webnovel

Panti Asuhan Istiqomah

Seperti yang sudah Anda tahu duhai pembaca budiman dari bab sebelumnya, sudah sejak kelas lima SD aku ingin masuk pesantren. Kenapa? Karena aku sudah merasa sangat lelah di kampung. Dari SD kelas 3 aku telah ikut abangku menggembala lembu.

Kelas empat sampai tamat SD aku menggembala sendiri dengan jumlah lebih lima belas ekor lembu. Setiap hari tanpa libur, kecuali aku sakit, dan seingatku aku jarang sekali sakit saat SD dulu. Dan alasan lain ialah aku malas bekerja di sawah atau diajak ayahku ikut naik gunung. Kalau aku di kampung, sudah pasti ikut membantu kedua orang tuaku bekerja di sawah dan di gunung, dan aku lebih memilih bekerja menderes karet di gunung sebab di sana dingin.

"Kalau tidak masuk pesantren, aku tidak mau lagi sekolah." kataku pada mamak, mamak bilang ke ayahku. Ayah adalah orang yang sangat perhatian kepada pendidikan anaknya, asalkan tidak nakal, nurut omongan kedua orang tua, belajar yang rajin, ia akan turuti apa pun yang dimau anaknya selagi itu di bidang pendidikan. Apalagi pesantren, ayahku malah senang kalau aku mau masuk pesantren.

Dengan biaya apa adanya, ayah pun memutuskan mengantarkanku ke pesantren yang sesuai dengan permintaanku: luar daerah dan jauh dari kampung.

Ayah meminta tolong kepada abangku, bukan abang kandung, melainkan ialah bertutur abang sepupu jauh, bukan sepupu dekat. Kenapa bisa ia kupanggil abang? Sebab dia memanggil ayahku: pak. Ayahku lebih tua darinya. Bagaimana bisa kenal dengannya? Sebab dialah tauke karet ayah. Hampir setiap kali panen ayahku menjual getah karet hasil menderas ke dia. Namanya Juh.

"Adik kami juga ada yang di pesantren Medan. Tapi di tempatnya tadi mahal perbulannya." jelasnya ke ayahku.

"Yang murah aja, yang gratisan aja." kata ayahku.

"Ada yang gratis, panti asuhan."

"Ya tidak apa-apa. Dia mau di panti asuhan." sahut ayahku. Aku mendengar obrolan mereka dari dalam kamarku, ayah dan bang Juh mengobrol di teras depan. Dua hari kemudian, ayahku ke tukang tempah kayu, Pak Umar itu.

Ayahku memesan kepada pak Umar peti yang berukuran sedang untuk tempat baju-bajuku. Perasaan senang pun menyerangku, sudah tak sabar ingin pergi jauh, kalau bisa sejauh-jauhnya dari kampungku! Aku bosan di kampung!

Beberapa hari kemudian peti itu jadi. Hari berikutnya ayah memesan tiket mobil BTN seharga 60 ribu pertiket. Adapun bang Juh, dia sudah ke Medan duluan sejak tiga hari kemarin, dia dan anak buahnya membawa karet untuk dia jual kembali di Medan.

Tiba di Tiga Binanga. Sudah setengah perjalanan. Sudah 3 jam lebih kurangnya perjalanan kami menuju Medan. Butuh 3 atau 4 jam lagi baru akan sampai di Medan. Semua penumpang turun dan makan di rumah makan. Aku dan ayahku juga ikut turun dan makan.

Setengah jam kemudian, mobil BTN berangkat, melaju di atas aspal yang banyak lubangnya. Mobil BTN melaju cepat, tikungan-demi tikungan ia hadapi dengan baik, tak takut jurang kiri-kanan yang apabila terpeleset dan jatuh, maka 90 persen mati, 10 persennya adalah pertolongan Allah.

Melewati Kaben Jahe kemudian Brastagi, hujan gerimis, hari hampir subuh. Kiri kanan terang dan banyak sekali tanaman bunga warna-warni nan indah di tepi jalan. Jalan aspalnya mulai bagus, tidak berlubang seperti dari Tanah Karo hingga Kaben Jahe tadi. Film yang sedang diputar di TV mobil BTN adalah film Aceh si Bang Joni yang sedang dikejar-kejar bapaknya Yusniar. Aku masih duduk di tepi jendela bagian kanan, kaca jendela mobil dibasahi rintik hujan.

Pukul 5: 20 kami tiba di stasiun mobil BTN Padang Bulan. Alhamdulillah aku dan ayahku sudah tiba di Medan! Di sini masih pagi, tapi orang-orang sudah ramai sekali. Anak kampung sepertiku yang pertama kali melihat suasana ini merasa sangat senang sekali! Aku dan ayah menunggu bang Juh yang katanya ketemuan di stasiun ini, katanya ke ayahku dalam telepon ia akan datang jam 8 pagi. Kami menunggu dua jam lebih, duduk di kursi. Tadi ayah sudah shalat subuh di mushalla stasiun BTN.

