webnovel

Panti Asuhan Istiqomah 2

Ustadz Fajrun kepala sekolah dan juga pengajar pelajaran komputer. Beliaulah orang yang pertama kali mengenalkanku yang mana monitor, keyboard, cpu dan mouse dan juga mengajarkan microsoft word. Sudah sejak di SMPN Salim Pinim kupelajari teorinya namun baru sekarang prakteknya. Di luar jam sekolah, kami yang dari Kuta Cane boleh memanggil beliau, "Bang".

Bang Fajrun belum menikah, beliau dijodohkan Opung dengan anak perempuannya yang cantik. Kakak itu baik sekali kepadaku dan Suadi. Bahkan beliau pernah mencuci baju kami waktu masih santri baru. Tapi kini kami mencuci baju sendiri di hari minggu pagi. Sabun cuci dibagikan Opung satu orang setengah sabun telepon atau juga disebut sabun batangan.

Adapun sikat, kami beli sendiri di luar. Hari minggu adalah hari libur kami, tapi tidak libur bekerja. Aku dan 3 teman lainnya ikut bang Malik ke kebun kacang goreng yang belum berbuah.

Dua puluh menit berjalan kaki dari asrama. Bang Malik naik motor kap 70-nya, beliau membawa tanki semprot untuk membasmi hama. Setibanya di sana kami membersihkan rumput-rumput yang tumbuh mengelilingi tanaman.

Kami bekerja hingga siang hari. Selesai bekerja kami pun pulang. Sonok adalah orang yang sering satu group denganku saat bekerja. Dia baik, pintar, lucu dan rajin bekerja. Dialah penuntun jalan pulang-pergi.

Hari jumat, kami shalat jumat di luar, di masjid kampung terdekat. Selepas jumat aku diajak temanku anak Sibolga mengangon sapi. Kami pergi jauh menelusuri seluas sawit. Sapinya ada empat. Padahal aku sudah lama menanam niatku untuk tidak akan mengangon lembu lagi seumur hidupku, sebab sudah cukup bosan di waktu SD dulu menggembala lembu yang jumlahnya lebih limas belas lembu.

Baru setengah tahun yang lalu terakhir aku menggembala, di sini aku mengangon sapinya panti asuhan, tentu sapi kami juga. Nama temanku, Wawan. Kami biasa memanggilnya, Wan. Orangnya putih, bibirnya tebal, kalau bicara bibirnya dibasahi ludahnya sendiri, suaranya pecah dan ngebas, orangnya tidak tinggi tapi badannya berisi. Dia mengajariku bahasa Sibolga tapi kosa-kata yang buruk makna juga dia ajarkan kepadaku. Dialah yang lebih sering dapat giliran mengangon, selain dia ialah Sonok. Opung lebih percaya padanya, padahal dua-duanya perokok.

Aku mulai akrab dengan Wawan. Dialah yang mengajakku berkeliling jauh mengangon, bahkan jika ia suruh aku pulang sendirian aku tak tahu jalan pulang. Kami menggembala kemana sapi pergi, kami mangawasinya agar tidak dicuri orang dan makan tanaman orang kampung.

Kami menikmati sore di bawah pohon sawit, sapi menepi di pinggir jalan yang beberapa minggu lalu kami lewati bersama ibu-ibu kami dan pamanku. Aku menatap jalan itu sejauh mataku memandang, pikiran pun datang: akankah aku ini pulang? Atau di sini selamanya?

Sabtu sore kami mengeringkan kolam dekat dapur atau di belakang mushalla. Pokoknya dua minggu sekali kami mengeringkan kolam. Aku juga dapat bagian mengeringkan kolam. Kata bang Malik, kolam yang ini sudah lama tidak dipanen.

