengunjunginya.

Ada namanya Pantai Dona, Pantai Barat, Ketambe, Lawe Gerger dan Pantai Goyang, maaf bila masih ada nama pantai yang tidak kusebutkan. Semua itu jaraknya berjauhan. Bahkan jika hendak masuk ke lokasi, maka kami harus bayar tiket, kecuali Pantai Dona, free. Duduk di gubuk yang mereka dirikan juga tidak apa-apa asal jangan di jam padat pelanggan.

Aku banyak sekali melihat orang-orang jauh datang ke Pante Dona membawa keluarga, paling dominan membawa Pacar. Kadang lembu kami mendekati mereka yang sedang bercengkrama berdua-duaan, kami datang dan mengusir lembu kami.

Yang membuat kami heran itu ya, ada pula yang mukanya pas-pasan, tak ganteng, jelek, hitam, tapi pacarnya putih cantik banget dan manis sekali kakak itu! Kok mau pula dia dengan babang yang tak tampan. Padahal motor yang mereka gunakan ke pantai ini mereknya pasaran, bukan merek yang mahal yang waktu itu yang mahal adalah Jupiter Mx, Satria F dan Vixion. Dia malah naik supra X dan Supra Fit. Udah gitu motornya hidup segan mati tak mau, bisa-bisanya dia bawa cewek cantik, sepertinya dia pandai menggombal! Atau bapak si cewek punya utang pinjam di Bank, tapi yang seperti itu belum ada kejadian di masyarakat kami kala itu. Entahlah, andaikan kutahu alamat rumah abang itu, kusampaikan ciri-cirinya di sini, agar ia tahu betapa beruntungnya ia bisa dapat bidadari. Mudahan mereka nikah.

Sebenarnya selain Pante Dona, ada banyak lagi tempat kami menggembala. Biasanya kami menggilirnya seminggu-seminggu. Maksudku adalah jika padang rumput di Pante Dona sudah menipis, maka kami akan pindah tempat ke Tebing yang lebih jauh lagi dari Pante Dona. Hampir tiga jam jalan ke sana. Bila di sana juga sudah menipis, kembali lagi ke Pante Dona.

Kalau saja lembu-lembu kami tidak mau makan di tempat mengangon, maka itu menandakan padang rumputnya sudah menipis sehingga lidah lembu tidak dapat lagi memangkasnya, kedua karena mereka juga bosan di tempat yang sama. Kemudian di Alur Nangka, jaraknya tiga desa dari Alur Langsat.

Di Alur Nangka juga banyak para penggembala. Padang rumput yang segitu luas masih saja lembu kami tidak kedapatan rumput karena sangkinkan banyakanya lembu! Alur Nangka ini adalah padang rumput yang rumputnya sudah dimakan lembu lainnya. Dan pohon-pohonnya yang tersisa menjulang tinggi dan meneggelamkan ketinggian lembu.

Di Alur Nangka dan di Tebing tidak ada pantai, jadi sudah pasti sepi. Di Pante Dona banyak sekali pengunjung berdatangan, ada yang bersembunyi di semak-semak dan diganggu lembu kami.

Kami senang di Pante Dona ialah kami bisa mandi-mandi di sungai Alas. (Oh, ya, Editor, ini bukan typo ya, kedepannya kata pantai akan jadi Pante tolong jangan diubah). Kami main batu putih. Sebuah batu yang berwarna putih dilemparkan ke dalam air, lalu bergantian untuk menemukannya dengan cara membuka mata di dalam air.

Siapa penemu pertama dialah dianggap jagoannya meskipun orang yang kedua dan seterusnya belum mendapat giliran. Karena memang biasanya setiap orang sampai dapat dua kali giliran untuk menyelam menemukan batu putih yang dilemparkan, namun tidak juga dapat ditemukan.

Permainan lempar batu putih ini hanya bisa dilakukan di kala sungai Alas sedang masanya jernih, bening, jika di musim hujan, air sungai jadi keruh, maka permainan ini tidak dapat dilakukan karena jangankan batu putih, batu merah pun takkan tampak dan mata akan perih dengan tanah dan pasirnya sungai yang sedang keruh dan kotor.

