webnovel

Dayah Perbatasan Darul Amin

Kami sempat berhenti di tengah jalan. Paman dan temannya pun merokok sembari keduanya bercerita satu sama lain. Aku dan Suadi hanya menyaksikan kendaraan yang lalu-lalang dengan kencang di jalur lepas hambatan. Kami tak saling bicara.

Sejak ia berhasil merayuku di depan rumah Opung tadi, aku telah membencinya bahkan membenci pamanku sendiri, pun benci pada diriku yang mudah mereka taklukkan. Pamanku sama sekali belum bicara denganku. Namun kadang pikiran untuk berasalan senang itu tiba-tiba muncul, mencoba mengajakku berdamai dengan Suadi dan pamanku, dan aku pun setuju. Toh memang nantinya aku bakal tidak mampu juga, aku bakal tidak betah, aku telah mengukur batas kemampuanku untuk bertahan di panti lebih lama. Paling juga setelah satu minggu aku ditinggal Suadi dan paman, aku akan menelepon ke kampung untuk dijemput, jadi tidak salah juga aku ikut mereka sekarang ini meninggalkan panti asuhan Istiqomah yang sudah jauh sekali di belakang sana.

Paman dan temannya pun selesai merokok, kami melanjutkan perjalanan. Hari sudah mau magrib, jalanan macet. Paman mencoba menyelip dan ia berhasil. Hujan gerimis, kami pun berhenti dan mengenakan mantel kemudian melanjutkan perjalanan.

Setelah magrib kami tiba di rumah paman. Kami disambut puhun, istri paman. Kami salami puhun. Lalu kami pun ganti pakaian dan mandi. Adik-adikku, Rian dan Ipul sedang nonton tv di lantai dua. Srik sedang memasak di dapur. Bahkan dia malu menunjukkan dirinya apalagi sampai bertanya: kenapa abang tak betah di sana? Padahal dia tahu hari ini ayahnya menjemput kami di Siantar, dan dia tahu kami sudah tiba di dalam rumahnya.

Selepas mandi kami shalat. Kami tak tanya ke paman maupun puhun kemana arah kiblat. Kami lentangkan sajadah dan aku pun takbir sebagai imam. Selesai sholat, puhun pun memberitahu kemana arah kiblat, terpaksa kami ulang balik shalat kami.

Menunggu makan malam, aku dan Suadi pergi ke luar. Berjalan di depan sekitar rumah puhun, kami melihat-lihat rumah penduduk, di dekat rumah paman adalah kilang pengolah getah karet yang diubah menjadi benda lainnya. Kami membeli snacks. Dan di samping warung itu tampaklah sebuah masjid yang tidak begitu besar.

"Gimana kalau besok kita jamaah di masjid?" ajak Suadi.

"Boleh." sahutku. Sepuluh menit pun berlalu dan kami balik ke rumah, sebab Rian memanggil kami. Sampai di rumah kulihat hidangan sudah siap, Srik masih pulang-pergi ruang tamu-dapur membawakan yang belum ada. Kami pun makan malam. Paman heran melihatku hanya mengambil nasi sedikit saja.

"Tambah tule nakanmu, kune me sitok ne hamin," kata paman. Tambah lagi nasimu, kok cuma sedikit.

"Go, Me, malot kekhi nahan." jawabku. Sudah paman, nanti tak habis.

"Sitok kin hamin kendin mangan ni hadih?" tanya paman lagi. Cuma dikit kalian makan di sana?

"Malot, Me." sahutku. Tidak paman. Aku pikir tidak perlu juga kuberitahu aku dapat jatah nasi sebanyak apa? Tentu tidak bisa disamakan dengan makan di rumah sendiri. Badanku kurus memang susah berisi seperti Suardi, bukan salah panti Asuhan. Tapi tiba-tiba paman pun bicara lagi, seakan ia tahu apa yang sedang aku bincangkan dalam hatiku.

