webnovel

Diajak Mamak Minta Maaf

Beberapa hari ini hujan lebat. Kemarin sore paling lebat, juga disertai angin dahsyat. Sebab kemarin setelah asar desa Alur Langsat sedang mengadakan pemilihan penghulu. Menurut cerita orang dewasa, hujan itu diarahkan dukun yang telah dibayar calon satunya hingga menumbangkan beberapa batang pisang penduduk Alur Langsat.

Hari ini hari minggu. Satu jam sebelum matahari terbit ayah sudah melihat sawah. Kata ayah sawah telah dilanda banjir. Tanaman padi semuanya tenggelam. Air sungai pasang bahkan hingga parit yang tak jauh dari rumah Dekh dan San.

Kalau air pasang begini, penduduk Alur Langsat akan pergi ke sungai. Membawa alat tangkap ikan yang terbuat dari jaring dan batang rotan itu. Aku juga juga pergi dengan ibuku, juga adikku Diana dan Linda. Ada pun adiku Rina, sedari tadi ia minta ikut tetapi tidak dibolehkan mamak sebab ia masih kecil.

Kami juga mengambil pohon-pohon kayu yang hanyut, yang sudah kering untuk dijadikan kayu bakar. Sangat berguna untuk memasak. Ayah dan mamak pernah menemukan kayu besar hanyut, yang dalamnya berwarna merah itu. Beliau gergaji lalu dibelah dengan menggunakan kampak. Kemudian kami angsuri membawanya ke rumah dengan digendong dan didorong dengan alat dorong satu ban punya bak warna merah itu.

Kayu bakar di letakkan di gubuk khusus didirikan ayah agar tidak basah terguyur air hujan. Tiap kali memasak sehari-hari, tiap waktu pula mamak akan mengambil tiga hinga lima kayu bakar untuk memasak nasi dan sayur. Ada dua tungku, kadang hanya digunakan satu tungku saja.

Ada kalanya acara besar keluarga, seperti nikahan abangku yang nomor dua, bang-Ngah. Maka sudah pasti pesta nikahnya memasak masakan banyak, menggunakan kayu bakar yang telah disediakan dari jauh hari. Penduduk Alur Langsat sangat antusias mencari kayu bakar baik di gunung atau pun di tepi sungai Alas yang mana kayu itu adalah milik siapa terlebih dulu menemukannya. Karena memang dibawa arus dari hulu sana.

Sepulang dari sungai, aku bersepeda ke Rumah Suluk. Bermain dengan temanku. Biasanya kami bermain bertiga. Mad, cucu dari pemilik komplek Rumah Suluk atau Panti Jumpo ini, kemudian Yon, lalu aku. Sesekali juga ada Ari. Kami biasanya memanjat pohon mangga Kuini, pohon mangga udang dan pohon alpukat. Selagi ada Mad, kami tidak pernah dimarahi beliau. Beliau sudah tua, sudah sepuh, tapi masih sehat walafiat. Tinggi. Kemana-mana jalan kaki.

Kami memanggil beliau ustadz. Kalau disebut ustadz, orang-orang sudah tau bahwa yang dimaksud adalah pemilik Panti Jumpo. Kalau lagi musim masuk anggota Panti Jumpo, kami tidak boleh bermain di sini, khawatir mengganggu jama'ah suluk. Juga tidak boleh mandi di tempat pemandian jama'ah. Air sungai mengalir dari hulu. Kalau ditelusuri, air sungai di Panti Jumpo ini berasal dari kaki gunung sana. Mungkin dari desa Alur Nangka bahkan Lawe Kongker, Kepuh, dan dari Batu Amparan sana.

Aku tidak pasti ingat, seingatku, aku tidak pernah dimarahi beliau. Banyak kawan-kawan seumuranku yang mandi kemari. Namun pasti sudah pernah kedapatan dan disuruh pulang, padahal belum sempat sabunan. Memang salah sendiri, sudah dilarang tapi malah datang lagi. Pada umumnya kami segan pada beliau, lebih tepatnya takut, takut dimarahi.

Beliau jika marah, kalau yang mandi dari keluarga dan keturunan kakek kami, beliau tak jarang akan bawa-bawa kakek kami. Hal ini juga kadang bikin sakit hati. Tapi kami, tak ada kapok-kapoknya, lama kemudian mandi di sana lagi. Kalau lagi musim suluk, maka Panti Jumpo ini penuh. Banyak jama'ah datang dari berbagai desa bahkan dari luar daerah. Ketika hari lebaran, anak-anak dan saudara mereka datang menjemput. Sehingga sepanjang jalan kendaraan beroda dua dan empat terparkir bahkan hingga halaman rumah kami.