Selain lempar batu putih, kami juga sering membuat kuil kecil yang dari pasir di pinggir sungai. Siapa yang paling tinggi, paling bagus, paling cantik, paling gagah dan segera selesai kuil buatannya, daialah pahlawannya. Dialah arsitek yang terkemuka di mata para penggembala. Kadang dibiarkan sampai kuil yang dari pasir itu sampai rubuh sendirinya, sampai hujan menghancurkannya. Keesokan harinya kami datang lagi, masih berdiri. Berarti tadi malam air sungai tidak pasang, berarti tadi malam tidak turun hujan.

Kadangkala ada teman yang usil dan menendangnya, dituduhnya lembu Cimun-ku yang melakukannya. Di Pante Dona ada pulau kecil, padang rumput yang dikelilingi sungai Alas. Jadi kami mengantarkan lembu kami dan kami bisa santai mandi sepuasnya tanpa harus peduli dan takut lembu kami beranjak dari sana. Sebab ia takut menyeberang ke sebelah timur sana yang sungainya dalam, jika pun lembu mau menyeberang, mereka mesti menyeberang dari tempat kami mandi dan mereka tidak berani juga sebab ada kami yang sedang mandi. Kalau kami tidak ada maka sudah lama mereka minggat dari sana. Hanya waktu seperti inilah kami bisa senang, bisa bermain dan istirahat saat menggembala. Pernah juga ada pulau yang dibentuk sungai, sekeliling pulau ini airnya dalam sekali sehingga lembu tidak berani menyeberang. Kami pun mengantar mereka ke pulau ini lalu kami pulang ke rumah. Sore barulah kami datng menjemput. Namun tidak lama seperti ini. Paling cuma dua minggu sebab pulau ini akan kehabisan rumput dengan puluhan lembu-lembu kami. Selain daripada itu maka harus waspada dan siap siaga menjaga.

Bukan waspada pada maling, tapi waspada pada lembu kami sendiri yang mengintip-intip tanaman orang lain. Bertahun-tahun menggembala belum pernah lembu kami dicuri orang, sebab bagaimana mungkin mereka mencuri, lembu kami liar pada orang tak dikenal, mereka akan memanggil-manggil kami jika ada bahaya. Mencuri anaknya? Anaknya selalu dekat induknya, bisa-bisa diseruduk. Namun alasan yang paling benar ialah memang masa itu tak ada pencurian di siang hari dan belum pernah juga ada pencurian di dalam kandang. Aman sentosa.

Kulihat sesekali Cimun mendekat ke tempat kami mandi, dia ingin menyeberang. Awalnya dia pura-pura hendak minum padahal ia ingin menyeberang.

"Cimun, jagan nakal, Cimun!" kataku melarang. Saat dia mendengar suaraku dia pun segera lari. Kalau temanku yang melarang Cimun tidak peduli karena ia tahu itu bukan suaraku. Kalau lagi musim hujan, padang rumput akan banjir. Kami menyebut padang rumput dengan istilah, Pasekh-yang maknanya adalah pasir. Jadi harusnya ditulis Padang Pasir, tapi maksudnya padang rumput. Bahasa daerah kami punya ciri khas pada dua huruf, "K dan H", digabung jadi "Kh" Banyak kata yang mesti diselipkan dua huruf itu, terutama kata yang memakai huruf, "R". Misalnya, Gula Pasir jadi Gula Pasekh. Tanah Merah jadi Tanah Mekhah atau Megakhe. Cerita jadi Cekhite. Harus jadi Hakhus. Banjir jadi Banjekh. Pemerintah jadi Pemekhintah. Dan dominannya pada huruf "E" kami seperti menyebut kata "Elang" bukan seperti "Ember".

Padang rumput digenangi air bahkan dataran tinggi yang tidak kena air sekalipun ditutupi oleh tanah karena derasnya hujan. Maka salah satu solusi kami adalah pergi ke gunung. Musim semi adalah yang paling ditunggu-tunggu lembu, ah di Kuta Cane tidak ada musim semi. Adanya musim kemarau dan hujan.