"De Suadi nde tembun kidah ye, kau mejakhe kidah." kata beliau lagi. Tapi Suadi gemuk kulihat dia, kau kurus. Aku pun diam, tak dapat menjawab apa-apa, paman tahu betul apa yang kami alami di sana. Kami bekerja untuk kami juga. Dan itu wajar saja.

Setelah makan itu paman melihat ke telapak tanganku yang kasar, tak ada mulusnya. Mestinya santri tidaklah sekasar itu tangannya, tapi apa boleh buat, kami santri dan juga bertani, toh untuk kami juga. Aku tak begitu mempersoalkan itu. Aku adalah anak petani, sudah sering bekerja keras, bahkan menggembala lembu lebih lelab dibandingkan ikut membantu ayah bekerja di gunung dan sawah.. Justru aku bersyukur bisa jauh dari kampung dan segalanya gratis.

Selesai makan malam, kami naik ke lantai dua. Kami nonton tv. Srik, yang sudah sangat sering mengikuti sinetron, semua nama pemain ia hafal, peran pembantu, nama pengemis, nama kucing di senetron, mobil yang dipakai, pakaian, serta ia jelaskan alur cerita secara ringkas dari episode sebelumnya hingga yang sedang kami tonton sudah belasan episode. Kami ketinggalan sepuluh menit untuk episode yang sedang kami tonton, kemudian ia pun menjelaskan yang sepuluh menit tersebut.

Baru kali ini Srik benar-benar duduk di dekatku, bercerita dengan berani tanpa gugup. Suadi tak menyimak ceritanya, Suadi hanya fokus menonton. Rian dan Ipul belajar di kamarnya. Selesai sinetron itu Srik kembali ke kamarnya, sedangkan aku dan Suadi masih menonton hingga pukul satu malam dan kami pun tidur di ruang tv.

Minggu pagi kami menonton sambil menunggu bubur sarapan yang dimasak puhun dan Srik. Dari pagi sampai sore kami di rumah, nonton tv, tidak kemana-mana. Sorenya kami disuruh paman ke luar rumah pergi ke Wartel untuk memberitahu orang tua kami agar dikirimkan uang ongkos pulang serta uang minyak motor paman dan temannya yang sudah habis untuk menjemput kami.

Andaikan hanya aku, tentu paman tidak minta ganti, tapi Suadi tidak ada hubungannya dengan paman. Paman tidak kenal dia apalagi ibunya, saudara dekat juga bukan. Juga paman memang bukan orang kaya, ia sederhana, buruh di pabrik karet. Gajinya hanya pas-pasan. Sampai di Wartel kami menelepon, kali ini aku yang bicara sama ibuku. Kujelaskan apa yang dijelaskan paman kepadaku.

"Kekhine lime khatus khibu, Mek." kataku. Semuanya lima ratus ribu, Mak.

"We, pagi kami kikhimken lewat motokh BTN." jawab ibuku. Ya besok kami kirimkan lewat mobil BTN. Ibuku patungan bagi dua dengan ibunya Suadi. Kemudian aku menutup telepon lalu kami pun menuju pulang ke rumah paman. Kami mampir di warung dan membeli permen, sambil berjalan bercerita menikmati kota Medan di sore hari.

Aku, Suadi dan dek Rian ingin sekali jalan-jalan jauh, namun hari sudah hampir magrib, kami mengurungkan niat kami. Setibanya di rumah, Rian memberikan beberapa permen ke Ipul, tapi tidak ia berikan ke Srik.

"Untukku mana?" tanyanya pada Rian.

"Tidak ada." kata Rian. Srik merajuk, lalu kuberikan ke Rian permen yang masih ada di tanganku untuk ia berikan ke Srik, kulihat ia tersenyum. Subuh esoknya uang yang dikirim ibuku sampai di stasiun BTN. Waktu itu kami belum akrab dengan transfer. Supir BTN pun menelepon paman, ternyata dia jugalah teman paman. Kemudian jam delapan pagi itu juga kami pamitan ke puhun. Sementara Srik, Rian dan Ipul sudah berangkat ke sekolah.