Lelah menunggu, bang Juh pun datang. Aku menyalami bang Juh. Dia mengajak kami ke rumah makan untuk sarapan pagi. Setelah makan, barulah kami ke pesantren yang dituju ayahku, dan bang Juh adalah peta kami. Bang Juh sudah hafal betul seluk-beluk kota Medan. Ternyata benar, aku dibawa ayah dan bang Juh ke panti asuhan. Kami menunggu di depan, bang Juh menemui staf pengasuh.

"Sudah tutup pendaftaran, tidak lagi menerima murid baru." kata bang Juh kepada ayah setelah keluar dari dalam ruangan.

Lalu keliling lagi, bang Juh masih punya tiga sampai empat panti asuhan lagi. Dan aku masih bahagia dan berharap. Asal jangan balik ke kampung, aku siap di manapun aku ditempatkan selagi berasrama. Setibanya di panti asuhan kedua, kata yang sama diucapkan pihak pengasuh. Mereka sudah lama tutup sejak bulan Juni dulu sementara kami datang setelah lebaran di bulan September. Kemudian ke panti asuhan lainnya, panti asuhan terakhir yang kami tuju.

"Nanti satu bulan lagi datang, insyaAllah kami usahakan menerima anak bapak." kata pihak pengasuhan kepada bang Juh. Dan ayah ingin hari ini juga diterima, di mana saja asalkan gratis. Habis sudah panti asuhan yang dituju, jam sudah pukul 2 siang. Kami pun makan siang. Sambilan menikmati makan siang, bang Juh menawarkan pesantren murah, pesantren bukan panti asuhan. Dan ayahku ingin ke sana.

Selepas makan siang kami pun ke sana, dua kali naik angkot hingga tiba di gerbang pesantren. Untuk masuk ke dalam mesti naik becak, sebab masih jauh ke dalam. Sampai di sana, ayahku dan bang Juh masuk ke dalam ruangan, menemui staf pengurus pesantren. Satu jam lebih lamanya aku menunggu di luar. Kemudian kulihat ayah dan bang Juh keluar, dari wajah mereka sepertinya tak ada harapan aku akan masuk pesantren ini.

"Kune, Wok?" tanyaku. Gima ayah?

"Nemu nine kau sendah gat mengket wakhi nde, tapi se biaya daftarne due jute setengah, go tekhmasuk uang mangan dan lemakhimu, uang bulan ne nahan 300 khibu. Malot khasene sanggup aku khut amekmu belanjai se." jelas ayah padaku. Bisa katanya kau masuk hari ini juga, tapi biaya pendaftarannya dua juta setengah, sudah termasuk makan dan lemari. Uang bulanannya nanti 300 ribu perbulan. Tak mampu rasanya ayah dan ibumu membiayainya. Habis sudah harapan, lama ayah berpikir tetap meninggalkanku di pesantren ini atau membawaku balik lagi ke desa Alur Langsat?

"Aku pot ni hande, Wok, asalken aku nde mengket pesantren." kataku pada ayahku. Aku mau di sini ayah asalkan masuk pesantren. Dan ayah memutuskan membawaku balik kampung lagi.

Sebelum pulang, masih di tanah pesantren, kami menemui seorang tuan guru ternama. Beliau terkenal dengan dzikir dan sholawatnya, keilmuannya. Banyak orang yang berkunjung ke tempat ini, setiap hari ada tamu, tidak pernah sepi.

Air sudah tersedia untuk dibeli tamu dalam jeregen. Bila mau minta doa maka beli air dan serahkan kepada beliau dan beliau akan membacakan doa ke dalam air tersebut.

"Apa keinginanmu?" tanya tuan guru kepada bang Juh. Bang Juh pun menyebutkan kemauannya, seingatku dia ingin calon istrinya yang kedua itu dilembutkan Allah hatinya, mau menerima bang Juh. Setelah bang Juh, tibalah giliran kami.

"Apa keinginanmu?" tanya tuan guru kepada ayahku.

"Aku ingin guru mendoakan agar anakku ini jadi anak yang shaleh, anak yang berilmu."

"Siapa nama anakmu?"

"Daud Farma." sahut ayahku.

"Siapa?" tanya beliau lagi

"Daud Farma." kataku dan ayah serentak. Syaikh itu pun membacakan do'a. Tak lebih sepuluh menit, kemudian beliau pun bicara lagi,

"Minum di waktu fajar, baca surat al -Ikhlas tiga kali, al-Falaq sekali dan an-Nas sekali." Lalu kami pun menyalami beliau dengan memberikan uang dengan seikhlas hati.

Keluar dari tempat minta doa, aku bertanya kepada ayahku,

"Dape kin kas pesantren ne, Wok?" Di mana lokasi pesantrennya Ayah?