Begitu ikan-ikan mas besar sudah mulai kelihatan dan gelisah, kami pun turun menangkap ikan-ikan itu. Semua ikan baik kecil maupun besar. Yang masih kecil akan dipindahkan ke kolam sebelah. Adapun yang besar untuk dijual dan sebagian dimasak untuk lauk, sudah pasti malam ini lauk kami bukan ikan asin sambal dan daun ubi, tapi adalah ikan mas!

Sangkinkan bahagianya, aku menaiki ikan mas yang cukup besar! Aku dibawanya keliling kolam yang airnya setinggi lututku. Santri putri pun tertawa melihatku berenang dengan ikan, aku pun malu dan ikut tertawa. Dan ikan besar ini pun ditangkap bang Malik dan ikut dijual ke pasar untuk beli beras dan keperluan panti asuhan lainnya. Sebelum magrib aku sudah berada di mushalla, teman-teman yang lain sebagian masih mandi. Wawan sedang membaca syi'ir seperti biasanya yang belum satu kata pun kutahu maknanya. Meskioun suaramya ngebas sebab bibirnya tebal, namun tetap enak di dengar di telinga. Seakan hanya dialah punya ciri khas saat membacakannya. Pernah aku dengan Sonok tapi tak sebagus di telinga ketika Wawan yang baca. Aku berdiri di tepi pintu. Mushalla kami punya tangga kayu. Mushalla kami cuma pondasinya saja yang semen. Aku melihat ke arah mata hari terbenam. Di sana lah arah Kuta Cane? Seberapa jauhkah dari sini? Aku masih teringat denga lagu yang aku dengar sewatu perjalanan dari Kuta Cane ke panti asuhan ini, tapi hanya reffnya yang aku ingat dan terngiang-ngiang di telingaku, "Ingatkan engkau kepada, angin yang berhembus mesra, yang menemanimu sebelum cahaya. Ingatkan engkau kepada angin yang berhembus mesra yang kan membelaimu cinta."

Satu bulan sudah aku di panti asuhan Istiqomah, badan makin kurus, kulit makin gelap kelabu, ilmu baru sedikit, kerja sudah lumayan banyak tapi tak sebanyak bang Malik. Lagi-lagi aku bangga pada bang Malik, juga kagum pada santri, bangga pada panti asuhan.

Panti asuhan tidak mengemis pada pemerintah, kebun Opung banyak, tanahnya luas, sangat cukup menghidupi kami bahkan seratus orang pun cukup. Hanya saja tidak banyak yang tahu tempat ini dan yang tahu pun tidak betah dan pulang. Dan aku senang pada mereka yang betah bertahan bahkan sudah ada yang kelas tiga SMP. Sepertinya bekerja untuk hidup mandiri telah jadi kebiasaan mereka.

Ardi adalah orang Kuta Cane sebagai santri yang paling lama betah di sini. Kata Ardi, tiga hari sebelum kami datang, ada satu orang anak Kuta Cane yang juga kelas satu SMP, dia belum lama di sini tapi sudah dijemput ayahnya, sudah pasti karena tidak betah.

Suatu malam Aniel marah-marah kepada Ardi, aku tidak berani ikut campur, semua orang tak berani. Kulihat Ardi menangis gara-gara ditendang Aniel.

"Lapor sana! Lapor!" katanya pada Ardi. Gara-gara Ardi ribut denganku bercerita di dalam asrama, sedangkan Aniel ingin segera tidur. Tapi Aniel tidak marah padaku.

Sejahat itupun dia ke Ardi, dia kuanggap baik sebab belum pernah ia jahat padaku, dan sudah sebulan aku di sini, belum pernah satu patah katapun ia ucapkan kepadaku. Tidak menanyakan aku dari mana? Namaku siapa? Sudah makan atau belum? Tolong ambilkan ini dan itu, tidak pernah. Dia malah bertanya pada Wawan dan Sonok tentangku. Aku lebih tinggi dari Aniel. Tapi Aniel lebih berisi badannya dibanding aku, jika berkelahi sudah pasti aku kalah. Apalagi Ardi? Dia sama tingginya dengan Suadi tapi lebih tegap Suadi.