Kami diantar paman ke stasiun BTN, paman memberikan dua tiket untuk kami. Setelah menyalami paman kami masuk ke dalam mobil. Paman pun pulang sebab ia harus masuk kerja.

Hari itu terakhir kalinya aku melihat paman dengan kasat mata di awal tahun Januari 2008. Di tahun dua ribu dua puluh (2020) paman meninggal. Kata Srik padaku bahwa paman meninggal di rumah beliau yang sudah sekian kali pindah-pindah karena pekerjaan. Bukan akibat Covid 19.

Paman meninggal di Binjai dan dimakamkan di Engkeran Lawe Kongker Aceh Tenggara. Bukan main besarnya jasa paman padaku yang telah mengantarkanku menuntut ilmu. Aku tidak lupa mendo'akan paman, nama beliau: Mu'alim. Orang alas memanggil beliau Mukhalim. Ketika aku berdo'a kusebutkan nama paman. Alfatihah untuk paman Tiap kali aku membaca ulang tulisan ini, aku hadiahkan al-Fatihah dan shalawat untuk paman.

Tak lama setelah paman pergi, mobil BTN berangkat.

Kami meninggalkan kota Medan untuk selamanya. Entah kapan lagi akan kemari? Aku tidak tahu dan aku masih berharap bisa kembali. Keindahan kiri-kanan jalan menyejukkan mataku, sepanjang jalan hijau, sepanjang jalan gunung. Lalu kami tertidur.

Tiba di Tiga Binanga, mobil BTN singgah dan semua penumpang turun untuk makan. Kami memesan ikan lele goreng dan sayur ubi serta sambal balado. Kali ini aku benar-benar lahap makan, ingin rasanya tambuh, tapi takut duit tak cukup. Setelah minum, alhamdulillah terasa kenyang juga.

Sesudah semua penumpang selesai makan, mobil BTN pun melanjutkan perjalanan. Kulihat supirnya bukan yang tadi, sekarang sudah ganti supir. Kali ini aku dan Suadi tidak bisa tidur, selain tidak ngantuk, supirnya gila sekali membawa mobil! Dia menari dengan mobilnya, namun semua tikungan patah ia hadapi dengan baik, hanya beberapa penumpang yang tidur. Sangkinkan balapnya ia membawa mobil, pemandangan indah kiri-kanan jalan yang banyak jurang tidak bisa dinikmati, aku was-was mobil BTN ini terpeleset dan melompat ke jurang. Segera kubuang pikiran buruk itu.

Hatiku mulai senang, hawa-hawa Kuta Cane seakan sudah tercium. Kami sudah tiba di Mardinding Tanah Karo. Kira-kira satu jam lagi kami akan tiba di Perbatasan Lawe Pakam.

Tak lama kemudian sampailah mataku membaca tulisan gerbang perbatasan: Selamat Datang di Lawe Pakam. Kab. Aceh Tenggara. Alhamdulillah, akhirnya sampai juga di Kuta Cane setelah beberapa bulan di Medan. Hanya dua puluh menit dari perbatasan, kami tiba di Simpang Semadam. Hanya aku dan Suadi yang turun di sini. Setelah peti kami turunkan, kami memesan RBT.

Peti diikat di depan, aku dan Suadi duduk di belakang pak Ojek. Pak Ojek tidak menyalakan motornya, ia memanfaatkan penurunan. Lebih seratus meter jauhnya barulah ia menyalakan mesin motornya. Aku duduk paling belakang. Mataku memandangi keindahan sawah yang sedang menguning.

Tiba di Pantai Dona, kuingat kembali tragedi kecelakaan yang menimpaku dulu, gara-gara balapan di hari minggu pagi, yang menyebabkan tiga gigiku patah, lalu aku berhenti sekolah hingga aku sembuh total, kemudian aku ke panti asuhan. Kurasa lebih tiga bulan aku di Istiqomah.