"Ni belakang hadih, ende pe tong nge lokasi pesantren ne, mebelang da tanoh pesantren ne, de mbelin kin tuhu pesantren ne." jelas ayah. Di belakang sana, ini juga masih lokasi pesantren, luas tanahnya, memang benar pesantrennya besar.

Kami pun membeli peci di depan pinggir jalan yang juga masih dalam pesantren, lebih tepatnya ini adalah tempat rumah suluk Besilam, setiap tahunnya ribuan orang datang kemari. Waktu kelas 6 SD dulu aku selalu bilang pada teman-teman kelasku aku akan lanjut di Besilam, padahal aku belum tahu di mana dan seperti apa? Hari ini aku mengunjunginya dan aku tidak jadi sebagai santrinya.

Dulu setiap kali aku berdiri di depan kelas untuk memberitahu soal cita-citaku, aku selalu jawab: Besilam. Hingga sudah tertanam di ingatan teman-teman SD-ku: Daud Besilam. Bahkan mereka menyelewengkan maknanya ke dalam bahasa daerah kami, suku Alas: Besilam jadi Silem. Daud Silem. Yang artinya Daud hilang. Silem artinya hilang dan muncul kembali. Dan benar, aku hanya hilang sebentar, pergi ke Medan kemarin magrib, hilang dari kampung Alur Langsat, jauh dari Kuta Cane, dan magrib ini aku dan ayahku terpaksa kembali membawa peti ke Kuta Cane lagi, ke Alur Langsat lagi. Gagal masuk pesantren. Aku melihat sekali lagi gerbang Besilam untuk terakhir kalinya dan kami pun beranjak pergi sebelum senja.

Jam setengah delapan malam kami tiba di stasiun BTN Padang Bulan. Setelah makan malam, kami pamitan dengan bang Juh. Ayah pun membeli dua tiket, lalu aku dan ayah masuk ke dalam mobil BTN Bintang Tani Jaya. Tak lama kemudian BTN melaju jauh meninggalkan kota Medan menuju Kuta Cane Aceh Tenggara.

Bukan main sedih dan malunya aku. Apa nanti yang akan kujawab pada teman-temanku? Cuma sehari di Medan? Tidak jadi di Besilam? Gagal Masuk pesantren? Lalu orang-ornag yang aku salami kemarin magrib itu? Malu, aku benar-benar malu. Tapi nasib orang miskin, tak mampu. Ayahku tak banyak uang.

Jam 6 pagi kami tiba di Kuta Cane sebab terlewat karena tertidur. Harusnya tadi turun di Simpang Semadam. Kami naik angkot ke Simpang Semadam, dari Simpang Semadam naik RBT ke kampung Alur Langsat, melewati jembatan Pante Dona.

Tiba di rumah, aku salami ibu, "Edih, kae su gat balik tule kidah?" tanya ibuku ke ayahku. Lah, kenapa balik lagi kulihat?

"We malot sukhung." kata ayahku. Tidak jadi. Aku tidak bicara sepatah kata pun. Aku tidak begitu semangat. Aku lesu dan cemberut. Tak lama di rumah, ibuku meminta ayahku cerita, dan ayahku menceritakan apa adanya. Lalu sorenya ibu menemuiku.

"Kae me ndak tading hadih gat, ulang kin pot balik, padahal mbue edi sen babe awok mu bone." terang ibu kepadaku. Kenapa tidak tinggal di sana? Jangan mau balik, padahal banyak itu duit dibawa ayahmu kemarin. Aku diam, tak dapat berucap apa-apa.

Keesokan harinya aku mancing ikan di sungai. Menenangkan kesedihanku. Menghilangkan rasa bosan di kampung. Keinginanku merantau jauh dan waktu yang lama gagal total. Malamnya aku menulis di dal buku tulis, menuliskan kesendirianku, kesepianku, kebosananku.

Aku tidak banyak bermain dengan teman-temanku setelah aku kecelakaan itu. Dan sepekan berlalu, ayahku mendengar kabar baik dari saudara kami di desa Payung Monje. Katanya pada ayahku, ada namanya Fajrun, dia seorang pengajar, ustadz di panti Asuhan Istiqomah Pematang Siantar Sumatera Utara. Dan dia sedang berlibur, coba tanyakan kepadanya tentang panti asuhan itu. Dan ayahku pun menemui ustadz Fajrun. Kata ustadz Fajrun, "Boleh, silakan langsung daftarkan ke sana. Aku sedang berlibur dan masih lama akan balik ke sana." Ayah bilang ke ibuku, dan kali ini ibuku minta izin ke ayahku untuk membawaku ke sana. Aku dan anak bibikku Suhardi, yang kupanggil Suadi, juga ikut ke sana.

