webnovel

Patok Lele

Hari ini kami menggembala di pulau yang sejar dengan rumah kami. Pulau kecil ini dikelilingi sungai Alas. Kami menjaga di bagian yang dangkal di sisi timur bagian hulu dan hilir. Lembu Cimunku sudah berkali-kali aku usir masih saja ia mengulanginya. Kami bagi-bagi tugas. Kadang senior di hulu kami di bagian timur yang hilir pun sebaliknya. Kalau sedang ada giliran bakar-bakar, kami kami mengumpul di satu tempat lalu disuruh bergantian melarang lembu pergi menyeberangi air yang setinggi betis.

Di tempat menggembala ini lah kami main Patok Lele. Kadang main batu anak. Ada satu batu bulat dan masing-masing orang punya batu lempeng untuk dilemparkan ke batu anak. Yang lemparannya tidak mengenai batu anak dialah yang akan mengguling batu anak hingga masuk ke lubang, meskipun sudah masuk lubang, kalau yang belum dapat giliran melempar dan batu bulat itu keluar dari lubang, maka ia tetap dapat giliran. Permainan lempar batu anak ini kami namai dengan permainan PAF.

Ada pun Patok Lele terbuat dari dahan-dahan rumbia. Kami ambil dahan rumbia yang telah kering bagian ujungnya. Ada dua atau tiga untuk dijadikan pemukul sepanjang lebih dari setengah lengan. Lalu sepanjang tiga hingga lima senti untuk anak yang dipukul dan didorong ke depan sekuat tenaga dan ditimpung-timpung sebanyak tiga kali lalu dipukul sekuat tenaga. Ada kalanya potongan kecil itu mengenai orang yang jaga. Yang giliran menjaga maka tugasnya menangkap dan mengambilnya di kejauhan lalu ia hanya boleh meloncat tiga kali loncatan dan melemparkan potongan pendek itu ke pemukul yang diletakkan di atas lubang. Jika kena maka yang jaga bergantian sudah beres urusan dan yang memukul yang jaga. Jika tidak kena maka dialah yang terusan menjaga.

Kami bermain tiga orang. Aku, San dan Wiw. Sebelumnya, Wiw adalah anak dari adik ayahku paling kecil. Sepupu aku. Anak Pak-Pun. Masih satu kakek. Abang Wiw adalah Hen. Adiknya yang ikut menggembala dengannya ialah Aya, laki-laki juga. Lembu yang mereka gembalakan adalah beberapa lembu dari lembu yang aku pelihara. Sebab aku tidak mampu menggembala lebih dari dua puluh tiga ekor lembu sendirian. Abangku sudah tidak lagi di kampung, ia masuk pesantren di Samalanga Bieuren.

Lembu yang dipisahkan ke mereka ialah Lembu Gitul kami dan beberapa keturunannya. Lalu lembu Sunggi kami, kemudian anak Sunggi yang tak aku pilih saat pembagian dan menjadi bagian Tokeh, lalu anak Cimun. Yang tadinya lembu yang aku pelihara lebih dua puluh tiga ekor, kini tinggal lima belas ekor.

Di pulau ini hanya kami berempat. Aku, Wiw, San dan Aya adiknya Wiw. Kami bermain Patok Lele sedari ashar tadi. San dan Wiw mengajak udahan, namun karena aku yang sering jaga dari tadi, aku tidak mau udahan, aku mau mereka juga jaga selama aku jaga. Yang menjaga lemparan itu ibarat sedang kena hukuman. Akhirnya kami bermain hingga matahari terbenam.

Wiw telah mengkhawatirkan lembu akan pulang duluan atau pergi dan hilang. Aku pun tahu hal itu. Tapi aku tetap tidak mau sebab dari tadi aku selalu kalah. Kami lanjut bermain. Wiw dan San juga tidak bisa berhenti begitu saja sebab aku larang pergi. Aku ingin aku yang melempar dan mereka yang jaga, atau salah satu dari mereka. Sebab aturannya hanya satu orang yang jaga. Kecuali mainnya berempat.

Sepuluh menit sekali Aya disuruh Wiw mengecek lembu apakah mereka masih ada di padang rumput atau telah menghilang. Ketika suruhan pengecekekan ke sepuluh, Aya datang ke tempat kami bermain, dia lari ketakutan,

"Lembu hilang! Tak ada satu pun di padang rumput!"

Kami langsung bergegas pergi dan menelusuri semua sisi pulau kecil ini. Pojok ke pojok. Tidak ada. Kami masuk ke dalam jagung, tapi tidak ada tanda telapak kaki lembu di tanah, juga tidak ada satu jagung pun yang patah. Tidak mungkin rasanya lembu kami menyeberangi sungai ini kalau kami tidak suruh dan ikut bersama mereka. Tidak pernah kejadian sebelumnya.

Lembu pulang sendiri setelah kian lama menunggu pemiliknya tak mengajak mereka pulang, tapi bagaimana mereka pulang dan menyeberang? Apakah ada keberanian tanpa perintah dari kami? Air sungai yang dalam dan deras? Kalau menyeberang bakal menghayutkan mereka ke hilir dan tidak sejajar mendaratnya dengan sisi awal penyeberangan, tidak akan pernah lurus, mesti hanyut beberapa meter dibawa arus, begitu tiap kali menyeberang.

