webnovel

Alur Langsat

Aku orang Kuta Cane, kecamatan Tanoh Alas, kabupaten Aceh Tenggara. Daerahku tidaklah sekecil jika aku berdiri di atas gunung yang tingggi lalu memandang ke bawah dan tampaklah hamparan rumah-rumah seakan bisa aku jengkali dengan jariku, tidak, tidak begitu, Kawan! Bila saja aku mau mengelilinginya, seharian naik motor memang cukup tetapi tidak semua desanya bisa aku datangi. Jadi cukuplah kuakui bahwa daerahku memang luas sebenarnya walaupun dikelililgi gunung.

Aku tinggal di desa Alur langsat, kecamatan Tanoh Alas kabupaten Aceh Tenggara Kuta Cane-Aceh-Indonesia. Untuk sampai ke desaku, kamu mesti melewati jembatan tinggi yang melentang di atas sungai Alas, yang menghubugnkan timur dan barat.

Gugung dan Ncuah istilah suku daerah yang kami pakai. Sungai Alas adalah hadiah terindah yang Allah berikan pada daerah kami, yang sembonyannya: hidup di kandung adat, mati di kandung hukum, yang tak lebih tak kurang artinya bahwa Kuta Cane Aceh Tenggara adalah daerah yang kental dengan adat dan taat pada hukum.

Jika kamu orang jauh, saat hendak datang ke daerahku, cobalah naik pesawat yang dari Medan ke bandara Lauser Agara, nanti akan kamu lihat sendiri ada sungai yang kami namai Alas. Nikmat besar adanya sungai Alas adalah untuk mandi dan apa saja. Jadi sejak dini sudah diajak mandi ke sungai Alas kalau airnya sedang surut atau tidak dalam dan membahayakan. Itulah kenapa kami yang rumahnya terhitung dekat dengan sungai Alas semuanya bisa berenang, walaupun di titik-titk yang deras dan dalam. Aku pernah dipukul ayah. Aku merasa seudah pandai berenang dan berani. Ayah mengajakku untuk mengantarnya ke tempat dia bekerja.

Ayahku bekerja di pembuatan pagar tebing atau pagar tepi sungai yang kami sebut dengan Kekhonjong. Yang bahannya adalah batu-batu sebesar betis, paha dan kepala. Kemudian batu-batu itu disusun rapi dan diikat dengan kawat yang sedikit lebih kecil dari jari kelingking. Para pekerja menyusun dan mengikatnya dengan rapi. Karena musim hujan dan banjir meluap ke sawah dan tanaman di pinggir sungai penduduk, jadilah pemerintah daerah membangun Kekhonjong di sepanjang tepian sungai Alas, dan ayahku salah satu pekerjanya. Ayah menganjakku untuk membawa sebagian barang-barang keperluannya. Sampai di tempatnya bekerja, ayah menyuruhku pulang. "Langsung pulang, nanti jangan singgah lagi dan mandi di sungai!" Ayah tegas mengingatkanku, di depannya aku bilang iya, tapi begitu aku tiba di tempat pemandian yang jauh dari tempat ayah bekerja aku pun mandi bersama teman-temanku hingga lupa diri.

Niatku hanya mandi sebentar saja, dan aku mengira ayahku juga bakal lama bekerja. Namun karena ada teman dan aku keasyikan. Tiba-tiba ayahku pulang dari bekerja dan mendapatiku sedang mandi. Aku takut dan sedikit bergetar. Tapi kulihat ayah senyum dan santun menyuruhku pulang dan membawa barang bawaannya termasuk parangnya yang bersembung.

Tiba rumah, sembung parang itulah yang ayah pukulkan pada kedua betisku. Aku menjerit kesakitan. "Sudah-sudah, cukup-cukup." kata ibuku, tapi ayah tetap memkuli betisku dengan sekuat tenaganya dan tidak berhenti sebelum ia puas. Saat tanganku lepas dari genggamannya, aku lari sekencang mungkin, aku kabur dari rumah karena memang ibu menyuruhku lari! Memang ibu sering bilang bahwa ayahku pendiam, jarang bicara, tapi kalau memukul seperti ingin membunuh. Sekarang baru aku rasakan ternyata ibu benar, mulai saat itu aku sangat takut pada ayahku. Aku takut pulang, aku berada di kampungku tetapi tidak berani pulang ke rumahku. Aku menangis tersedu-sedu menyendiri, aku lapar dan duduk di bawah pokok kapuk di Sawah. Sampai malam hari aku belum berani pulang dan belum makan. Sehabis isya, saat ayahku sudah masuk kamar, ibu mencariku dan membawaku pulang dan aku segera makan malam, masuk kamar lekas tidur. Sejak kejadian itu kalau ada salahku pada ibuku, adikku, kakakku, rumahku, tetatngga dekat, pada diriku sendiri dan lembuku, maka aku tidak berani berada di dalam rumah, aku pergi dari rumah dan tidak berani pulang. Meskipun begitu, bandelku, yang namanya anak kecil, ada saja kesalahan baik segaja atau pun tak senagaja, bahkan tak tahu yang dilakukan itu salah atau benar. Tapi tidak sempat dipukul ayah atau ibuku karena aku selalu kabur dari rumah, sembunyi di tengah-tengah jagung yang tinggi.