Suadi memang sudah sejak kecil adalah anak yatim. Sementara aku ayah dan ibuku masih ada, sehat walafiat, masih muda. Tetapi aku diantar orang tuaku ke panti asuhan sebab tak mampu. Mendengar kabar itu aku senang bukan main. Dan keesokkan harinya, pada sorenya aku pamitan lagi untuk kedua kalinya. Pamitan ke ayahku, adik-adikku. Dan kusalami semua yang ada di teras depan rumah, sangkingkan senangnya aku menyalami salam cium teman kampungku yang bermain denganku hampir tiap hari itu.

Aku, ibuku, bibik dan Suadi berangkat naik becak bambkhu suami bibik ke Kuta Cane. Sampai di stasiun BTN Kuta Cane, kami langsung beli 4 tiket untuk pergi ke Medan. Aku membawa hp nokia senter ayah yang seharga 500 ribu. Sebelum berangkat ibuku sudah mengabari paman Apun, paman adik kandung ibuku yang laki-laki paling kecil yang menikah dengan orang Medan dan tinggal di Padang Bulan.

"Aku ngantatken bekhemu Daud nde me panti asuhen Istiqomah ni Siantar, kau dakhi kami pagi ni Padang Bulan." jelas ibuku pada pamanku yang tinngalnya tidak jauh dari Stasiun BTN. Aku mengartkan Daud ke panti asuhan Istiqomah di Siantar, kau jembut besok kami di loket Padang Bulan. Rumah paman apun hanya tiga menitan naik motor dari stasiun BTN.

"We, Kengah." jawab paman Apun nurut. Ya kak-Ngah. Kak Ngah-adalah sebutan untuk kakak nomor dua perempuan.

Alhamdillah, akhirnya aku ke Medan untuk kedua kalinya! Ke luar daerah lagi! Mudah-mudahan kali ini berhasil, aku penuh harap ya Allah. Jam setengah lima pagi kami tiba di Padang Bulan. Tadi lima menit sebelum sampai aku sudah mengabari paman. Kata paman dia sudah menunggu kami dari setengah jam yang lalu.

Kami dijemput paman. Ibuku dituntun paman menyeberangi jalan jalur dua itu. Ibu naik motor dengan paman, kami bertiga naik becak. Bukan main senangnya paman! Kakak kandungnya datang. Begitu pun ibuku, telihat betul kakak-beradik itu saling rindu. Terakhir ibuku ke rumah paman adalah 3 tahun lalu saat anak paman sunat.

Sesampainya di rumah paman aku salami puhun, istri paman. Adik-adikku anak paman yang laki-laki. Adapun impal canggihku si Srik, namanya Srikandi, kami panggil Srik, dia lagi di dapur, dia malu denganku, aku pun malu dengannya. Sebab sering kali aku usil dengannya, baik telepon nomor pribadi dan SMS pakai nomor baru yang aku bilang aku salah nomor. Aku berani tapi aku malu. Sangat ceroboh jika kubilang aku suka dengannya, dia cantik, putih, aku? Hitam, sudah pasti tak ganteng. Kami makan malam di rumah paman.

Malamnya aku dan Suadi duduk di teras depan. Tidak jauh dari tempat kami duduk, terdengar indah suara anak muda memetik gitar dan melantunkan lagu yang liriknya, "Tidurlah selamat malam. Lupakan sajalah aku. Mimpilah dalam tidurmue. Bersama bintang"

Jam sepuluh kami pun masuk rumah dan naik ke lantai dua. Ibuku dan bibik-ibunya Suadi tidur di bawah. Srik di ruang tv. Dia sanggup menonton tv hingga larut malam. Tiba-tiba, Srik, impal canggihku itu menggedor pintu kamar.

"Bang, pinjam dulu hp, Abang bentar." katanya. Kubukakan pintu, wah senangnya, baru kali ini aku berani sedekat ini dengan wajahnya. Aku bahagia dia minjam hp ayahku yang sekarang jadi hp-ku untuk sementara waktu. Setelah hp itu kuberikan, aku menutup pintu, aku tidak berani duduk di ruang tv dengannya, aku hanya berani menggombalinya di telepon. Tapi tak ada tanda-tanda ia tak suka, karena ibuku sering menjodohkan kami, meskipun bercanda. Srik hanya tersenyum dan kadang dia malu-malu. Hingga sampai paginya hp-ku dia pinjam. Setelah sarapan baru ia berikan padaku.

Selesai makan pagi, kami pamitan kepada puhun. Anak paman sudah pada pergi ke sekolah. Srik juga sudah pergi ke sekolah. Dia juga kelas satu SMP, sama sepertiku.

"Kenapa Srik tidak masuk ke pesantren juga?" tanya ibuku ke puhun.

"Tidak mau. Tak sanggup pisah." jawab puhun. Srik memang anak puhun satu-satunya perempuan, dua adiknya laki-laki.

Kami berangkat dari rumah paman naik becak dayun menuju stasiun bis. Kami pun naik bis warna biru, bisnya besar sekali. Dan kami menuju Pematang Siantar, Panti Asuhan Istiqomah.