Setelah musim kemarau adalah hal yang ditunggu lembu, sebab banyak tunas baru yang tumbuh hijau nan subur. Yang paling tidak diiginkan dan disedihkan lembu dan juga kami sedihkan ialah musim hujan dan kemarau. Musim hujan banjir dan rumput akan digenangi air dan ditutupi tanah. Musim kemarau padang rumput banyak yang kering, rumput kawat pun bisa kering dan kurus. Lembu tidak selera makan.

Kami membawa mereka naik gunung. Lembu suka sekali naik gunung, kami sebagai pemilik juga senang. Karena di gunung dingin, banyak pohon rindang dan juga padang rumput ilalang. Kalau di gunung kami tidak pernah kelaparan sebab banyak nangka gratis yang boleh dipanjat. Ada pohon rambutan yang tidak dilarang untuk diambil buahnya.

Sore pun tiba dan kami siap-siap pulang. Kalau pun lembu kami masih lahapnya makan, kami tetap pulang. Karena tidak mungkin sampai malam meskipun lembu tetap bisa melihat rumput di malam hari dan membabat rumput selahapnya.

Maka tak jarang lembu kami makan di tengah jalan, mencuri tanaman pinggir jalan, itu adalah karena dia lapar. Tapi ada memang tipe lembu yang tidak pernah kenyang, mau diberi makan sebanyak apapun dia akan tetap makan di jalan karena sudah jadi kebiasaan, itulah lembuku Cimun. Saat pulang sambil jalan, selain fokus pada jalan kulihat lembuku sambil mengunyah.

Semua lembu mengunyah makanannya saat berjalan. Padahal sedari tadi kuperhatikan tidak ada yang memakan tanaman orang lain kecuali Cimun. Juga tidak makan rumput di pinggir jalan saat mobil lewat kecuali Cimun. Lalu dari manakah mereka bisa mendapatkan rumput dan mengunyah?

Belakangan kutau karena sering memperhatikan, ternyata rumput yang mereka babat di tempat menggembala tadi belum semuanya mereka kunyah dengan halus, ada ruang penyimpanan khusus mereka. Dan rumput itu mereka keluarkan lagi ke mulut dan dikunyah. Itulah kenapa saat di dalam kandang pun lembu masih mengunyah, hingga tengah malam saat aku dan ayahku menjenguk kandang lembu karena ada salah satu lembu kami yang teriak, ayahku khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan. Aku diajak ayah melihat ke kandang.

Ternyata api kandang mereka sudah habis jadi debu, lembu tidak bisa tidur nyenyak kalau tidak ada asap sebab nyamuk sangatlah banyak, mengganggu dan memangsa. Kulihat lembu-lembuku masih ada yang mengunyah makanannya, padahal sudah tengah malam.

Itulah kenapa mereka mulai teriak sejak jam sepuluh pagi hingga zuhur tiba tak henti? Tidak lain ialah karena tidak ada makanan lagi yang mau mereka kunyah. Semua rumput sudah masuk ke dalam perut dan sudah keluar jadi kotoran.

Semua kandang lembu di kampungku memang pakai kelambu jaring yang tidak muat nyamuk masuk, tapi ada bagian kelambu sedikit terbuka yang kadang memang terbuka gara-gara ada lembu yang lasak di kandang, dari celah itulah banyak nyamuk masuk. Biasanya yang teriak-teriak jugalah si Cimun. Seakan memang Cimun yang ditugaskan oleh geng betinanya untuk memanggil tuannya. Kotoran lembu yang sudah kering, kami jual. Kadang kala ada mobil kodisel yang datang mengambil. Kadang juga kami izinkan pada saudara yang mau mengambilnya untuk dijadikan pupuk tanaman.

Setengah jam perjalanan, aku sampai di rumah. Aku langsung makan, sebab masakan ibu sudah siap untuk dinikmati. Ibu selalu masak sebelum kami pulang dari mengangon. Setelah makan aku mandi dan ngaji. Setelah ngaji lekas tidur dan lupa diri. Lelah pun hilang. Semoga Allah memberi umur panjang untuk esok hari.