Setelah bermain, aku balik ke rumah. Makan siang dan siap-siap pergi menggembala. Sesekali aku ke tepi jalan dan melihat ke arah Ninik Wok Yan datang. Begitu beliau muncul, aku pun bergegas ke kandang dan mengeluarkan lembu.

Tadi jam delapan pagi aku telah mengeluarlan lembu ke kandang kedua. Kalau tidak dikeluarkan maka lembu akan membuang semua kotorannya di dalam kandang utama. Lembu biasanya membuang kotoran di tengah malam namun ini tidak begitu banyak. Sisanya mereka membuang kotoran di atas pukul delapan pagi. Hal ini pun tidak menentu. Yang aku perhatikan, setelah punya kandang kedua atau kami menamainya dengan kandang 'sekhap', kotoran lembu jauh lebih banyak dikeluarkan di kandang kedua dibanding kandang utama.

Masalahnya, tiap kali dikeluarlan dari kandag utama, lembu Cimunku pasti melompat lagi ke luar kandang. Tak jarang gara-gara dia meloncat, kandang jadi rusak dan lembu yang lain juga ikutan keluar lalu memakan tanaman jagung Mak-Ngah. Sesekali Mak-Ngah datang ke rumah, melapor bahwa lembu Cimunku lepas dari kandang dan memakan jagung beliau.

Hari ini kami menggembla di tepi-tepi jalan umum di gunung. Lalu turun ke sawah yang dulu pernah kami sewa dan tanam padi. Sekarang pemiliknya sedang panen dan kami boleh menggembala di sana. Lembu suka memakan tunas padi yang tumbuh setelah dua minggu dibabat oleh pemilik sawah. Aku masih ingat, di sini jugalah dulu bang-Ngahku membuat Epet meangis. Aku uduk di gubuk, aku lihat bang-Ngah menumbuk Epet hingga menangis. Gara-gara Piyah pernah menangis dibuat Epet saat menggembala di desa Alur Nangka. Begitu matahari tenggelam, kami mengumpulkan lembu-lembu, kulihat Piyah datang menangis sembari jalan pulang.

Kata Dekh, Piyah berkelahi dengan Epet dan Piyah kalah. Sebab memang Epet orangnya tegap, badannya lebih besar dari Piyah dan memang Epet lebih tua beberapa tahun. Esok harinya Piyah tidak mau menggembala. Lalu abang-Ngahku diminta ayah menemaniku menggembala ke gunung hari itu, di tempat ini, di sawah ini juga kami menggembala. Sore hari, bang Ngah menghajar Epet,

"Jangan kau coba-coba lagi bikin nangis adikku!" Melihat Epet nangis, aku pun ikut kasihan. Tapi lama kemudian, jarak sebulan, saat menggembala di Alur Nangka juga, Epet membuatku menangis, bukan karena dipukulnya, mulutnya yang pedas dan tak bisa diam mengataiku macam-macam. Aku bilang aku bakal lapor ke bang-Ngah,

"Lapor sana! Lapor!" Tapi tidak jadi aku laporkan. Sekali itu saja aku menangis gara-gara Epet, selebihnya kami berteman lagi, tetap jaga jarak antara senior dan junior.

Pernah juga aku menangis gara-gara berkelahi dengan Obol. Kami rebutan buah seri. Lalu turun dari pohon seri, kami beradu jotos. Obol menumbuk hidungku hingga mimisan. Aku menangis. Aku masih kelas empat SD ketika itu. Obol kelas satu MTSN, Piyah kelas dua MTSN, aku lapor ke Piyah, tapi Piyah tak mau membalas. Begitu pulang, saat menyeberangi sungai setinggi pinggang. Aku ambil batu sebesar betisku, aku lemparkan ke Obol dari belakang, batu itu mengenai punggungnya Obol hingga bersuara, 'kedebuk!' Obol tidak berani membalas sebab ada Piyah di sampingku. Dia juga bersama adiknya Ori. Aku sambil menangis melemparkan batu itu.

Begitu tiba di rumah, Piyah melapor ke mamak bahwa aku berkelahi dengan Obol. Dan aku membalas dengan melempar batu ke Obol. Tak ada mamak lihat hidungku kenapa-napa, hanya bengkak saja, sebab darah mimisannya sudah berhenti, marahlah mamak padaku.