Ardi dan Suadi lebih pendek dariku, hanya saja aku paling kurus. Aniel, dia tegap berisi, rambutnya paling sok di asrama, paling tua dan paling ganteng. Tak heran santriwati paling cantik angkatanku suka padanya dan bahkan mereka saling kirim surat, dan Sonok adalah pak Pos. Aku pun pernah mendengar dari Ijal atau yang sering juga kami panggil Unyil bahwa mereka memang pacaran.

Kami panggil unyil karena memang kami sering mengikuti acara tv Laptop si Unyil di rumah Opung saat makan siang dan Ijal adalah santri paling kecil di panti asuhan Istiqomah. Kata Unyil alias Ijal, ada santriwati yang kirim salam kepadaku, dan dia menyebutkan nama orang yang kirim salam itu. Tentu aku segera tahu dan kenal siapa orangnya sebab ia satu kelas dengan kami. Kubilang pada Unyil: waalaikumsalam, dan sepertinya ia telah menyampaikannya kembali karena ketika aku ke dapur saat sarapan, makan siang dan malam sering kulihat dia dan temannya duduk di pintu. Sesekali temannya itu setengah batuk ketika aku lewat. Lagi-lagi hanya sebatas kirim salam, belum sampai kirim surat, dan peristiwa kirim salam itupun terjadi setelah empat minggu lamanya aku di Istiqomah.

Dia jugalah orang Nias, cantik dan manis, shalihah tentunya. Mungkin karena dia tahu aku ini dari jauh, dari Aceh, dan mungkin aku termasuk relatif ganteng menurut mata hatinya. Saban hari dilihatnya di dalam kelas sebagai orang pendiam, tidak banyak tingkah dan sedikit manis kalau tersenyum, (ahai), akhirnya dia yang suka duluan kepadaku, menyampaikan perasaannya dengan berkirim salam lewat Unyil. Aku? Belum bisa menyukai orang lain. Aku masih belum tahu siapa yang harus aku sukai?

Aku? Selain membalas salamnya, aku tidak ada hal apa pun dengannya. Jangankan mengiriminya surat, meliriknya lebih lima detik pun aku tidak berani, selain aku pemalu pada perempuan, aku takut pada ustadz Fajrun.

Bahaya kalau beliau sampai tahu yang satu daerah dengannya pacaran. Dan aku tidak pernah menganggap peristiwa kirim salam ini pacaran, belum pernah juga ia kuanggap pacarku, dia pun demikian. Ah jangankan pacaran, mengobrol dengannya saja aku belum pernah, padahal sudah 30 hari aku di panti asuhan ini.

"Aku lelah. Aku tidak betah. Aku ingin pulang." kata Suadi. Dia selalu mengeluh, dan aku mendengarkan keluhannya. Ingin sekali ia menelepon ke kampung, mengabari ibunya bahwa ia sudah tidak betah. Sudah berkali-kali ia mengajakku pulang.

"Ayolah kita telepon ibu kita di kampung." katanya lagi.

"Di dinding peti bagian dalamnya telah kutulis nomor telepon ayahku. Kalau mau silakan telepon saja. Aku betah di sini." jelasku padanya. Ibunya Suadi tak punya hp, di Alur Langsat masih jarang orang pakai hp, tidak lebih sepuluh orang. Salah seorang yang punya hp ialah ayahku.

Ayah beli hp sebab tidak mau terusan meminjam hp orang lain saat menelepon abangku Piyah, abangku yang nomor tiga yang mengaji di Pesantren Mudi Mesra Samalanga. Suadi pun bergegas pergi, menulis nomor telepon di dinding peti yang sekarang masih di kamar ustadz Fajrun.

"Sebaiknya kau izin dulu ke Ustadz Fajrun sbelum menelepon ke kampung." saranku.

"Kalau kalian izin, sudah tentu bang Fajrun tidak mengizinkan. Bagusnya langsung telepon saja." saran Ardi.