Hampir tiga atau empat jam perjalanan, bis kami singgah, para penumpang membeli keripik pisang. Lalu berangkat lagi. Wah indah betul pemandangan kiri-kanan, kebun karet dan sawit seluas mata memandang. Tak lama kemudian kami pun tiba di simpang empat Pematang Siantar. Paman memesan empat RBT.

Dari simpang empat masuk ke dalam melewati jalanan yang sebagiannya belum diaspal, yang telah diaspal pun sudah rusak dan belum diperbarui. Kiri kanan pohon sawit sepanjang jalan. Tiga puluh menit lebih kurang akhirnya mataku membaca tulisan: Selamat Datang di Panti Asuhan Istiqomah, Desa Marimbun, kecamatan Simalungun.

Ternyata panti asuhannya di tengah kebun sawit. Kami tiba pukul sebelas lewat lima belas menit, hampir zuhur. Kami langsung menuju ke rumah pendiri panti asuhan sekaligus beliau adalah ketua pangasuh yang belakangan hari aku tahu memanggil beliau dengan kata: Opung.

Setelah mengobrol lama, paman, ibuku dan ibunya Suadi menyerahkan kami di panti asuhan ini. Opung senang, aku dan Suadi pun sangat senang. Akhirnya aku resmi diterima di panti asuhan. Adzan zuhur dikumandangkan, aku dan Suadi shalat zuhur berjamaah di mushalla panti asuhan. Teman-teman yang lain senang melihat kami teman barunya. Selepas shalat zuhur, kami makan di rumah Opung.

Opung menanyakan nama kami,

"Namamu siapa?"

"Daud, Opung." jawabku.

"Namamu?"

"Suhardi, Opung."

"Suhardi itu seperti nama orang Jawa." kata Opung sembari tertawa. Beliau menanyakan ini dan itu, beliau senang sekali tahu kami dari Aceh.

Satu jam selesai makan, paman, ibuku dan bibi pamitan kepada Opung dan anak Opung yang laki-laki yang juga pengasuh. Sedangkan ustadz Fajrun masih di Kuta Cane. Satu bulan lagi baru akan datang.

Tidak jauh dari rumah Opung, aku menyalami ibuku. Itulah perpisahan pertama kalinya yang bikin aku nangis, sebab ibuku akan meninggalkanku dan tentunya waktu yang sangat lama baru bisa bertemu. Kami orang miskin, mungkin setahun sekali orang tua kami bisa menjenguk. Dari Kuta Cane ke Siantar. Tentu paling tidak punya ongkos dan bekal tatkala menjenguk.

"Khajin belajakh na, ulang nakal." nasihat ibuku. Belajar yang rajin, jangan nakal. Aku salami ibunya Suadi dan juga paman. Kami menatap mereka pergi naik RBT yang tadi kami tumpangi. Aku sedih dan bahagia. Sedih ditinggal ibu dan bahagia dengan suasana baru. Aku dan Suadi menaruh peti di kamarnya Ustadz Fajriun di dalam rumah Opung, karena Opung maklumi kami masih anak baru, jadi masih boleh keluar masuk rumah Opung untuk ganti pakaian.

Pakaianku dan Suadi di dalam peti yang ditempahkan ayahku tiga minggu lalu. Aku dan Suadi sudah tak ada jarak, ibarat absng beradik. Kami satu handuk, satu sikat gigi, satu sabun mandi, kemana-mana hanya berdua. Satu peti dua orang pemilik, meskipun itu adalah milikku. Miskin pun aku miskin, lebih miskin lagi Suadi. Dia sudah sejak kecil tidak punya ayah, hanya ibunya sebatang kara menghidupi tiga orang anak.

Tak lama setelah orang tua kami pergi. Datanglah dua orang laki-laki.

"Kenalkan ini teman baru kalian yang dari Aceh. Namanya Daudd dan Suhardi." Opung mengenalkan kami pada dua orang santri laki-laki yang juga dari Kuta Cane. Kami pun kenalan dan berbahasa daerah. Nama mereka Ardi dan Ijal.

Masih hari pertama di panti asuhan Istiqomah, sorenya aku dan Suadi ikut "membantu" memupuk tanaman mentimun yang tepat di depan rumah Opung. Kulihat semua santri putra bekerja, tak seorang pun yang rebahan di asrama. Yang santriwati juga sibuk dengan tugas mereka, yang dibagi oleh kakak perempuannya bang Malik.

Bang Malik, anak Opung dan juga selaku pengasuh santri, beliaulah yang selalu mengajak kami bekerja. Bang Malik orang yang gigih, rajin sekali bertani. Mulai dari mentimun, cabai, semangka, kolam ikan, kelapa sawit, kelapa muda, pisang, coklat, dan sebagainya. Semuanya bang Malik yang mengurus dan beliaulah yang paling capek bekerja, beliaulah paling tau caranya.