Awal Oktober 2007 aku datang ke Istiqomah Dusun Marimbun Kecamatan Simalungun Pematang Siantar, awal Januar 2008i aku pergi dan entah kapan lagi aku ke sana? Belum sampai rumah aku sudah rindu panti asuhan Istiqomah. Setibanya di rumah aku salam cium ayah dan ibuku, juga ibunya Suadi, Mak-Ngah dan bibik apun. Komentar pertama ibuku adalah aku semakin kurus, lalu ia pun memintaku bercerita dan aku menceritakan semuanya, apa adanya yang kurasakan. Tetapi kami anak petani, bekerja adalah hal yang lumrah. Ibuku meraba telapak tanganku yang kasar dan ibuku juga menanyakan kenapa aku kurus sementara Suadi gemuk, kujawab bahwa Suadi mau mengambil nasi sisa di dapur, dia tidak malu sepertiku, ia lebih berani sama perempuan.

Ibuku mengerti dan maklum, dia yang mengandungku, dia mengerti sifatku. Setelah barang Suadi dikeluarkan ibunya dari petiku, mereka pun balik ke rumahnya. Malamnya ibuku masak enak. Sudah lama sekali tidak merasakan masakan ibuku. Kalau aku di kampung sudah pasti makannya lahap tapi aku tidak menunjukkan kelahapanku.

Agar ibuku tidak semakin sedih membayangkan isi ceritaku tadi sore, seakan aku ini tidak makan. Padahal aku benar-benar makan, tiga kali sehari ko, jatahnya juga sama seperti anak yang lainnya, memang akunya yang susah gemuk, bukan salah panti asuhan, apalagi salahnya bang Malik, tidak akan kubiarkan ibuku dan ayahku apalagi orang kampung untuk menyalahi bang Malik-yang sebenarnya ayah dan ibuku pun merasa bersalah sebab karena mereka tidak mampu membiayai sekolahku di pesantren yang berbayar perbulannya sebab uangnya hanya cukup untuk abangku Piyah, abangku nomor tiga.

Hingga saat ini aku masih kagum dan bangga pada bang Malik, susah mendapati orang yang masih lajang seperti beliau di Alur Langsat ini, bahkan nyaris tidak ada. Kesungguhannya, keikhklasannya, dan tanggung jawabnya kepada kami benar-benar luar biasa!

Tapi memang ibuku tidak menyalahi panti asuhan apalagi bang Malik, malah ibuku tidak kenal siapa bang Malik. Ibuku sangat syukur dan senang aku betah bertahan di sana selama tiga bulan lebih. Aku pun bahagia.

Tidak sampai seminggu di rumah, ayahku ingin memasukkanku ke pesantren lagi.

"Pesantren dape, Wok?" tanyaku penasaran. Pesantren mana ayah?

"Ni Lawe Pakam. Lot anak Lawe Tungkal mace ni hadih, awok ne go mecekhite khut aku. Mejile nine kas anakne ge. Gelakh anakne Edisyah. Hadi ge mukhah hamin, masak sade." jelas ayah padaku. Di Lawe Pakam. Ada anak Lawe Tungkal yang ngaji di sana, ayahnya sudah bercerita denganku. Bagus katanya tempat anaknya tadi. Nama anaknya Edisyah. Di sana tadi murah, masak sendiri.

"Pesantren kae gelakhne, Wok?" tanyaku lagi semakin penasaran. Apa nama pesantrennya ayah?

"Darul Amin."

"Ni dape ne kin pesantren ne?" aku masih penasaran. Di sebelah mana pesantren itu?

"Pokokne ni Lawe Pakam me gat, ni donoh pekhbatasen dih da. Ni tepi dalan e megat gerbang ne, sebelah kemuhun de hande akhi, masak malot kau idah?" jelaskan ayah lagi. Pokoknya di Lawe Pakam, di dekat perbatasan. Tepat di pinggir jalan gerbangnya, sebelah kanan dari sini, masak iya kau tak lihat?