Sore harinya Suardi mengajak Ardi ke luar, pergi ke kampung terdekat mencari wartel (warung telepon), dan aku pun ikut dengan mereka. Lebih dua puluh menit berjalan, kami tiba di warung telepon. Panggilan pertama pun masuk, diangkat oleh ayahku.

"Hallo Assalamualaikum, ise nde?" kata ayahku. Aku senang, aku telah lama tidak mendengar suara ayahku. Assalamualaikum, ini siapa?

"Ende aku Suadi khut Daud, Mame." jawab Suadi. Ini aku Suadi dan Daud paman.

"Edih, kune kabakh kendin? Me sehat nge kendin hano?" tanya ayahku lagi. Lah gimana kabar kalian? Sehatnya kalian di situ?

"Alhamdulillah sehat, Mame. Nemu aku mecekhok khut amekku sekijap, Me?" terang Suadi. Alhamdulillah sehat paman, bisa aku mengobrol dengan ibuku sebentar paman? Suara Suadi mulai serak, air matanya sudah hampir jatuh ke pipinya. Kudengar ayahku menyuruh adikku memanggil ibunya Suadi. Sudah lebih enam minggu di panti asuhan, baru ini pertama kalinya kami menelepon. Dua menit kemudian ibunya Suadi pun datang.

"Kune kabahkmu nakku?" tanya ibunya. Gimana kabarmu anakku?

"Sehat ma'e..." sahut Suadi. Sehat mak. Kali ini benar-benar tak dapat ia tahankan. Suadi mencurahkan semuanya, keluh kesahnya, ketidak betahannya. Suadi terisak-isak, air matanya membanjiri pipinya. Tapi ibuku dan ibu Suadi malah tertawa, apalagi ibuku. Sebab memang aku sendiri yang minta masuk pesantren, dan sekarang malah minta balik, tentu ibuku tertawa mendengarnya. Tapi ibuku keliru, dia sangka aku juga tidak betah. Setelah Suadi mencurahkan semuanya, tibalah giliranku bicara dengan ibuku.

"De kau kune, Daud? Me betah nge khasene hano?" tanya ibuku. Kalau kau gimana David? Betah rasanya di situ?

"Alhamdulillah betah. Aku malot kungin balik, Suadi plin." jawabku yakin. Aku betah, aku tidak mau pulang, Suadi saja. Karena memang aku ada rasa betah, meskipun kebanyakan rasa tak betahnya, tapi kupaksakan demi menahan malunya kalau sampai balik lagi ke kampung.

"De malot betah kase kusukhuh dahi mame apunmu pagi beno, gat balik kendin duene." jelas ibuku lagi. Kalau tidak betah, supaya esok kusuruh pamanmu yang jemput kalian ke situ. Supaya pulang kalian duanya.

"Maso, Mek, aku betah hande. Suadi plin dahi." kataku lagi. Tidak usah mak, aku betah di sini, jemput Suadi saja.

Sesak dadaku menahan tangisku, meskipun air mataku tidak mengalir, tapi batinku gemuruh, dan aku ragu mengambil keputusanku sendiri. Menetap atau pulang? Setelah menelepon, kami balik ke asrama.

Kami sempatkan membeli jajanan, dan kami makan sambil jalan. Karena memang belum pernah ada yang membawa jajanan ke dalam asrama, selain takut hilang, untuk menghindari kesedihan teman-teman yang lain, yang sudah lama sekali belum punya uang jajan, menunggu diundang ke acara-acara dan dapat sumbangan. Panti asuhan tidak memberi kami jajan, sudah cukup bersyukur sekali tinggal di asrama gratis, makan gratis, sekolah gratis, dapat sabun gratis.

Adapun jajan, isyaAllah sebulan sekali dapat undangan, meskipun tidak dapat duit, dapat makan juga sudah senang. Dan aku sudah pernah ikut undangan di acara ulang tahun anak dari seorang keluarga berada. Kami jalan kaki dari asrama ke rumah acara. Setengah jam lamanya jalan kaki kami pun tiba.