Awalnya, kukira hanya "membantu" sesekali saja, dan ternyata memang sistem di panti asuhan ini adalah anda mau makan gratis, tinggal gratis, sabun gratis, sekolah gratis, maka jangan malas bekerja. Kami bekerja untuk kami juga, hasil panen itu jugalah untuk makan, lauk, sabun, sekolah, uang listrik dan sebagainya, semuanya untuk panti asuhan Istiqomah. Dan ternyata setiap hari kami bekerja baik putra maupun putri. Namun putra dan putri tetap dipisah, dan jenis pekerjaan putra dan putri juga berbeda-beda, memasak, dan menyapu halaman asrama putri, cabut rumput jugalah jenis pekerjaan santriwati.

Kami yang putra juga bagi-bagi tugas. Ada yang mengeringkan kolam, ada yang menyiram tanaman mentimun yang baru berumur tiga minggu, memanem sawit, mengangon sapi, memanen buah coklat, memanen buah kelapa, memupuk semangka, memanen buah pisang, memasukkan tanah dalam polibet dan sebagainya.

Aku termasuk yang sering di bagian memupuk mentimun. Kami memupuknya dengan pupuk kotoran sapi yang langsung diambil dari kandang, kemudian diaduk di dalam tong besar, kemudian kami siramkan ke tanaman mentimun.

Tak lama memupuk mentimun, kami sudah selesai duluan daripada yang lain. Yang sudah selesai bekerja boleh bermain bola atau mandi, aku pun mandi di sungai. Airnya mengalir dari gunung, baik mandi siang maupun sore tetap dingin, apalagi mandi pagi, bahkan ada teman yang tak kuat mandi pagi, lebih tepatnya dia malas mandi pagi. Hari hampir magrib, mentari hampir terbenam, melantunlah suara santri yang merdu membacakan syi'ir semacam shalawat. Namun tak satupun arti dari bait itu yang kutahu, sebab memakai bahasa yang aku sendiri tak tahu itu bahasa apa, dan aku belum pernah menanyakannya.

Magrib pertama di panti asuhan, aku berdiri di pinggir pintu, melihat ke sekeliling pesantren, melamun, mengingat kampung halaman. Aku rindu? Tidak! Hanya mengingat saja. Selepas magrib, makan malam, lauknya adalah ikan mas. Sebab tadi sore panen ikan.

Santriwati yang giliran piket masak, merekalah yang membagi nasi kami, tidak boleh nambah kecuali semuanya telah makan dan apabila masih ada sisa, dan aku termasuk orang yang tak pernah nambah walaupun kadang aku masih merasa lapar. Kenapa tidak tambuh? Pertama aku masih baru di sini, kedua yang membagi perempuan, ketiga aku malu pada perempuan meskipun aku tidak kenal dengannya dan ia tak mengenalku dan keempat pembaginya belum pergi. Kami makan di dapur di atas kursi, boleh juga duduk di teras Opung dan sebagian santri ada yang makan di dalam rumah Opung sambil nonton tv, tetapi adab dan akhlaknya harus dijaga. Tidak ada yang makan di asrama, sebab nasi di piring cepat habis, karena lauknya enak dan piring mesti dibalikkan ke dapur.

Setelah makan, cuci piring sendiri kemudian menunggu waktu isya. Ada yang rebahan di asrama, ada juga yang duduk di mushalla. Aku dan Suadi, kami duduk di rumah Opung dan nonton tv.

Azan isya pun dikumandangkan, semua santri ke mushalla, tak ada yang berani di asrama. Sebab akan ada bang Malik atau abang iparnya bang Malik yang mengontrol ke asrama.

Selepas isya semua santri balik ke kamar. Bila ada pelajaran malam maka kami semuanya ke kelas, namun bila tidak ada, kami pun belajar di kamar bagi yang mau belajar, tapi jika sudah jam 10 malam, lampu asrama mesti dimatikan. Tidak boleh dihidupkan lagi, tidak boleh ada yang bergadang walaupun ia memakai lilin, semuanya mesti tidur agar esok pagi tidak telat shalat subuh.

"Bangun! Bangun! Waktunya sholat subuh. Kukukuruyukk!" Suara alarm yang telah disetel sedemikian rupa dari jauh hari bahkan sebelum aku datang ke panti asuhan ini. Aku terkejut dan langsung duduk. Kulihat jam tanganku, pukul 04:30. Dan alarm itu bunyi lagi. Aku setengah melompat dari ranjang sangkinkan kagetnya mendengar nada alarm yang sangat keras itu! Aku tidur satu ranjang dengan Ardi, sedangkan Suadi satu ranjang dengan Ijal. Kulihat sekeliling dinding, tidak ada satu jam pun yang nempel, kuperhatikan lagi sekitar dan kutunggu ia berbunyi lagi. Ternyata suaranya dari corong toa kecil yang dipasang di dalam asrama.

