webnovel

SMP Satu Atap

Waktu pengumuman kelulusan pun tiba. Kami dikabari si Haq, anaknya pak Bahri. Tidak ada telepon, tidak ada sms. Kami tidak punya alat canggih itu. Haq lewat berhenti di tepi jalan raya dan memberi tahu tanpa turun dari atas motornya bahwa hasil UN telah keluar dan ditempel di dinding rumahnya. Pak Bahri yang masih satu desa denganku.

Segera saja aku keluarkan sepedaku. Aku mengayuh sekuat-kuatnya dan mengerem dengan sandal begitu sudah di tiba depan rumah pak Bahri dan masuk lewat gerbang dan merebahkan sepedaku begitu saja. Di lokasi rumah ini juga berdiri balai pengajian, dulunya aku dan Piyah juga mengaji di sini. Guru kami didatangkan dari luar kecamatan. Beliau datang mengajar dengan motor kap tujuh puluh.

Kulilat beberapa orang temanku sudah tiba duluan. Aku mencari-cari namaku berawalan dari huruf M, yaitu Muhammad dan diikuti Daud kemudian Farma. Kulihat namaku terpampang memanjang. Aku bahagia, aku senang, aku pulang ke rumah dan mengabari mamak bahwa aku lulus. Mamak pun senang bahagia, ayah juga. Dan ternyata kami lulus semua.

Satu pekan kemudian membeli seragam sekolah, seragam putih biru di pasar senin. Aku ikut dengan mamak memilih ukuran. Kami hanya berdua, kami naik becak Bambkhu, bayar ongkos lima ribu rupiah.

Sepekan setelah membeli seragam, aku menanyakan kapan aku didaftarkan masuk pesantren. Kata mamak mereka belum mampu menyekolahkanku di pesantren sebab abangku Piyah juga masih di pesantren Samalanga. Ratusan ribu rupiah perbulannya, ayah tidak yakin mampu membiayai kami berdua. Namun kalau ada informasi pesantren gratis atau panti asuhan, maka besok juga diantarkan ayah.

"Panti Asuhan mau?"

"Mau, Ayah. yang penting aku masuk pesantren. Asalkan di luar daerah.

"Ya di Medan"

"Ya aku mau, Ayah."

Ayah telah membahas bersama bang Juh tauke getah karet kami, panti asuhan mana yang bakal aku didaftarkan. Kata mamak, selagi menunggu kejelasan panti asuhan mana yang dituju, sementara aku sekolah dulu di SMP yang baru buka tahun ini di SD-ku. Yaitu SMP Satu Atap. Mau tidak mau aku pun manut. Dan otomatis aku terdaftar di SMP ini, tanpa harus menyerahkan berkas apa pun. Cukup kenakan seragam SMP. Hanya saja kami baris paginya sudah beda dengan yang SD. Sudah tujuh tahun aku di SD dan di lapangan sekolah yang sama, tapi masih lanjut lagi di tempat ini.

Teman-temanku juga ada beberapa orang yang lanjut, lalu mereka menanyakanku tentang Besilam. Aku bilang aku hanya sementara saja di sekolah ini. Aku menunggu informasi untuk berangkat ke luar daerah. Di sisi lain aku juga mikir, jangan-jangan nantinya aku tetap di sini hingga tamat SMP selagi aku masih betah, selagi biaya sekolah ini gratis. Jangan-jangan ini hanya akal-akalan mamak agar aku tidak jadi keluar daerah. Meskipun begitu dugaanku, aku tetap semangat datang ke sekolah. Aku naik sepeda. Pulang pukul satu siang. Tidak pernah absen. Lebih-lebih aku makin senang sebab kami punya pelajaran bahasa inggris, punya teman-teman baru lulusan SD Alur Nangka dan Jambur Damar.

Sudah dua minggu lebih aku sekolah di SMP satu Atap. Ayah dan Bambkhu pergi ke Medan dengan maksud membeli motor. Di Medan ayah dan bambkhu akan ditemani paman apun-Ku, adik laki-laki mamak paling kecil yang menikah dengan anak Medan dan tinggal di Padang Bulan. Beberapa hari kemudian, di waktu hujan gerimis. Suara motor masuk ke halmaan rumah dan mengelakson dari luar pintu. Aku terbangun dan segera aku bukakan pintu. Kulihat paman membawa motor dengan memakai mantel warna hitam dan ayah sudah turun dari motor. Motor itu diparkir di dalam rumah dan air-air menetes di atas lantai semen dari kap dan mesin motor.

Aku baca merek motor itu, "Supra-X" kurang lebih harganya mendekati sebelas juta. Ini jugalah hasil jual dua ekor lembuku beberapa waktu lalu.