Sampai di sana ikut pesta kecil keluarga dan dapat makan, tak dapat duit. Tak semua santri ikut undangan, kadang siapa yang mau dan kadang siapa yang disuruh dan dipilih Opung. Aku dan Suadi pernah ikut sekali saja.

Minggu ketujuh pun tiba. Selepas makan pagi, kami dikumpulkan ustadz Fajrun di depan gedung sekolah. Beliau membagi tugas kerja. Ada yang gotong royong membersihkan asrama dan halaman sekolah, Suadi dan Unyil bagian gotong royong.

Ada yang menggembala, ada yang ikut bang Malik ke kebun, ada yang membabat rumput di pinggiran kolam di bawah pohon kelapa muda, Aku dan lima belas teman lainnya mengambil papan di gunung untuk ditarik ke panti asuhan. Jaraknya satu jam pulang-pergi.

Kami yang terpilih mengangkat papan memang karena badan kami lebih besar dibanding yang lain, meskipun pekerjaan semacam kami ini adalah pekerjaan bapak-bapak mestinya, yang punya otot kuat, dan badan kekar. Kami memang kurus-kurus dan semua berat badannya tak lebih lima puluh kilogram kecuali Aniel, tetapi kuat juga mengangkat papan. Dan kami dipimpin Ardi. Satu orang menarik satu papan yang telah dibelah oleh mesin gergaji. Dan masing-masing orang sempat tiga kali mengangkat papan pergi-pulang.

Banyak pun pekerjaan di panti asuhan ini, tapi tak seberat hari ini. Aku benar-benar lelah, padahal di kampung pun aku pernah kerja berat-berat, mengangkat getah karet dari gunung kami sampai rumah. Mengangkut padi sewaktu SD dari sawah ke rumah. Tetapi sifat anak SMP memang begitu, malas bekerja. Di sinilah aku mulai merasa tak betah, pikiran pulang pun menghampiri. Tetapi tidak lama, setelah lelahku hilang, paginya di hari senin aku semangat masuk kelas, ikut senam pagi.

Semua siswa wajib ikut senam pagi. Jam 7:30 asrama mesti sudah dikunci. Setelah pulang sekolah, zuhur berjamaah, kami boleh tidur siang, sebab kemarin kami sudah bekerja yang kuanggap agak berat itu. Aku pun tidak lagi ada pikiran dan niat pulang. Lagi-lagi aku tidak siap menanggung malunya. Dan hari ini pamanku tidak datang menjemput, padahal Suadi sangat berharap, dia sudah tidak betah sekali di panti asuhan ini. Padahal dia tidak ikut mengangkut papan dari gunung, apalagi jikalau ia ikut, sudah pasti ia menelepon lagi ke kampung hari ini.

Namun Suadi belum putus harapan, ia terus berdoa agar pamanku datang menjemputnya dan membawanya ke loket BTN kemudian pulang ke Kuta Cane.

Sorenya aku diajak bang Malik main bola, padahal aku tidak begitu pandai main bola, karena tak pandai itulah aku tak mau main bola. Karena dipaksa bang Malik, aku pun coba ikut. Ustadz Fajrun juga mengajak Suadi. Suadi memang hobinya main bola. Sebenarnya tanpa diajak pun sudah pasti ikut. Yang paling sering mencetak gol adalah Aniel, memang dialah jagoannya. Dia lihai sekali membawa bola ke arah gawang sendirian dan mencetak gol. Yang kedua adalah bang Malik, sebelas dua belas dengan Aniel. Maka mereka tidak boleh satu tim, harus pisah barulah seimbang.

Bang Malik akrab dengan semua santri, tapi tetap disegani dan dihargai. Ustadz Fajrun disegani semua santri, sudah pasti ditakuti dan dihormati. Namun saat main bola, ustadz Fajrun berlaku seperti teman bermain, bukan seperti guru dan murid.