"Malot penah kidah lot tulisen ne ni tepi dalan pesantren." sahutku. Tidak pernah kulihat ada tulisannya di pinggir jalan kata "pesantren". Karena memang tahun 2008, pamplek Darul Amin masih berada agak ke dalam, terhalang oleh pokok-pokok kayu besar, hampir tak terlihat jika sekilas lewat. Beda jauh dengan pamplek Darul Amin hari ini.

"De me pot nge khase ne kau hadi?" tanya ayah balik. Jadi kira-kira kau mau di sana?

"We, Wok. Pot aku!" jawabku senang. Ya ayah aku mau!

Hari senin aku tiba di rumah. Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu dan hari Minggunya aku diantarkan sekaligus langsung didaftarkan ayahku masuk pesantren sebagai santri pindahan dari lembaga lain. Periuk, kompor, piring, sendok, mangkuk, beras, ikan tri, ember, minyak lampu, tomat, cabai, dan minyak goreng, sudah masuk ke dalam becak dalam goni pelastik. Adapun pakaianku sudah disusun rapi oleh ibuku di dalam peti.

"Nakku!" Ya itu suara Ibu memanggil namaku, aku pun keluar dari dalam kamarku. Pangggilan ibu yang sudah melekat dalam jiwaku, sudah tak asing lagi di telingaku, suara beliau yang begitu akrab di hatiku.

"Kae, Mek?" Ada apa,Mak? Amek, berarti ibu dalam suku kami suku Alas Aceh Tenggara.

"Siap-siap gat, jak akhi khoh becak bambekhumu ge, pekhikse tule bakhang-bakhangmu, ulang lot tading na!" Ayo siap-siap! Bentar lagi becak bambkhumu tadi datang, periksa lagi barang-barangmu, jangan sampai ketiggalan, ya!

"We, Mek." ya Mak.

Sore tadi adalah sore terakhirku bersama teman-temanku mandi di sungai, sore terakhirku di kampung halamanku Alur Langsat, sore terakhir bersama saudara-saudaraku dan sore terakhirku, bersama kakak, adik, ayah dan juga Ibuku. Meskipun baru seminggu di rumah, tentunya aku mestilah pamitan pada mereka semua.

Sore terkahir yang bersifat sementara dan aku tidak akan pulang kalau tidak disuruh atau diajak pulang nantinya. Walaupun memang aku baru pulang dari Medan, aku tidak banyak bermain dan pergi kemana-mana, aku hanya di kampung dan sesekali ke kali Alas atau mancing di rawa-rawa tepi gunung.

Ayahku segera menyerahkanku ke pesantren agar aku tidak sempat lagi bergaul dan jadi anak yang nakal, meskipun aku tidak nakal. Semuanya sudah beres, pakaianku sudah masuk ke dalam tasku dan peti buatan ayah yang berukuran sedang yang bisa menampung tiga puluh pakaian yang telah dilipat yang dalamnya dua kotak dan di dindingnya masih tertulis nomor hp ayah. Perlahan kudengar suara becak dan memasuki halaman rumahku. Kuperhatikan pemiliknya, wajahnya tak asing lagi di mataku. Ya beliau adalah bambku-ku, sebutan untuk suami dari bibiku. Kutatap muka ibu, beliau hanya membalas dengan senyum bahagia melihat kepergianku yang bersifat sementata ini. Aku pasrah, aku hanya menurut, dan aku mengangkat peti buatan ayah itu ke depan pintu dan bambkhu menaikkannya di bak becak bagian belakang kemudian mengikatnya. Ingin kuraih tangan ibuku untuk menyalaminya, perpisahan. Tetapi beliau sudah mengisyaratkan agar jangan disalami dulu, tahan.

Air mataku mulai sedikit meleleh, hatiku basah. Tiga adik perempuanku memandangiku penuh iba, melihat raut wajahku yang bagaikan akan pergi dan takkan kembali lagi.