Abangku yang nomor tiga, namanya Piyah. Dia juga pernah dipukul ayah karena memanjat pohon belimbing tetagga tanpa izin, malah ia bawa ke rumah. Sampai dirumah disuruh ayah dia kembalikan ke tempatnya dan dia tidak mau, lalu ia pun dipukul sampai bengkak-bengkak. Kata ibuku aku masih kecil waktu ia diupukul jadi aku tidak tahu. Sejak itu abangku berubah dratis, ia jadi anak yang baik. Tidak berani lagi mengambil milik orang lain tanpa izin.

Alur Langsat. Kenapa desaku bernama Alur Langsat? Kata orangtua kami karena dulunya banyak pohon langsat, tetapi kemudian ditebangi sebab makin banyaknya rumah penduduk. Alur Langsat jugalah sebuah nama yang tertulis secara resmi di kabupaten dan di atas kertas dan disebutkan hanya bila ditanya orang asing. Seperti misalnya jika ada orang luar kampung atau mungkin dari luar daerah, jika mereka bertanya tentang kampung kami pastilah yang terucap di mulutnya; Alur Langsat. "Pak, boleh tanya, kampung Alur Langsat di mana ya?" Tak lebih dan tak kurang begitu bentuk pertanyaannya. Hal ini pun tidaklah semua orang tahu. Meskipun rumah penduduk Alur Langsat di tepi jalan pemerintah.

Alur Langsat punya nama yang lain, atau nama kedua. Kamu mau tahu? Nama Kedua kampungku adalah; Payung Kepek. Jadi tentulah jika ada orang luar daerah bertanya di salah satu kampung di Kuta Cane dan ingin ke kampung kami dengan menyebutkan Alur Langsat, dia belum tentu tahu. Tetapi mungkin jika disebutkan nama yang kedua, nah dia akan segera tahu. Apalagi jika bertanya di kampung sebelah kami, seperti; Khutung Mbelang, Lawe Tungkal, Alur Nangka, Rambah Sayang dan Salim Pinim, tanyalah pada bapak-bapak, ibuk-ibuk atau remaja di sana maka kamu akan segera tiba di kampungku.

Payung Kepek, begitu kebiasaan orang kampung sebelah kiri dan kanan memanggil nama kampung kami dan kami pun mengakui nama itu. Kenapa bisa nama Alur Langsat jadi Payung Kepek? Karena dulu ada pabrik padi yang sudah lanjut usia, tua sekali pabrik padi itu! Dan suara mesinnya saat menyala, keluarlah bunyi: Pekepek pek-pek-pekepek-pek-pek. Dulunya tempat penggiling padi hanya adanya di kampung kami. Sehingga tidak heran tiga desa sebelah kanan dan tiga desa dari sebelah kiri menggiling padi di kampung kami.

Mereka tertawa mendengar suaranya, lalu saat pulang ke rumah masing-masing mereka pun mengenang saura itu kemudian mengejeknya di belakang hari, hingga tersebar meluas dan viral lah suara itu. Hari ini kampung tetangga sebelah masih menamainya demikian. Itulah alasan kenapa yang tertulis secara resmi di kertas bukan Payung Kepek melainkan ialah Alur Langsat, juga selain nama itu agak lucu dan hampir tidak layak dimuat dan dimunculkan di daftar nama desa di tingkat kabupaten. Dan satu lagi, kalau mau ke daerahku, sampai di Kuta Cane, bilang saja bahwa kamu hendak ke Engkran Alur Lansat, nanti kamu bakalan segera tiba di kampungku. Harus ada kata, 'Engkerannya ya Gaes!