Aku tidak berani banyak mengejar bola dan merebut bola dari lawan, aku takut bibirku bentrok dengan kepala lawan, atau kena siku lawan. Sedikit saja bibirku ini kena siku, maka akan bengkak meskipun tidak berdarah, sebab lukanya baru sembuh gara-gara balapan dulu dan jatuh di Pante Dona itu.

Aku lebih hati-hati mengambil bola, dan selama satu jam lebih bermain bola, bisa dibilang aku hanya tiga kali menyentuh bola. Aku bagian back. Sorenya kami mandi di sungai, ada yang pakai sabun, ada yang minjam sabun, ada yang tidak bawa sabun, ada yang hanya bawa badan dan handuk. Sungainya lumayan deras, dingin, di bawah pohon sawit di pinggir gunung.

Tempatnya menurun ke bawah dari asrama. Ada yang datang langsung mandi, ada yang antre basahan, ada juga yang datang lalu balik lagi, dia hanya wuduk, dia tidak mau mandi, dialah Sonok.

Wawan, selain dia pengangon, dialah yang sering membacakan syi'ir sebelum adzan dikumandangkan, setiap shalat lima waktu. Dia pulalah yang sering duluan ke masjid, dia yang adzan dan sering juga dia imam ketika ustadz Fajrun dan bang Malik tidak datang.

Indah betul nada dan intonasinya membacakan syi'ir yang aku sama sekali tak tahu artinya, bukan bahasa arab apalagi bahasa inggris, bukan juga bahasa indonesia. Santri yang lama sudah banyak hafalan al-Qurannya. Aku sendiri pernah menyimak hafalan Wawan, lancar.

Makan malam ini lauknya ikan asin sambal dan daun ubi, nikmat dan lezat sekali. Kenapa selalu lezat dan kami lahap makan? Sebab kami tak punya cemilan lain, tentu lapar dan menanti jadwal makan. Tapi salah jika dianggap santri kelaparan, kami makan tiga kali sehari, kok! Lagipula di panti asuhan banyak sekali buah-buahan untuk dimakan.

Buah manggis dan rambutan di depan asrama, buah salak, buah langsat, pisang, kelapa muda dan sebagainya. Ada yang boleh diambil dan ada juga yang dilarang Opung. Ardi pernah memanjat kelapa di pinggir kolam. Aku disuruhnya memantau jika ada santri atau santriwati yang melihat. Dia memanjat dan aku jaga-jaga. Ardi berhasil mengambil buahnya tetapi susah membelahnya sebab tidak punya pisau. Setelah makan malam, aku dan Suadi balik ke asrama, menunggu shalat isya.

Malam hari di panti asuhan Istiqomah ini sepi sebab jauh dari kampung. Sesekali lonceng gereja terdengar jelas dari sini. Kami tidak berani pergi jauh dari asrama, sebab gelap tidak ada lampu. Dikelilingi pohon-pohon sawit, tinggi dan besar.

Pagi harinya masuk kelas. Setelah senam itu, pidato lah ustadz Fajrun.

"Kudengar kabar, ada dari kalian yang ingin pulang. Kuharap tidak menceritakan yang tidak-tidak di panti ini. Ceritakan lah apa adanya, jangan ditambah-tambahi dan dikurangi. Kalian mestinya bersyukur, tidak minta pulang. Di sini sudah gratis masih saja kalian tidak betah." kata beliau.

Entah dari siapa beliau dapat kabar bahwa Suadi mau pulang aku tidak tahu. Yang jelas nomor ayahku tidak ada di hp ustadz Fajrun dan di hp ayahku tidak ada nomor ustadz Fajrun apalagi di hp pamanku. Sepertinya beliau tahu dari Ardi, atau Ardi cerita ke Unyil dan si Unyil cerita ke ustadz Fajrun. Atau Suadi sendiri yang cerita ke ustadz Fajrun? Wallahu 'alam, aku pun tidak menanyakannya pada Suadi.