"Kiteh segekhe! Kite go sikel lausen, Nakku. Kau tandok ni di belakang Bambkhu-mu. Kami khut awokmu mehonda." kata Ibuku menjelaskan. Ayo buruan! Kita udah mau berangkat anakku. Kau duduk di belakang bambkhu-mu. Ayahmu dan mamak naik motor. Sekarang aku mulai mengerti, ternyata kedua orang tuaku juga ikut mengantarkanku ke pesantren Lawe Pakam,, aku hanya menurut.

Kupeluk adik-adik perempuanku satu-persatu. Mereka menyalamiku dengan mencium tanganku.

"Abang laus na, Diana, Linda, Rina?. Khajin belajakh, ge ken cekhokh awok-amek!?" nasihatku pada adik-adikku sebelum berangkat. Abang pergi dulu, ya. Belajar yang rajin, dengar cakap ayah dan mamak.

"We bang, Apun." jawab mereka hampir serempak. Ya abang. Lalu aku naik ke atas bangku becak yang sedikit reot tapi masih kuat. Peti diikat di bak bagian belakang becak yang ada besinya. Barang-barang dapur untuk masak sendiri nantinya juga sudah masuk di dalam becak, bak becak bambkhu terlihat padat.

Tas ransel warna hitam kupakai di punggungku dan sepatu hitam yang kupakai di Istiqomah dulu telah menutupi kedua kakiku, warnanya sesuai dengan kemeja hitam-putih yang kupakai, kemaja turunan dari abangku. Karena tidak muat lagi dengan ukuran badannya sehingga itulah alasan kenapa kemaja itu melekat di badanku sekarang ini.

Seragamku kali ini persis seperti pria dewasa, padahal baru gede kemarin sore sehingga meminta untuk dimasukkan ke pesantren karena merasa mampu ngurus diri sendiri, sok mandiri! Aku pun memang siap akan hal itu, bukankah di Istiqomah aku sudah pernah jadi santri sebelumnya? Memang, mencuci pakaian seragam sekolahku aku sendiri yang mencucinya, dari SD dulu.

Sudah sejak kelas 5 SD ibuku tidak mau mencuci pakaianku karena kenakalanku yang tak terbendung.. Itulah sebabnya ibuku tidak mau lagi mencuci pakaianku.

Seragam yang seharusnya dipakai untuk dua hari, aku memakainya sehari saja dan esoknya tak bisa dipakai lagi karena bau tengik dan penuh noda-noda tanah lapangan, berguling-guling saat jam istirahat.

Teman-temanku memakai seragam hari senin dan selasa dengan warna putih-putih, aku memakai seragam untuk rabu-kamis yaitu putih merah, teman-temanku memakai putih merah dan aku memakai pakaian untuk hari Jumat-Sabtu, kuning dan coklat, pramuka. Perlahan becak berjalan pergi dari halamam rumahku.

Suara becak bambkhu hampir memecahkan gendang telingaku, karena aku duduk di belakangnya dan kenelpotnya yang bolong mengeluarkan suara jedar-jeder sesukanya, tidak memikirkan rasa sakit telinga orang yang mendengarnya.

Ayah dan ibuku naik motor sebagai penunjuk jalan, sebab hanya ayah yang tahu persis alamat pesantren yang kami datangi hari ini. Bambkhu tidak begitu tau, sebab di benaknya ada dua pesantren yang jaraknya tak saling jauhan, dia tidak tahu yang mananya aku didaftarkan.

Ayah tidak begitu cepat, beliau menyesuaikan kecepatan motornya dengan becak bambkhu agar kami tidak ketinggalan.

Tidak lama, becak melaju di atas aspal jalan Engkran Alur Langsat-Salim Pinim, kulihat lagi kiri-kanan rumah teman-teman SD-Ku. Sebagian mereka ada yang sedang duduk di depan rumah, sebagiannya lagi rumahnya terbuka tapi orangnya tak duduk di teras depan. Uni juga tidak terlihat di depan rumahnya.

Salah satu teman SD-ku yang duduk di depan rumahnya ialah Ifah. Dia orangnya putih, cantik, manis, langsing. Tetapi bukan dia paling cantik. Yang paling cantik menurutku adalah orang orang melaporkanku ribut di kelas waktu SD dulu.

