webnovel

Adat Satu Pohon Kelapa

Hari ini aku sakit, tidak bisa pergi ke sekolah. Aku membeli amplop di kedai dekat rumah. Amplop yang di pinggirnya warna merah biru itu. Surat telah aku tulis tadi malam sebab sejak kemarin sore badanku lemas dan panas. Pertama kali nulsis surat ialah sewaktu kelas tiga, aku diajari abangku Piyah. Tak lebih tak kurang, aku tuliskan,

"Yth. Bapak/ibuk guru di tempat:

Dengan ini saya bernama M. Daud, memberitahukan kepada bapak/ibu guru bahwa saya tidak dapat hadir ke sekolah pada hari ini dikarenakan sakit. Saya mohon izin. Semoga bapak/ibu guru selalu diberikan kesehatan.

Terima kasih,

Hormat saya,

Alur Langsat, 2007.

Tulisanku cakar ayam. Surat aku titipkan pada temanku Dar dan Yar. Mereka melihatku belum mandi dan memakai sarung sebagai selimut, jalan ke tepi pasar dan menyerahkan padanya. Sejak dua puluh menit lalu telah aku tunggu merekaewat.

Kalau lagi sakit aku sudah pasti tidak bisa menggembala. Tentu nanti ayahku yang mengeluarkan lembu dari kandang dan membawa mereka ke padang rumput. Pernah juga aku cedera gara-gara ikut membantu ayah di gunung pada hari minggu.

Aku diperintah ayah membabat rumput yang melebihi lutut agar kebun karet kami tampak terang dan terbuka. Sewaktu aku membabat dengan parang, tak sengaja parang itu menancap pada betisku bagian depan yang kiri hingga kena tulang keringku. Darahnya mengucur. Aku menangis kesakitan.

Kemudian aku istirahat di gubuk, menunggu ayah selesai bekerja. Tidak langsung mengabarinya sebab aku pun tidak tahu di mana keberadaan ayah. Ditutupi pohon-pohon karet yang tinggi. Kebun karet kami lumayan luas. Jika dipaksakan menderusnya maka lima jam baru selesai. Begitu ayah selesai bekerja ia lihat betis kiriku berdarah dan kami langsung pulang. Tentu tidak bisa digendong. Aku berjalan dengan ayah sebab belum punya motor. Aku di depan dan ayah mengikutiku di belakang. Kami jalan kaki pelan-pelan, menaiki dan menuruni tanjakkan.

Sebelum adanya pembukaan jalan menuju gunung, penduduk Alur Langsat mesti jalan kaki. Tahun 2004 pembukaan jalan pun dilakukan. Dua alat berat Beko diturunkan. Kami senang sekali meskipun kami belum punya motor. Kalau panen getah karet, kami menggendongnya dari gunung turun ke desa dengan jarak perjalanan kurang lebih empat puluh menit. Aku pernah menggendong getah karet sekali. Kemudian setelah adanya jalan mobil, kami telah menggunakan alat dorong, masih pakai tenaga manusia.

Aku juga pernah diajak ayah menjaga sawah di gunung. Ayah menyewa sawah di gunung yang jaraknya sebelum sampai ke kebun karet kami. Sawah ini berada di tengah dari perjalanan kami menuju kebun karet. Karena banyak sekali babi yang masuk ke dalam sawah di malam hari dan merusak tanaman padi, sehingga kami harus menjaganya di malam hari.

Sebelum magrib kami berangkat dari rumah. Tiba di gunung sudah mau gelap. Ayah shalat magrib. Aku menyalakan api. Dan setelah sholat kami keliling sekitar padi, melihat-lihat, belum ada pagar padi yang jebol. Sebenarnya ini hanyalan pagar plastik setinggi kurang sedikit satu meter. Hanya untuk pencegahan tikus saja. Makanya sesekali dijebol oleh babi, babi suka sekali dengan tanaman milik manusia.

Hari sudah gelap, tidak ada lampu listrik. Nyamuk pun datang menghampiri. Gubuk kami tinggi dan kami membuat perapian di bawah gubuk agar mengahsilkan asap yang banyak untuk mengusir nyamuk. Tadi sebelum pergi kami juga membeli Autan, iklannya di tv pemilik kedai kopi dapat mengusir nyamuk. Oleskan pada kulit maka nyamuk tidak mau hinggap. Benar begitu.

Kami menghidupkan lampu tromak dan juga menyenteri sekeliling sawah. Meriam bambu yang telah kami siapkan, kami isi dengan minyak tanah lalu aku hidupkan. Moncong meriam itu aku arahkan ke arah yang biasanya babi datang.

"Dhoom! Dhas! Dhuss! Dhar! Dhur!"

Pukul sepuluh barulah berhenti kami menyalakan meriam. Ini di tahun sebelum tahun 2004, GAM masih sedang gawat-gawatnya, ini sebelum aku ikut aktif menggembala.

Aku pernah terkejut begitu turun dari gunung, di tepi gunung setelah jembatan Batu Seding, TNI dengan seragam lorengnya berkumpul dan di belakang sana terparkir satu truk. Aku ketakutan, umurku belum lebih sepuluh tahun. Aku gemetaran, aku kira akan terjadi perang. Mereka datang dengan seragam lengkap dan senjata panjang, bersepatu hitam tinggi. Gagah perkasa, tinggi-tinggi dan berisi badannya! Mereka menunggu di situ, entah apa yang hendak mereka lakukan, entah apa yang mereka jaga, entah apa pula yang mereka awasi? Hanya saja mereka tersenyum saat kami lewat dan pulang dari bekerja.