Setelah jam istirahat, masuk pelajaran terakhir, aku dan Suadi dipanggil keluar dari kelas lalu disuruh ustadz Fajrun ke rumah Opung. Kami pun ke sana. Dan bukan main kagetnya aku, di sana sudah duduk pamanku di teras depan rumah Opung. Suadi segera lari mendekat dan menyalami.

"Khoh kandu, Mame, kune kabakh ndu, Me?" tanyaku. Datang paman, gimana kabar paman?

"Sehat. Dah kuge kabakh malot betah kendin hande?" beliau mulai menyelidiki. Sehat. Kudengar kabar kalian tidak betah di sini?

"Aku betah, Me, Suadi nde da nangat balik." Aku betah paman, Suadi yang ingin pulang.

"Kate ma'emu kau pe malot betah nine. Sukhuh ma'emu dakhi kau pe. De malot betah sebut kase balik kite gat wakhi nde." jelas paman. Kata mamakmu kau pun tak betah. Suruhnya jemput kau juga. Kalau tidak betah bilang biar pulang kita hari ini terus.

"Aku maso balik, Me, Suadi nde plin, aku malot kungin balik. Aku betah hande." kataku lagi menyakinkan beliau. Aku tidak usah pulang paman, Suadi aja. Aku tidak mau pulang, aku betah di sini.

"De kutoh ge kau malot pot balik, malot kungin pe bende. Dakhi kau kase pe pot aku, de sekalak hamin balik kae me kudakhi bende dauh ne." beliau pun mulai sedikit marah dan kecewa. Ternyata ibuku bilang ke paman aku juga tidak betah, jika Suadi pulang maka aku juga harus pulang, begitu terang ibuku ke paman. Ternyata ibuku menyuruh paman datang untuk menjemputku juga. Di kemudian hari baru aku sadar bahwa seorang ibu tahu betul perasaan anaknya meskipun anaknya tidak berterus terang. Dan nyatanya, paman jauh-jauh dari Padang Bulan ke Pematang Siantar kecamatan Simalungun dusun Marimbun naik motor, aku malah tidak mau pulang. Paman malah sudah mengajak seorang temannya.

Lama aku berpikir untuk mengambil keputusan antara pulang dan tidak. Kuingat lagi bagaimana dulunya sewaktu Sekolah Dasar inginku masuk pesantren, jauh dari kmpung, lama di rantau orang. Aku berpikir bagaimana nanti malunya aku jika sudah tiba di kampung, terlebih jika tersebar tidak betah di pesantren, tidak betah merantau dan minta pulang-yang padahal kejadian sebenarnya bukan aku yang minta pulang.

"Teh balik plin lah, Daud, payah su hande di. Malot kau gup pagi. Nyesal kau ndak balik pagi da." kata Suadi mempengaruhiku. Ayo pulang sajalah Daud, capek kali di sini, tak sanggup kau nanti. Nanti nyesal kau kalau tak pulang.

"Kemesi lah gekhe bakhangmu kau pe, kase balik kite segekhe. Nesal kau pagi da, pagi malot nange kingin dakhi se de sukhuh ma'emu." kata pamanku lagi di saat aku sedang merenung. Siap-lah segera, packing barangmu supaya segera kita pulang. Nanti nyesal kau esok hari, disuruh mamakmu pun jemput aku tidak mau datang lagi.

Setelah kupikir-pikir lagi, dan aku pun memutuskan pulang. Meskipun rasa malu memenuhi pikiranku, aku melawan rasa malu itu. Aku ikut ucapan Suadi dan pamanku. Aku pun mengangkat peti dari dalam kamar ustadz Fajrun.

Pakaian suadi yang sudah ia ambil dan telah ia masukkan ke dalam tas ranselnya, ia keluarkan lagi dan ia masukkan ke dalam peti. Kemudian paman mengikat peti itu di atas motor bagian depan. Kami pun pamitan pada Opung dan ustadz Fajrun.