Jumlah santri putra tidak lebih tiga puluh orang, jadi ya cukup satu asrama saja. Sedangkan santri putri tak lebih 15 orang. Ada yang langsung bangun dan memakai sarung, kudengar teman yang lain memanggil namanya Sonok kemarin siang. Kusangka setelah dia ganti pakain langsung ke mushalla, rupanya dia tidur lagi. Lima menit kemudian suara alarm berbunyi lagi. Ardi malah belum bergerak sama sekali.

Baru dua orang yang pergi duluan ke mushalla. Hingga datanglah seorang ustadz berbadan tambun, ini pertama kali aku melihatnya.

"huumm ummkh humm ummkh" bunyinya. Semuanya melompat dari ranjang. Si Sonok lari, aku pun lari. Yang di asrama tak tahu arah mau lari ke mana sebab beliau sudah berdiri di dalam asrama dekat pintu. Kulihat dari luar sebagian belum sempat memakai sarung tapi keluar dengan celana panjang dan membawa sarung di tangannya.

Usai subuh, kami membaca al-Quran. Ada yang melanjutkan hafalan dan ada juga yang tiduran. Sebelum pukul 6 pagi belum boleh balik ke asrama. Pukul 6 pun tiba, semuanya balik ke asrama. Yang piket menyapu halaman, segeralah menyapu agar terkejar mandi, makan dan berangkat sekolah. Jarak rumah sekolah dari kamar kami tak lebih 17 meter. Setiap pagi mesti ada yang piket menyapu halaman, dua orang. Sebab setiap hari pula daun manggis depan asrama kami berjatuhan. Satu bulan di panti asuhan barulah aku berani memanjat dan mengambil buahnya. Memamg boleh diambil.

Jarak tempat mandi dari asrama ke sungai lima menit lebih kurangnya. Teman-teman sudah lama di sini ada yang merokok, termasuk Ardi jugalah perokok sembunyi-sembunyi. Yang paling besar dan yang ditakuti adalah Aniel. Dia jago sekali main bola, badannya tegap, semua orang takut dengannya. Tapi bukan dia ketua asrama. Malah yang ketua asrama adalah Ardi yang ditunjuk sendiri oleh ustadz Fajrun. Semua santri takut sekali dengan ustadz Fajrun.

Kata mereka ustadz Fajrun memang kejam, dan bahkan aku belum pernah melihat sosoknya. Aniel jugalah perokok, dan mereka sama-sama tidak saling melapor, dan yang tahu pun tidak berani melapor. Jika Opung tahu, bisa-bisa dikeluarkan dari panti asuhan. Aku dan Suadi gantian memakai basahan, sabun, odol, sikat gigi, dan handuk. Kalau dia yang duluan maka semuanya dia yang makai duluan, pun sebaliknya. Tapi lama-lama, kami kadang pisah mandi, sebab tak selalu jadwal kami sama. Kadang dia yang duluan selesai kerja di sore hari, kadang aku yang duluan, pun waktu pagi, kadang ia piket menyapu halaman jadi aku mandi duluan.

Selesai sarapan, bel masuk kelas pun bunyi. Ketua asrama akan mengunci asrama. Tidak ada yang boleh di asrama selagi jam sekolah, kecuali waktu istirahat dan orang sakit. Yang sakit mesti izin. Hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah setelah kecelakan beberapa bulan lalu di jalan Pante Dona yang belum diaspal hingga nengakibatkan gigi depanku patah tiga buah. Rumah sekolah kami dekat dari asrama tapi jauh dari kampung, kami di tengah sawit, pedalaman. Setiap pagi sebelum masuk kelas, kami senam selama 10 menit mengikuti gerakan yang diputar di tv yang cukup besar.

Aku memilih barisan belakang, sebab aku tidak tahu gerakannya. Guru-guru sekolah kami semuanya datang dari luar, mereka naik motor dan ternyata ustadz Fajrun adalah kepala sekolah kami. Di panti asuhan Istiqomah hanya ada SMP. Dari kelas satu hingga kelas tiga. Yang paling banyak adalah murid kelas satu, yaitu kelasku dan Suadi. Ardi kelas dua, Ijal kelas satu. Sonok kelas satu, Aniel kelas 3.

Kami gabung putra dan putri. Dan pelajaran yang paling mengesankan ialah bahasa inggris, aku paling suka pelajaran bahasa inggris. Sebelumnya di SMPN Salim Pinim aku sudah pernah belajar dan kini di SMPS Istiqomah aku belajar lagi bahasa inggris dan gurunya jugalah laki-laki. Beliau orangnya tinggi, tidak tegap dan tidak juga kurus. Ganteng, rambutnya belah dua, dan beliau naik motor gede datang kemari. Semua di kelas ini suka pelajaran bahasa inggris kecuali Suadi dan Ijal mereka tidak begitu suka. Sonok, si bibir doer, gigi sedikit kedepan, kurus, hitam, dia suka sekali pelajaran bahasa Inggris, Biologi dan Matematika.