Sampai di desa, orang-orang yang turun dari gunung sudah heboh. Menceritakan apa yang dilihat kepada yang tak naik gunung. Padahal kata yang paham, yang tua-tua, TNI itu hanya melihat-lihat, patroli, tak ada tembak-menembak sebab tak ada yang mulai menembak. Sering kali ada himbauan kepada masyarakat agar tidak sampai gelap hari di gunung, usahakan pulang sebelum matahari terbenam.

Padahal di kampung kami, atau pun penduduk setempat, belum pernah siapa pun yang mengganggu, kami hanya korban berita dari mulut ke mulut. Tak ada yang pernah berjumpa dengan GAM. Aku pun tak tahu kenapa harus takut kalau misalnya pun bertemu GAM di gunung ketika itu. Heran saja. Padahal di kampung kami tak ada yang gabung dengan GAM, tapi tak tahu juga si, karena aku masih kecil, tak semua cerita orang dewasa aku dengar. Tapi yang aku rasakan, kami hanya ditakuti oleh was-was, belum pernah kejadian apa-apa. Mungkin hanya untuk wasapada saja.

Memang GAM mau apa dari kami? Yang tak punya apa-apa? Minta beras? Beras kami pun hampir habis? Minta minyak tanah? Kami saja kegelapan, rumah kami cuma punya dua lampu teplok satu untuk di ruang tengah dan satu untuk di kamarku dan Piyah sebab kami perlu belajar, mengulang pelajaran.

Ayah sering sekali bilang, "Rajin-rajinlah mengulang pelajaran kalian." Itulah alasannya kenapa lampu teplok diletakkan di kamar kami. Setelah merasa kantuk, api teplok kami tiup, kadang kami ludahi jari telunjuk dan jempol lalu kami pegang apinya dan mati begitu saja.

Awal masuk listrik di rumah kami, kira-kira di tahun 2002 atau 2003. Kami senang dan bersykur sekali. Lalu menyusul dengan semen. Sebelum rumah kami bersemen, sering kali tanahnya ditumbuhi jamur, baik di luar bahkan di dalam kamar kami. Begitu melihat ke dalam kolong, sudah bermunculan jamur-jamur setinggi tiga inci. Mamak mencabuti di luar, aku mencabuti yang di bawah kolong kamarku. Lalu sorenya dimasak sayur oleh mamak, dikasih santan. Apa pun, selagi halal dimakan, kalau mamak yang masak sudah pasti enak.

Di samping rumah kami ada pohon nangka. Aku anggota keluarga yang paling sering memanjatnya. Kadang aku balut dengan goni pelastik. kadang tidak sempat dibalut sebab tak punya goni pelastik. Begitu sudah harum, aku potong tangkainya, jatuh ke air parit. Kalau tidak besar dan berat, maka aku lemparkan ke dekat dinding rumah. Kadang buahnya lebih besar daripada badanku. Bisa-bisa aku yang jatuh duluan disenggol buah nangka.

Di belakang rumah juga ada pohon nangka, tapi bukan milik kami, itu milik ayah Dekh dan San. Aku dan San satu kakek, tentu rumah kami dekat dan pembagian tanahnya juga sebagian dekat rumah kami, jadilah pohon nangka itu milik bapaknya San, pak-Lungku. Di samping kiri rumah kami ada dua pohon kelapa dan beberapa phon langsat yang tak bisa berbuah.

Aku sering sekali memanjat pohon kelapa. Kapan pun aku mau. Tapi ayah dan mamak melarangku sering-sering makan kelapa muda, kata ayah tak sehat buat perut. Begitu diyakini ayah. Bukan karena khawatir buahnya aku habiskan. Isitilah penyakitnya dengan bahasa daerah kami, "Megoh" semacam keras di perut sebab magh. Entah dari mana dan ilmu kesehatan mana yang mengatalakan, pokoknya begitu menurut paham orang dewasa di kampung kami. Kalau ayah sedang bekerja di gunung atau sawah, aku bakal mengambil kelapa muda. Kadang adikku Diana melapor, aku dimarah. Kadang kelapa tuanya juga. Aku parut untuk mendapatkan santan lalu aku masak beras pakai santai buian air dan diaksih sedikit garam. Begitu nasi matang, rasanya cukup gurih. Aku melihat ayahku memasak nasi begitu. Sehingga saat tak ada lauk pulang sekolah, aku manjat kelapa dan menjatuhkan satu buah yang sudah tua.

Sebenarnya pohon kelapa di dekat dapur rumah kami itu milik istri abangku yang paling besar. Menurut adat, jika punya tanaman kelapa, maka menantu dapat satu pohon untuknya, entah kenapa dan apa alasannya aku tak tahu pasti. Tetapi begitulah adatnya. Mungkin agar mudah ia memasak dan membuat sayur bersantan. Meskipun punyanya istri bang we-ku, kadang aku juga mengambil kelapa muda dari situ, sebab yang punya kami telah habis aku ambil. Kalau mamak butuh santan, mamak pasti memanggilku, kalau aku tidak dikamar maka mamak mencariku di tempat bermain. Aku pun kembali dan memanjat pohon kelapa kami. Padahal sudah dipesan mamak jangan ambil yang muda, tetap aku jatuhkan dua.

Tidak hanya di rumah, buah kelapa muda di sawah juga aku panjat, setidaknya sekali manjat aku jatuhkan dua. Kalau masih terlalu muda dan isinya belum banyak, maka aku jatuhkan tiga hingga empat. Sudah pasti dadaku memerah gara-gara digesekkan ke pohon kelapa saat manjat, bahkan pernah kulit dadaku terkelupas, perih rasanya, pedas saat mandi di sungai Rumah Suluk.