"Orang tua kalian menyerahkan kepada Opung dengan baik-baik, Opung lepas pula kalian dengan baik-baik. Di mana pun kalian sekolah, jangan malas belajar." Opung menasehati. Hatiku gemuruh, air mataku hendak jatuh, langkahku rapuh, semangatku runtuh. Kami salami Opung dan ustadz Fajri. Teman-teman kami masih masuk kelas, bahkan mereka tak melihat kami pergi meninggalkan panti asuhan.

Tidak bisa pamitan dengan teman-teman. Peti sudah diikat, paman sudah siap untuk berangkat. Sekali lagi kulihat ke sekeliling lokasi panti asuhan, kulihat tanaman mentimun yang sudah lebih empat kali aku ikut menyiram dan membersihkan rumputnya, sudah mulai berbuah, namun belum besar, masih sekecil kelingking.

Belum sempat aku rasakan buahnya. Lagipula memang aku tidak ikut menanamnya. Nanti ketika sudah berbuah, santri boleh memetik sendiri namun tidak boleh lebih dari dua buah. Dan nanti akan dapat jatah juga dari bang Malik. Oh, ya! Bang Malik? Kemana beliau? Aku belum pamitan. Dan beliau tidak ada di sini. Kata Opung bang Malik lagi di luar, naik kap 70-nya. Kulihat kolam ikan, dan sejauh mataku memandang yang kulihat dan kupandangi adalah lokasi panti asuhan Istiqomah.

Entah kapan lagi aku akan kemari? Akan kukenang panti ini selamanya, susah senang selama tiga bulan lebih kurangnya sudah tinggal di sini, hanya sebentar namun amat sangat mengesankan sekali! Motor pun sudah hidup. Aku dibonceng pamanku, Suadi dengan teman paman. Kami pun pulang.

Gedung terakhir yang dilihat oleh mataku adalah asrama kami. Keluar dari gerbang, aku membaca sekali lagi tulisan di pamplek: Selamat Datang di Panti Asuhan Istiqomah, dusun Marimbun kecamatan Simalungun.

Berat aku meninggalkan panti asuhan, Opung, ustadz Fajrun, teman-teman, tanaman mentimun, bang Malik, Ardi, Unyil, Sonok, dan Wawan. Tapi saat ini aku telah di atas motor pamanku menuju pulang dan tak tahu kapan lagi berkunjung kemari? Aku masih meninggalkan tulisan namaku di atas meja dalam kelasku. Meninggalkan kenangan dan cerita, setidaknya aku pernah ada di dalam memori mereka. Suatu hari nanti, bila aku rindu semuanya, aku akan menuliskannya.

Belum terlalu jauh motor kami jalan, kami berpas-pasan dengan bang Malik, tapi beliau tidak mengenali kami. Kami semuanya memakai helm. Kulihat bang Malik memakai kaus oblong yang biasa ia kenakan dan membawa motor kap 70-nya yang tidak balap itu.

Selain motornya tidak bisa balap, jalannya juga berlubang, belum ada aspal, becek sana-sini, terlihat jelas tanah warna kuning. Pamanku terlalu kencang membawa motor, tidak enak juga rasanya aku meminta paman berhenti dan aku memanggil bang Malik untuk pamitan. Dan bang Malik terlihat makin jauh di belakang kami dengan beda arah, kulihat punggung beliau lalu tak terlihat sama sekali. Gemuruh rasanya di dadaku duduk di belakang paman menuju pulang.

Sayang sekali belum pamitan pada tulang punggung santri itu. Luar biasa jasanya pada kami! Aku merasa sangat bersalah sebab tak pamitan dengannya. Sampai jumpa lagi di suatu hari nanti bang Malik! Entah kapan itu, aku tidak tahu, tapi aku sangat berharap di lain waktu.