"Kok kau lempar dia dengan batu?! Ayo kita ke rumahnya. Kau harus minta maaf!" Aku tidak mau ikut, tapi dipkasa mamak dan juga disuruh ayah. Aku takut dipukul ayah sehingga aku pun iut dengan mamak jalan kaki ke rumah Obol dengan waktu tempuh lebih kurangnya enam menit. Tiba di sana mamak mengetuk pintu, dan dibukakan ibunya Obol. Mamak menyampaikan maksud kedatangan kami. Mamak memintan maaf, ibu Obol juga minta maaf ke mamak, mamak tetap bersikukuh bahwa akulah yang paling salah sebab melempar batu. Lalu mamak meminta ibunya Obol mengambilkan debu hasil kayu api di dapur yang masih hangat dan juga sepotong kain. Dari rumah tadi mamak sudah mengunyah sirih. Lalu disemburlah punggung Obol yang membengkak dan dioleskan mamak dengan kain berisikan debu dapur yang masih hangat.

Aku tidak bicara sepatah kata pun. Kata ibunya Obol, beliau juga sudah memarahi Obol. Tadinya ibunya Obol juga hendak datang ke rumah kami tapi malah keduluan mamakku yang datang. Dan kami pun pulang. Keesokan harinya aku tidak mau lagi gabung dengan Obol. Lalu seminggu kemudian gabung lagi dan bermain bersama lagi. Bermain lempar batu putih ke dalam sungai yang siapa menemukannya dialah jagoannya dan juga masih meminta Obol membuatkanku permainan yang dia ukir dari batang pohon besar yang sudah rapuh terbaring di tepi sungai. Kepingan batang pohon itu tiap hari kami ambil dua jengkal dan kami ukir sebisa kami. Tentu ukiran Obol yang paling sempurna. Entah di mana dan dari siapa ia belajar seni, tiba-tiba ia mahir membuat segala mainan.

Kalau menggembala di gunung, permainan yang tak lupa kami mainkan ialah bambu yang kami ambil sebesar jari telunjuk tangan orang dewasa. Lalu kami potong hingga terbentuk seperti seruling. Kemudian kami buat alat pemukul dan pemompanya, dan kami isi amunisinya dengan kelopak bunga serta bunganya juga. Tak mesti bunga jambu air. Ada juga satu jenis pohon yang favorit kami tumbuh di gunung dan kami jadikan amunisi. Kami menyebut nama permainan ini adalah 'Sasak'.

Setelah satu sisinya tadi diisi amunisi lalu dipukul-pukul hingga mepet dam sejajar dengan sisi lingkaran bambu kemudian ditusuk ke dalam dengan cara berangsur-angsur dan dikocok, lalu yang terakhir didorong sekuat mungkin. Kalau bambu dan amunisinya bagus, maka suaranya juga melengking dan jika dikenai ke badan, terasa sakit juga meskipun pakai baju kemeja dan kaus. Amunisinya bisa juga dari kertas yang telah direndam dengan air hingga lembek lalu dirobek sesuai kebutuhan lobangnya. Kalau khawatir cepat pecah, maka di kedua ujung bambu tadi diberi karet gelang, dililitkan. Bisa dibilang permainan ini adalah Senapan Bambu. Aku pernah juga merendam buku tulisku yang isinya tak karuan itu untuk aku jadikan amunisi. Kalau mamak melijat, beliau pasri marah.

Kalau kami bosan, kami bermain perahu yang juga kami buat dari bambu atau dahan rumbia. Kami hanyutkan di parit kecil depan gubuk.

Adapun senior, mereka biasanya tidur siang hingga sore kalau lembu sedang tak mesti dijaga. Atau mereka akan mengobrol dan membahas kemana-mana. Hingga membahas si fulanah yang ini dan fulanah yang itu.

"Cantik kali dia! Mirip kali macam artis India adiknya Rahul di film Josh." ujar Epet pada yang lain.

"Tiap lewat depan rumahnya, kalau dia lagi menyapu halaman, aku sesekali meliriknya." sambunya lagi.

"Iya emang mirip kali! Apalagi ketika lagu Hare-Hare." sahut Ucuf abangnya An. Mereka berdua ini memang fans beratnya si fulanah. Aku tahu dan kenal betul dengan fulanah yang mereka maksud.

"Tulah da, enggak cuma parasnya mirip, panjang rambut mereka juga sama!" tambah Epet.