Esok paginya aku langsung diajari bang-We ku dan aku bisa di hari itu juga. Sudah bisa bawa sendiri. Dalam satu minggu kemana-mana aku bawa. Bahkan hingga mandi ke sungai di Pante Dona sana, lewat desa Salim Pinim. Kadang aku mengerem terlalu kuat sehingga menyeret ban belakang. Aku belum sepenuhnya lihai. Masih amatiran.

Di hari minggu kedua, tepat di hari minggu, libur anak sekolah. Pagi-pagi sekali. Matahari pun belum terbit, embun pun belum pergi. Aku keluarkan motor Supra-X dan aku ajak abangku Edi anaknya bambkhu yang juga punya motor baru. Aku membunyikan kelakson berkali-kali di depan rumahnya dari pinggir jalan. Dia pun mengeluarkan motornya. Karena bang-We ku mendengar, ia pun minta ikut. Abangku Am juga mendengar suara kami dan ia pun mengeluarkan motor dan kami berangkat tiga motor ke Pante Dona. Aku berdua dengan bang-We dan mereka sendiri-sendiri.

Tiba di sungai Pante Dona, bang-We langsung mandi. Aku dan dua orang abang-abangku tidak langsung mandi. Kami pergi ke atas jembatan, dan kami balapan. Siapa yang duluan sampai pulang pergi ke arah sejajar dengan jembatan kecil dekat lapangan pesawat terbang di Lawe Kinga lalu kembali lagi ke Pante Dona dialah pemenangnya. Jalanan setelah dan sebelum jembatan Pante Dona belum diaspal. Masih diberi kerikil dan kerikil itu banyak yang pecah sebab dilindas fuso dan kodisel yang membawa pasir, batu, dan kerikil juga.

Balapan pun di mulai. Kulihat bang Edi sudahbagak jauh di depan dan bang Am nomor dua. Aku terakhir. Kemudian putar balik. Sesekali ban motorku meper-meper karena kerikilnya tidak erat menempel di atas tanah. Begitu putar balik juga aku yang tertinggal. Karena tak mau kalah, akhirnya aku gas pol! Aku pun duluan di depan. Begitu tiba di dekat jembatan tinggi Pante Dona, sebelum sampai jembatan, aku tidak menekan rem dan masih balap lalu ban motorku terpeleset dan aku jatuh terseret lebih sepuluh meter! Tiba-tiba dunia gelap seketika.

Aku dengar suara abang-bangku menolongku dan memangkuku untuk dibawa ke rumah sakit. Darah bersimbah. Tapi aku tidak bisa membuka mata. Badanku terkulai. Aku sadar bibirku dijahit, tapi aku belum bisa membuka mata.

Beberapa saat kemudian aku sadar. Aku mendapati diriku di rumah sakit. Di sekitarku sudah ada mamakku menangis, ayahku, serta saudaraku yang lain. Bibik dan bambkhu, ibunya Edi juga datang. Bibik selalu ada di setiap peristiwa keluarga kami. Luar biasa bibik, aku sayang pada bibik, bibik juga sayang pada kami. Pun Mak-Ngah, Maklung, Mak-Lang dan Mak-pun, semuanya menengok. Gigi depanku ada tiga yang patah. Bibir atas dan bawah masing-masing empat jahitan. Bibir atas pecah dan bibir bawah luka dari dalam. Mukaku membengkak, hingga susah aku membuka mata. Dua hari aku di rumah sakit lalu dibawa ke rumah.

Selama satu bulan, tiap hari aku disuntik dan chek-Up. Pantatku sudah disuntik puluhan kali. Sakingkan seringnya disuntik aku tak lagi merasakan sakit jarum suntik. Dua atau tiga minggu kemudian pelepasan benang jahitan dari bibirku.

Motorku hancur. Kap depannya tidak bisa digunakan lagi. Ayah bilang pada yang melihatnya memperbaiki motor, ayah bilang pada orang-orang sekitar yang hadir bahwa ayah takkan lagi mengizinkanku memakai motor itu sebab telah aku rusakkan, sebab aku tak hati-hati. Aku pun sudah takut dan trauma dengan motor itu. Aku tanamkan pada diriku tidak mau lagi naik motor.

Kawanku, ketua kelas dan beberapa jajaran organisasi SMP Satu Atap, empat orang datang menjengukku. Mereka membawa satu bungkus roti biskuit kelapa yang berbentuk segi empat dan ditaburi gula. Setelah melihat keadaanku selama satu jam, mereka pun pamit.

