webnovel

Santik

Membaca judul diatas, kamu jangan langsung menyalahkanku bahwa jariku telah melakukan typo, bukan, Kawan. Atau merasa baper karena mengubah huruf 's' dengan huruf 'c' dan kamu tersenyum manis begitu pada saat membaca judul yang kutulis itu.

Santik adalah sahabat karibku, akrab sekali sejak aku kecil dulu. Kadang kita suka berantam dan akhirnya ia tidak berada di dekatku meskipun kadang aku melupakannya. Setiap kali aku mengingatnya dan membawanya pergi jalan-jalan, maka aku merasa betah dan terhibur. Segala kesunyian akan lenyap dan angin pun berembus sejuk. Asap-asap hasil uapan dari kayu api itu mengelilingi sekujur tubuhku dan lembu-lembuku, mengusir nyamuk dan lalat dari sekitarku.

Baiklah, usah kuteruskan dengan menghayal yang tidak terlalu penting. Aku tidak mau kamu cemburu. Maka dari itu lebih baik aku jujur padamu, memberitahumu siapakah atau apakah santik itu? Santik adalah sebutan atau kata ganti dalam bahasa daerahku Kuta Cane untuk menyebutkan: Macis, geretan atau korek api.

Benar, seperti yang telah aku uraikan sebelumnya bahwa macis adalah sahabat karibku. Ia tak jarang dekat denganku, aku membawanya dan membutuhkannya ketika aku harus mengawasi pasukanku. Tanpa macis, aku benar-bear merasa sepi dan sendiri.

Hari-hariku terasa hampa walau pasukanku kenyang dan gembira. Para prajuritku akan merasa tidak nyaman dan tenang kalau tanpa macis. Karena akan banyak drakula-drakula kecil bersayap ribuan datang menghisap darahnya. Bayangkan itu, ribuan jumlahnya! Setiap hari para drakula kurcaci dan bersayap itu dan anaknya ditugaskan untuk menghisap apa dan siapa saja yang punya darah. Sungguh, aku pun menjauhinya. Tanpa macis, aku kadang kelaparan, tanpa macis aku kadang kesunyian, tanpa macis kadang aku hanya menatap kosongnya hamparan lapangan, tanpa macis kadang aku disuruh untuk meminjam macis orang lain, tanpa macis kadang aku seperti pemantik yang hidup di zaman purba. Aku mencari dua batu, kupecahkan dan kuadu-adukan dua batu itu hingga menghasilkan percikan-percikan api dan menyalalah si jago merah.

Oh betapa aku dan macis sudah seperti teman tapi mesra. Namun karena macis adalah benda mati, cukuplah ia tetap sebagaimana mestinya, tetaplah itu kukenal sebagai alat penyembuh kesunyian di masa kecilku. Tak kenal, maka sulit aku menyapa dan tak kenal maka takkan kusapa, percayalah bahwa sapa-menyapa cara kecil untuk kita lebih jauh saling mengenal dan siapa tahu kita saling mencintai dalam artian kita bersaudara. Ini kenapa ya? Kok kemana-mana?!

Aku adalah salah satu pengangon di antara belasan pengangon lainnya. Sejak kelas SD aku sudah mulai dilatih, diarahkan atau disuruh ngikut atau sekadar menemani abangku mengangon ke padang belantaran rumput yang luas. Menyeberangi sungai, melewati bebatuan, semak belukar, mendaki gunung, melintasi duri putri malu yang luas yang siap menusuk alas kaki, mencakar betis, mengitari pasir dan kerikil, padang ilalang yang menggigit betis jika bercelana pendek dan hampir segala yang tumbuh di nusantara, daerah kutacane khususnya, pernah kami pijak dan kami datangi, terkhusus lagi di kecamatan Lawe Alas, Tanoh Alas, Babul Makmur dan Semadam Baru.

Aku, dan teman-teman pengangon lainnya adalah dari keluarga yang menengah ke bawah, tergolong dalam kata miskin bahkan hampir boleh dikatakan pakir. Sejak pulang sekolah, tepatnya setelah shalat zhuhur, aku dan teman-teman pengangon lainnya membuka pintu kandang lembu.

Kadang kami tidak sempat makan di rumah sehingga kami atau ibu kami membungkuskan nasi dan lauk seadanya untuk bekal makan siang. Kadang juga kami sudah makan tapi tetap membawa nasi karena biasanya kami suka lapar setelah tiga jam di tempat mengangon, pulau-pulau kecil yang dikelilingi sungai Alas.

Kalau sudah sore, sebagian lembu-lembu kami sudah kenyang. Sebagian mereka akan mendekati kami, terlebih jika kami membuat api. Lembu kami suka dengan asap, suka menghangatkan badan. Lembu akan rebahan, menunggu untuk diperintahkan pulang. Sungguh betapa Santik sangatlah berguna bagi penggembala.