Sonok memang anak yang rajin bekerja dan pintar pula! Kami juga punya ruang lab komputer dan pengajarnya adalah ustadz Fajrun. Dan kami juga ada jam pramuka, kami latihan gerak jalan. Jam istirahat kami tidak ada yang main bola, sebab main bola hanya sore hari, itupun jika sudah selesai bekerja.

Jam istirahat Aniel meminta kunci asrama ke ketua asrama. Aku termasuk orang yang takut sama Aniel, tapi belum pernah dia menggangguku, dia hanya mengganggu Ardi yang sudah dua tahun di sini. Sepertinya dia ada rasa benci sama Ardi. Sedangkan Ardi adalah sahabat kami, dialah yang selalu menemani kami ke luar membeli sesuatu di kampung terdekat.

Jam istirahat kami mendekat ke kedai yang kami panggil Opung juga, beliau adalah seorang nenek. Beliau jualan snacks. Dan bila tak punya uang, kami mendekat ke Opung, nenek satunya lagi.

Beliau adalah petani, di belakang rumahnya tanaman kacang goreng dan ubi jalar. Sering dia menggoseng kacang gorengnya, dan kami mengambil sisa-sisanya. Kadang beliau membakar ubi jalar, dan beliau berikan kepada kami yang tak punya jajan. Belum pernah kulihat ada orang tua santri maupun santriwati yang menjenguk, entah mereka punya orang tua atau tidak aku tak tahu, yang jelas semuanya orang jauh, kebanyakan dari Nias, Sibolga, dan ada beberapa dari Siantar. Kami berempat dari Aceh.

Selepas pulang sekolah, kami berjamaah di mushalla. Kemudian makan siang. Dua puluh menit setelah makan siang, kami dibagi tugas bekerja. Lagi-lagi aku dapat tugas menyiram mentimun di depan rumah Opung. Aku, Suadi, bang Malik, dan empat orang lainnya menyiram mentimun, sedangkan yang lainnya lagi berpencar, dan mereka semuanya serius bekerja. Karena selesai bekerja mesti lapor ke bang Malik dan nanti atau besoknya akan di-check oleh bang Malik yang kami kerjakan.

Aku salut dengan bang Malik, dialah tulang punggung santri. Kalau tak ada bang Malik, mungkin kami tidak bisa makan. Bang Malik benar-benar ulet bekerja. Sedang belum punya istri pun ia sudah begitu tanggung jawabnya kepada kami yang tak lebih 50 orang putra-putri, apalagi ia punya istri, kurasa bang Malik sangat tanggung jawab lagi. Lama-lama aku sayang pada mentimun, walaupun aku tak ikut dulu waktu menanamnya, setidaknya aku ikut menyiramnya dan semoga nanti ikut memetik buahnya. Aku jadi teringat niatku sebelum pergi dari kampung.

Aku ingin masuk pesantren karena menghindar dari pekerjaan membantu kedua orang tuaku bekerja di sawah dan menderes karet di gunung. Tetapi di sini aku malah bekerja setiap hari, kadang siang dan sore. Padahal di kampung saja pun aku belum pernah serajin ini bekerja, tapi di sini harus bekerja, santri bertani. Tapi aku bahagia, aku semangat berada jauh dari kampung halaman, aku bangga pada diriku sendiri merantau jauh, belum pernah aku mengeluh meskipun aku lelah.

Belum pernah juga aku menangis dan minta pulang. Tapi temanku Suadi, yang satu kampung denganku, yang jarak rumahnya 20 meter saja dari rumahku, dia begitu murung akhir-akhir ini. Menjauh ia dari asrama.

Kuikuti dia melangkah kebelakang gedung sekolah. Di sana ada parit kecil yang dialiri air. Dia jongkok di bawah pohon sawit, melamun. Dia menatap ke sawah yang baru ditanami padi milik orang kampung. Aku dekati ia.

"Balik ateku nde, malot agupku ni hande. Payah kukap mebahan." katanya. Aku mau pulang. Aku tidak sanggup di sini. Capek kurasa bekerja. Kulihat air matanya mengalir membasahi kedua pipinya. Aku hanya diam, tak dapat berkata apa-apa.

Sudah lebih tiga minggu kami di panti asuhan. Subuh ini kami dibanguni orang yang belum aku kenal. Kulihat ia berkulit putih, ganteng, memakai sarung, peci dan baju koko warna putih dan semua santri takut dengannya.

"Ardi, bangun, ustadz Fajrun sudah datang!" kata Sonok membangunkan Ardi. Ardi segera beranjak. Aku baru tahu dan kenal, ternyata dialah Ustadz Fajrun yang ditakuti dan ditunggu selama ini. Shalat subuh kali ini diimami ustadz Fajrun. Setelah shubuh beliau pun memanggil kami, dan kami berkenalan dengan beliau serta menjelaskan aturan yang ada.

"Jangan bahasa daerah di sini, termasuk dengan saya sendiri." kata beliau. Aku pun segan pada beliau.