Mereka benar, aku sepakat soal itu. Aku pernah beberapa kali nonton film Josh. Memang ada miripnya fulanah itu dengan adiknya Rahul. Fulanah itu seumuran dengan Ucuf dan Epet. Aku nonton film itu di rumah San. Kasetnya sering macet, lalu dilap lagi dengan kain, lancar sebentar kemudian macet lagi. Karena keseringan macet, kemudian tv di matikan kakak perempuannya San dan aku pulang ke rumah. Di rumah kami ada tv antena hitam putih, tidak ada DVD. Tidak pernah aku menonton film apa pun kecuali film Rambo dan Pandem yang aku tonton jam dua belas malam. Gambarnya hitam putih. Tv butut yang hidup segan mati tak mau. Suaranya aku bisukan agar tidak mengganggu ayah tidur. Kalau kami besarkan ayah bakal nyuruh kami tidur dengan alasan besok sekolah. Disuruh mematikan lampu.

Aku sering disuruh ayah menggoyang-goyangkan tiang antena di luar rumah. Ayah dari dalam.

"Geser lagi, belum, belum jelas gambarnya. Coba geser lagi ke kanan pelan-pelan. Nah sudah jelas." barulah aku masuk ke dalam dan nonton bersama, padahal sedang iklan. Kadang gantian dengan ayah. Kalau saja gambarnya jelas dan jernih juga tidak goyang dan bintik-bintik, kami pasti senang meskipun sangat jarang sekali terjadi.

Ayah, mamak dan adik-adikku nonton tv di rumah. Aku dan Piyah selalu nonton di kedai kopi meskipun tidak pernah mesan kopi. Kami selalu menunggu sinetron, 'Preman Kampus', yang setiap malam diputar setelah jam sepuluh malam. Kadang kalau kami kelamaan di luar, ayah menyeruh mamak menjemput kami. Lebih sering tak dijemput. Pintu dikunci dari dalam. Begitu pulang Piyah selalu menyuruhku memanggil mamak untuk dibukakan pintu. Ayahku yang mendengar suaraku menggedor dinding rumah dekat kamar ayah, ayah membangunkan mamak dan membukakan pintu.

"Selalu nonton hingga larut. Lekas tidur besok sekolah." ujar mamak begitu membukakan pintu. Kalau mamak sudah tidur pulas, ayah yang membukakan pintu.

Preman kampus sinetron favoritku dan Piyah. Kami selalu menunggu sinetron ini hingga bersambung barulah pulang. Begitupun dengan sinetron, 'Angling Dharma, Dendam Nyi Pelet' dan 'Misteri Gunung Merapi si Mak Lampir' sebisa mungkin kami menunggu menonton sinetron ini tayang. Biasanya hanya sinetron Preman Kampus yang tayang terakhir, makanya kami selalu pulang ke rumah setengah dua belas.

Hari sudah petang, senja pun telah datang Kami mengumpulkan lembu, absen satu-satu sesuai urutan. Absennya dengan menyebut nama-nama lembu dan menghitungnya. Kemudian kami pun pulang. Kami lewat dari sebalah hilir sungai. Turun dari jalan gunungnya desa Rambah Sayang. Di jalan turunan ini ada pemakanan umum. Di pemakaman umum ini ada kubur janda dan kuburnya itu bolong. Kata orang-orang, isunya kubur itu pernah mengeluarkan tangan dari dalam kubur.

Sekitar kubur semak dan banyak pohon-pohon besar, pohon kemiri dan batang kopi di sekeliling kubur. Kalau sudah sore sekitarnya gelap sebab masih di dalam hutan meskipun sudah di tepi. Kadang lembu lewat situ. Kalau ada lembu yang belum keluar, kami tunggu meskipun lama. Tidak ada dari kami yang berani menjemput ke dalam. Semuanya penakut. Apalgi aku yang masih anak SD, takut kali aku.

"Bisa-bisa kakimu dipegangi tangannya!" kata kawan-kawan. Aku tunggu di kaki gunung lembu Khonjangku yang tak kunjung datang. Ada sepuluh menit barulah ia muncul. Sudah pasti ia makan di sekitaran kubur, rumput-rumputnya lebat dan segar.

Tiba di rumah, setelah makan aku mandi. Dan mengaji. Aku dengar yang menang dan jadi penghulu adalah orang yang sama. Sudah tiga priode beliau jadi penghulu kami.