Aku ingat sekali dulu, gara-gara Eni pula aku dipukul pak Arat pakai sapu di kedua pahaku, sapu itu sampai patah pada saat pukulan pertama! Seketika wajahku memerah, pahaku bengkak, mataku berkaca-kaca dan gara-gara itu aku berjalan pincang saat pulang sekolah. Gara-gara pak Arat mengamanahi Eni untuk melihat siapa yang ribut di dalam kelas dan Eni hanya menyebutkan namaku, hanya aku sendirian, Eni? Masa sih?

Sejak saat itu aku benci sekali dengannya! Dulu. Dan di belakang hari kutahu pak Arat suka padanya. Etek Gayo itu pun merasa takut denganku, tapi aku sama sekali tidak mengancamnya, walaupun sakit hati, mau tidak mau aku harus menerima pukulan itu sebagai pelajaran. Hanya aku yang ribut, Eni ? Mustahil!

Kemudian becak belok ke kiri mengarah ke jembatan Pantai Dona. Aku tersenyum bahagia sendiri di belakang, kupandangi suasana sore sepanjang jalan, kiri-kanan rumput-rumput hijau dan pohon-pohon cinta itu mengucapkan selamat jalan padaku, perlahan hatiku berkata, "Wah, inilah dulu tempat aku menggembala lembu di waktu SD!" kataku bahagia mengenang masa lalu. Aku teringat pada lembu-lembuku, teman-teman menggembala. Aku ingat baik-baik wajah lembuku: Khonjang, Induk, Getuk, Mbulan, Gula, Sunggi, Cimun, Dakhe, Bogoh, dan anak-anaknya yang masih imut-imut. Aku masih ingat sekali bagaimana lembuku pamitan padaku di hari terakhir aku menjga mereka. Aku rindu pada semuanya.

Kulihat ke dalam bak becak itu, barang-barangku masih tersusun rapi, irama yang kudengar dari paduan bunyi piring, kompor, sendok, mangkuk dan ember adalah lantunan lagu untukku yang bakal jadi santri lagi untuk kedua kalinya dan semoga saja tidak pindah sekolah lagi.

Dua insan yang amat kusayangi di dunia ini sedang tak jauh berada di depan kami, sesekali ibuku melihat ke belakang dengan wajah yang riang. Mungkin mereka senang denganku yang mau masuk pesantren? Tidak susah dibujuk.

Bukan aku saja yang mau, terlebih adalah ibuku, beliau pasti khawatir aku ini jadi anak yang nakal kalau aku di kampung, sebab tanda-tanda itu sudah ia qiyaskan dengan tingkah lakuku waktu SD dulu. Jika banyak orang yang lebih memilih sekolah umum, jika orang lain mengatakan hidup di pesantren sama halnya hidup di dunia tentara, jika orang lain berkata pesantren itu banyak siksaan atau berupa hukuman yang kejam, kalau orang lain berkata bahwa pesantren itu seperti hidup dalam penjara dan kalau orang lain berkata bahwa masuk pesantren itu banyak kesulitan dan aturannya yang ketat serta kegiatannya padat, maka hari ini aku ingin merasakan itu semua!

Aku tidak pernah peduli apa yang orang lain katakan, aku hanya menuruti kata hatiku dan kedua orang tuaku sangat mendukungku, dan bukankah mereka yang menjumpai ayahnya Edisyah untuk mencari tahu informasi tentang pesantren yang kami tuju hari ini?!

Lihatlah, mereka sedang tersenyum-senyum memandang ke depan jalan, melihat jalan lurus yang kami tempuh, mereka yakin aku akan jadi anak yang shalih, punya masa depan yang bahagia, jadi orang yang berguna bagi keluarga, bahkan mungkin bangsa dan agama, sepede itu aku waktu itu.