Selama proses penyembuhan, tiga minggu aku hanya makan bubur dan nasi yang dimasak khusus mamak. Tentu mamak paling repot mengurusku. Kalau aku tidak mau makan, mamak memasak ikan bakar untukku. Kalau aku hendak ke kamar mandi, mamak ingin ikut menemani kalau aku tidak sanggup, aku malu, kata mamak jangan malu, tapi tetap aku berusaha sebisa mungkin meskipun aku pening. Lebih satu bulan aku tidak mandi. Hanya rebahan dan duduk, sesekali ke kamar mandi. Tidak pernah keluar rumah. Tidak tahu apa yang terjadi di luar rumah apalagi sekitar desa Alur Langsat. Sesekali kakak-kakakku, istri abang-abangku juga mengantarkan lauk untukku. Di hari pertama kecelakaan kak-We ku, kakak perempuan paling besar sudah datang dari seberang menjengukku di rumah sakit.

Satu bulan berlalu, aku sudah mendingan. Aku sudah bisa jalan kaki kemana aku mau, meskipun bibirku masih bengkak. Luka bibirku belum kering. Setiap hari masih aku tetesi dengan obat yang diberikan rumah sakit, air obat itu warna biru.

Motor sudah diperbaiki. Piyah juga sedang berlibur. Dia baru tiga hari di rumah. Lalu ia ingin mencoba membawa motor itu. Ia memakai kain sarung sebab anak pesantren tapi tidak memakai peci. Sudah dipastikan mamak apakah ia benar-benar bisa atau tidak. Dia dengan yakinnya bilang bahwa dia bisa. Begitu ia tarik gas, dia masukkan gigi satu. Lalu dia bawa motor ke arah tak menentu. Menyeberangi jalan depan rumah begitu kencang. Untung saja tidak ada kendaraan yang lewat, bisa-bisa tabrakan. Setelah menyeberang ia tak pandai menghentikan motor, tangannya masih kaku menurunkan gas dan hampir saja menabrak anak-anak sedang bermain di bawah pohon mangga depan rumah pak-Lang. Lalu dikejar beberapa orang untuk menghentikan dan mematikan motor, dan Piyah berhenti sendirinya sebelum orang-orang meraihnya. Mamak melihat itu sudah jantungan, yang lain juga sudah teriak-teriak melihat Piyah yang tak karuan membawa motor, sama seperti lembu Khonjangku ketika peningan, tak menentu menanduk kemana.

Seminggu kemudian aku jadwal follow-up ke rumah sakit untuk suntik. Hujan gerimis. Aku mengajak ayah, tapi kata Piyah biar dia saja yang mengantarkanku ke rumah sakit. Aku pun percaya saja. Hujan gerimis, jalanan aspal basah. Pergilan kami ke rumah sakit sebelum magrib. Tiba di tikungan Jambur Damar, dikit lagi mau sampai rumah sakit di desa Titi Mas. Seharusnya belok kiri, Piyah malah melebar ke kanan dan kami jatuh terpeleset di semak dan samping pagar kawat duri.

Kami segera mengambil motor dan mencucinya di salah satu sumur penduduk terdekat. Saat mencuci, Piyah merasa sakit di bagian dekat pinggangnya. Begitu ia naikkan bajunya, kami lihatlah lukanya seleber seperti ikan mas disayat untuk digarami. Dia kesakitan. Darahnya keluar. Luka itu hampir menembus perut bagian kirinya. Sudah tampak lapisan putih. Aku tidak kenapa-napa.

Kami tetap ke rumah sakit. Aku disuntik lalu pulang. Kami tidak berani melapor ke mamak dan ayah bahwa kami jatuh. Kami takut dimarahi. Waktu makan malam tiba mamak mengajak makan, aku keluar dan makan bersama. Piyah tidak makan, tidak ingin makan. Aku bilang pada mamak Piyah katanya makan nanti saja. Pukul sembilan malam, luka Piyah kambuh, sakitnya makin terasa. Dia menangis kesakitan. Piyah sudah tak tahan.

Piyah menyuruhku memanggil bibik. Aku pun segera ke rumah bibik. Ayah dan mamak sudah masuk kamar hendak tidur. Kami biasanya tidur sebelum jam sepuluh malam. Bibik heran kenapa aku ke rumah beliau pukul segitu. Aku sampaikan pada bibik apa yang terjadi. Aku bilang pada bibik agar tak memberitahu ayah dan mamak, begitu yang diinginkan Piyah. Datanglah bibik dengan buru-buru ke rumah denganku lantas masuk kamar kami. Bibik menanyakan luka Piyah dan dilihat bibik. Beliau pun hendak menangis dan takut melihat luka Piyah.