Kalau menyeberang, lembu-lembu kami menggembungkan perutnya menjadi pelampung mereka. Yang tidak tenggelam hanya kepala mereka saja, badannya tak tampak. Napas mereka besar saat menyeberang, kakinya berkayuh-kayuh. Kami pun ada rasa takut menyeberangi sungai yang lebar dan dalam serta deras ini kalau saja tanpa pegangan pada salah satu lembu.

Hari sudah mau gelap. Kami tidak pulang dari desa Salim Pinim. Kami menyeberang dari sungai yang sejajar dengan rumah kami dan sampai di rumah, melihat ke kandang, belum ada. Kami lapor ke orang tua masing-masing bahwa lembu kami hilang.

Pergilah ayahku dan dua orang adik-adiknya Pak Lung dan Pak Pun. Ayah naik sepeda, Pak Lung dan Pak Pun naik becak beerdua. Mereka duluan, ayah mengayuh sepeda. Pukul depalan malam mereka pulang membawa lembu. Kata ayah padaku, lembu kami itu dikawal oleh seseorang dari Semadam baru sana hingga ke Pante Dona. Lembu kami menyeberang ke tempat kami menggembala di pulang Semadam Baru. Mungkin lembu kami tidak tahu jalan pulang sebab belum sampai di jalan raya, mungkin mereka lupa jalan pulang, akhirnya salah memilih jalan, harusnya ke kanan malah ke kiri. Kulihat lembu-lembuku lelah dan perut mereka kembung semua, itu artinya mereka kenyang sebab makan hingga malam hari. Biasanya begitu matahari terbenam semuanya sudah kami ajak pulang.

Ada kalanya kami sengaja pulang setelah magrib. Seperti memggembala ke Tebing. Ninik Wok Yan ingin pulang sebentar lagi, akhirnya kami ikut dengannya. Sedangkan lembu-lembu mesti dikumpulkan dan dicari dulu. Masing-masing orang hanya mencari dan mengumpulkan lembunya sendiri. Jika salah satu dari kami melihat lembu orang lain dari kelompok kami, maka akan kami bilang bahwa lembunya makan bersama lembuku,

"Ada nggak kau lihat lembu Mbulan-ku, Daud?" tanya San padaku.

"Ada, tadi makan di situ dengan lembu Gulaku." Lalu San juga ke sana. Kadang saja kami janjian kalau melihat lembu yang lain juga ikut disuruh mengumpul. Ada beberapa kali, mungkin satu kali dalam sebulan.

Menggembala di desa Alur Nangka juga begitu. Kalau sudah gelap hari kami belum pulang, sudah pasti ayahku menunggu di tepi sungai dan membawa senter. Ayah datang naik sepeda, sesekali ia mnyalakan senter ke arah seberang sungai, berharap kami muncul. Begitu menyeberang, aku kaget mendapati ayahku sudah berdiri menunggu sejak sejam lalu. Ayah khawatir kami kenapa-napa, entah lembu atau kami yang hilang,

"Kenapa gelap baru pulang?" Tanya ayah.

"Tadi kami menunggu lembu yang hilang dulu." Jawabku. Di Alur Nagka ini tempat menggembalanya gabung dengan penggembala penduduk Alur Nangka. Lembu mereka juga banyak, dan tentu kami tak mudah mengumpulkan lembu sebanyak itu. Mereka memang sengaja pulang gelap. Ayah mengikutiku dari belakang dan sesekali menyalakan senter.

Begitulah ayah, padahal ia telah lelah bekerja seharian. Tetap saja ia datang menungguku pulang dari menggembala. Padahal dia juga yang membersihkan dan menyalakan api kandang. Kadang juga gantian dengan ibuku. Tapi lebih sering ayahku tentunya. Kandang biasanya dibersihkan sebelum ahsar dan api kandang dinyalakan sebelum matahari terbenam. Kadang aku pulang lebih awal dan ayah sedang menyalakan api kandang. Lembu pasti berebut di dekat api, terlebih anak-anak lembu. Ada pun yang emak-emaknya, memilih mengalah, mereka di tepi dinding dan lebih dulu diserang nyamuk. Nyamuk masuk lewat kelambu kandang yang sobek.

Api kandang tidak tahan sampai pagi, kadang tengah malam sudah mati sebab sabut kelapa itu sudah habis. Kalau aku tidak menggembala, maka aku pergi mencari sabut kelapa di mana saja, bahkan ke desa Salim Pinim. Melihat ke belakang rumah orang apakah ada yang membuang sabut kelapa? Aku membawa alat dorong satu ban itu, warna merah. Aku membawa goni plastik. Kadang aku ajak adik sepupu, anak Pak-Ngah, si Ari. Aku senang kalau dia mau sebab ada yang menemaniku. Dia pun senang asal aku mau mendorongnya naik di atas. Aku pun tak kenal lelah, padahal keringatku membanjiri badanku, bagian belakang bajuku bayah kuyup. Kalau jumpa tumpukkan sabut kelapa, kami senang bukan main! Sebab tidak sia-sia jauh-jauh datang ke desa Salim Pinim.

Ada beberapa lembu yang tidurnya lasak, akhirnya ekornya terbakar, karena itulah kami beri nama salah satu lembu kami dengan nama Gitul. Artinya lembu yang ekornya terputus. Ada juga lembu kami yang bagian badannya kena api kandang. Hingga-hingga bernanah dan berulat kecil-kecil dan bau. Beberapa kali kami beri obat tetapi tak kunjung sembuh, sebab selalu basah kena air ketika menyeberangi sungai. Lembu juga merasa gatal, akhirnya lukanya itu ia jilati dan berdarah lagi. Berbulan kemudian barulah luka itu bisa kering.