Tidak lama, kami sudah sampai di Simpang Semadam Atas, Simpang Tiga, dan becak tak kenal lelah, tak pernah berhenti karena mogok atau istirahat ataupun semacamnya.

Becak bambkhu begitu semangat mengantarkanku ke Lawe Pakam, padahal jarak yang kami tempuh sudah cukup jauh, sudah hampir setengah jam perjalanan. Kuperhatikan bambkhu, beliau begitu fokus dengan perjalanan ini dan memegang gagang becaknya penuh dengan rasa tanggung jawab atas keselamatan penumpangnya.

Becak belok kanan dan mengarah ke jalan Medan-Kuta Cane. Becak bambkhu berlari dengan kecepatan empat puluh kilo meter perjam. Sementara diriku yang ketiga kalinya melewati jalan ini, aku menemukan pemandangan indah sepanjang jalan, pemandangan yang sudah ketiga kalinya kulihat dengan mata kepalaku saat lewat pergi dan pulang ke Medan.

Kulihat gedung-gedung sekolah di pinggir jalan. Kupandangi kiri dan kanan, beberapa tulisan sempat kubaca. Sejak tinggal kelas tiga SD itu, aku sudah mulai lancar membaca. Jadi tak heran jika pamplek di pinggir jalan itu kubaca sebagiannya. Batu Dua Ratus, Bukit Merdeka, Masjid Al-Jihad, Masjid Arrahman, Lawe Loning, Lawe Sigala-Gala, Lawe Deski, Masjid Istiqomah, wah ada nama masjid Istiqomah, aku jadi ingat pantk asuhan tempatku belajar, Lawe Tawar dan kemudian Kampung Bakti.

Lima menit kemudian, becak bambkhu melambat lajunya. Ayah juga di depan kami, sepertinya tidak lama lagi tiba di pesantren yang dituju. Aku perhatikan kiri-kanan, di mana tulisan Darul Amin? Belum kutemukan dari tadi. Dan akhirnya mataku melihat tulisan pampleknya, tidak berada di tepi gerbang. Kalau tidak memperhatikan dengan baik, maka susah ditemukan. Kubaca pamplek bercat biru bertuliskan dengan cat warna putih, "Pesantren Terpadu Darul Amin. Desa Tanoh Alas, Kec. Babul Makmur, Kab. Aceh Tenggara. Jl. Medan-Kuta Cane, Km 31" Oh ternyata ini pesantren, ini kan sudah pernah kulihat saat pergi dan pulang ke Medan, tapi kenapa aku baru tahu ini pesantren? Aku masih tak menyangka ads pesantren di sini.

Becak yang kami naiki memasuki pintu gerbang, tidak ada pak satpam. Kulihat pohon-pohon besar berdaun lebat, daunnya jatuh berserakan. Ayunan anak TK bergantungan, mengayun pelan karena angin.

Bangunan-bangunannya tak ada satu orang pun yang duduk di depannya. Sepi dan sunyi. Aku curiga ini bukanlah pesantren, melainkan kompi tentara. Tetapi kenapa tidak ada tentara yang berdiri di pos satpam seperti kompi di Lawe Sigala-Gala?

Becak perlahan melaju, kulihat balai kecil di sebelah kiri yang juga tak ada orang, lalu sedikit menurun, kulihat lapangan sebelah kanan, dan barulah di gedung paling pinggir sebelah kanan lapangan mataku melihat dua orang yang sedang duduk sembari merokok menatap kami dari kejauhan, mungkin mereka berdua adalah tentara yang sedang dapat giliran piket. Kedua lelaki itu tegap, kuyakin betul mereka adalah tentara.

"Dape ne kin lokasi pesantren ne bambkhu?" tanyaku penasaran. Di mana lokasi pesantrennya bambkhu?

"Ende me gat pesantren ne ge. Kite nde nggo bagas pesantren da nde." sahut beliau. Inilah dia lokasi pesantrennya. Kita ini sudah dalam pesantren lah. Aku gugup, sedikit takut, raut wajahku tak ada senyumnya sama sekali.