webnovel

Kandang

Di Alur Langsat penduduknya adalah menegah ke bawah. Salah satunya adalah kedua orang tuaku yang hidup miskin. Ayahku seorang pekerja keras. Ia mencari rotan di gunung yang tinggi, rimba dan berminggu-minggu lamanya. Kadang sebulan barulah ia kembali ke rumah.

Ayahku tidak sendiri, ia bersama teman-temannya mendaki gunung demi mencari di mana pohon rotan tumbuh. Begitu ayahku pulang dari gunung, kulihat rotan yang ia gendong bergitu banyak gulungannya. Satu rotan lebih lima meter panjagnya. Kami menyebutnya dengan, 'Getang' Berat? Tentu saja. Selain bawa rotan, kadang ayah juga bawa ikan-ikan besar, katanya ia dan teman-temannya menngkap ikan. Ayahku di usia mudanya pecandu traveling, naik gunung antar gunung demi mencari nafkah untuk menghidupi anak dan istrinya di rumah.

Kemudian hari kenapa abangku yang paling besar juga hobi naik gunung? Sebab ia mengikuti jejak ayahku. Dua hari di rumah, ayahku memulai membuat kerajinan tangan.

Hasil rotan itu ada kalanya ia jadikan pengikat sendok atau Senduk yang bahannya dari batok kelapa dan bambu, adakalanya ia jadikan Ndikhu, yang digunakan ibu-ibu untuk memilih-memilah dan memisahi antara beras dan rempah padi. Kadang rotan itu ia gunakan untuk membuat atap rumah yang bahannya dari daun rumbia. Ayah? Dia orang yang sungguh-sungguh.

Semua hasil jual kerajinan tangan ayah, dibelikanlah kambing. Aku masih berumur empat atau lima tahun, dan abangku umur delapan tahun. Abangkulah yang mengangon kambig itu, dan kadang aku di saat ia pergi sekolah. Pulang sekolah barulah ia lagi yang mengangon kambing-kambing yang baru dibeli ayah. Kenapa ayah membeli kambing? Karena ayah tidak mampu membeli lembu, selain itu, karena di dekat rumah kami, di sawah kami banyak rumput yang disukai kambing.

Kambing kami sempat beranak tiga sampai lima induknya, tetapi tidak serasi. Banyak anaknya yang tidak bertahan hidup, induk-induknya juga sakit-sakitan. Kata orang kampung, kami tidak serasi memelihara kambing. Lalu dijual lah semua kambing kami. Tidak lama, setahun kemudian, ayahku bertemu dengan pemilik lembu.

Entah di mana dan bagaima ceritanya ayah bisa bertemu dengannya aku tidak tahu. Kulihat ayahku membuat gundukan tanah yang tinggi, lebih seminggu ayah dan abangku membuat gundukan itu. Kemudian ayah membuat rumah, seperti kandang lebih tepatnya. Ayah dibantu oleh Pak Ngah, Pak Lung, Pak Lang dan Pak Pun dan Bambkhu, juga abang-abangku.

Dua minggu kemudian kandang pun jadi. Belakangan aku tahu, atap rumbia kerajianan tangan ayah jugalah dipakai untuk atap kandang lembu yang seminggu lagi akan datang. Selesai membuat kandang, diadakan kenduri kecilan di rumah, begitu kebiasaan orang Kuta Cane, di Alur Langsat khususnya, bila mendirikan rumah pastilah ada makan-makan dan doa untuk rumah yang baru, lebih tepatnya setelah tiang raja rumah telah didirikan. Tak sabar menunggu lembu-lembu datang!