Bibik membujuk Piyah agar memberitahu saja ke mamak dan ayah. Kata bibik jangan takut. Piyah mesti berobat. Berat hati Piyah menyetujuinya. Lalu bibik memberitahu mamak dengan memanggil mamak seperti orang minta tolong. Segera saja mamak seperti melompat keluar dari kamar dan disusul ayah. Mamak malah marah pada kami kenapa takut melapor padahal sudah hampir kritis. Ayah juga tak habis pikir kenapa kami menyembunyikan itu semua. Padahal motor tidaklah rusak. Mungkin Piyah khawatir tidak lagi diberi izin bawa motor sepertiku.

Malam itu juga piyah segera dibawa ke rumah sakit. Dibonceng ayahku, mamak dan bibik menunggu di rumah. Begitulah bibik, orang yang selalu dapat kami andalkan. Ayah dan mamak takkan marah pada bibik, apapun kesalahanku, bibik pasti menyurhku pulang ke rumah. Bambku pun sama, sama baiknya dengan bibik.

Setidaknya ada delapan jahitan untuk luka Piyah. Dan mulai malam itu dia tidak bisa kemana-mana hingga lukanya sembuh. Lagi-lagi mamakku sedih dan repot. Sehari sanggup mamak lima kali mengobati Piyah di kamar kami.

Aku sudah pulih meskipun harus tetap hati-hati dengan bibirku jika tersandung ke dinding, tidak bisa disentuh oleh apa pun, bibirku akan bengkak seketika. Aku tidak mau lagi sekolah di SMP Satu Atap, aku malu pada teman-temanku, pada keadaanku yang gigiku telah patah dan bekas jahitan luka bibirku yang masih terlihat jelas. Aku tidak mau sekolah di situ, sungguh tak mau. Padahal aku sedang bahagianya sekolah di SMP satu atap namun musibah mengubah semuanya. Nampaknya ayah dan mamak memaklumiku.

Dua minggu kemudian, beliau tempahkan peti di tukang pembuatan properti rumah dari kayu, yaitu pak Umar. Satu minggu kemudian peti itu jadi dibuat oleh pak Umar. Lalu dibawa ayah ke rumah. Kata ayah besok magrib kami berangkat ke Medan. Aku pun senang bukan main. Sebelum besok tiba, aku memancing ikan di samping rumah suluk, di sana ada rawa-rawa. Malamnya mamak siapkan semua pakaian yang hendak aku bawa, juga beberapa piring dan kebutuhan lainnya. Mamak masukkan ke dalam peti.

Magrib tiba, aku sudah tak sabar menunggu mobil BTN datang. Begitu BTN parkir di depan rumah di bawah pohon jambu, aku senang bukan main. Aku pamitan pada mamak dan semuanya. Piyah telah balik lagi ke Samalanga dua minggu lalu. Aku dan ayah pun berangkat ke Medan. Ayah sudah mengangkat peti tempat baju-bajuku ke dalam mobil BTN.

Aku menatap orang-orang yang kutinggalkan dengan setengah raut wajah sedih dan setengah gembira. Sedih aku akan merindukan kampung Alur Langsat, dan merindukan orang-orang yang aku kenal dan yang aku sayang: ibuku, adikku, kakakku, abangku, teman-temanku. Gembira sebab aku pergi ke luar daerah, nun jauh di sana, entah di mana? Yang jelas di Medan.

Mobil BTN menjemput penumpang di Engkeran Cingkam Mekhanggun, lalu ke tanah merah dan langsung menuju ke Simpang Semadam dan berhenti, menunggu penumpang. Hujan gerimis. Jendela kaca mobil BTN (Bintang Tani Jaya) dibasahi hujan.

Aku menatap ke bawah sana, nun jauh di sana aku melihat kampung seberang sungai Alas, itulah kampung Salim Pinim tempat aku SD selama 7 tahun dan SMP selama dua bulan.

Tak lama kemudian kami tiba di Lawe Pakam, perbatasan antara Aceh Tenggara dan Sumatera Utara. Para penumpang semuanya wajib turun, sebab mobil akan diperiksa oleh petugas kepolisian. Sebagian penumpang bergantian ke WC, pun ayah dan aku. Setelah pemeriksaan, mobil BTN pun berangkat melewati gerbang perbatasan. Selamat datang di Tanah Karo Sumatera Utara. Mobil BTN melaju dengan sedang. Aku bahagia campuraduk meninggalkan kampung halaman. Malam ini resmi aku meninggalkan rumahku, keluar daerah bulan September tahun 2007.